Hari ini sebulan setelah kepergian Mbah Pardi. Dan seminggu lagi tiba Hari Raya Lebaran. Menjelang Lebaran, orang-orang di Kampung Ngaren memang gemar sekali menghabiskan uang. Yang semestinya di sepuluh hari terakhir Ramadan jamaah subuh semakin bertambah, yang ada justru semakin menghilang. Jika hari pasaran, orang-orang sibuk berjualan dan belanja di pasar. Dan jika bukan hari pasaran, bapak-bapaknya sudah mulai pergi mencari hasil hutan untuk dipanen.
    Jika sudah begitu, pasar sudah mirip festival. Kembang api, aneka roti dan kue, baju untuk berlebaran, sepatu dan sendal kulit, hiasan rumah, menjadi bintang idola ibu rumah tangga dan juga anak-anak di Kampung Ngaren. Puluhan orang bertawaf di sekitar barang dagangan, berdesak-desakan, sekaligus melihat wajah-wajah baru yang sebelumnya jarang terlihat di pasar: tetangga kampung, tetangga kecamatan, hingga tetangga kabupaten. Tak urung bertemu balen yang baru sehari semalam datang dari Jakarta untuk berlebaran.
Sugeng terlihat memakirkan motor 4 taknya di antara sepeda motor lain di depan pintu masuk pasar. Ia biasa mangkal di pagi buta untuk menunggu giliran mendapatkan penumpang. Ia masuk ke warung Yu Darsih untuk memesan secangkir kopi.
"Pisang goreng sudah mateng?"
"Wis, Geng," kata Yu Darsih.
 Sugeng mengaduk kopinya.
"Geng! Giliran satu!" Pujo memanggil Sugeng.
"Yo!"
"Yu, tutup dulu kopinya ya," kata Sugeng terburu-buru.
Sugeng menghidupkan sepeda motornya. Motor itu baru diambilnya lima hari lalu dari dealer. Begitu motor itu berpindah ke tangannya, sontak tangan Sugeng langsung gatal untuk "mengobrak-abriknya".
Mesin spedometernya sudah lepas dari posisi. Jok belakang dibuat lebih pendek. Semua stiker yang tertempel sudah berpindah ke tempat sampah. Knalpotnya sudah dibobok sehingga saat mesinnya hidup, sangat memekakkan telinga.