Waktu masih menunjukkan pukul tiga pagi. Blarak-blarak itu saling terayun ke depan dan ke belakang. Kibasannya menghasilkan percik-percik api yang menghiasi langit malam. Bersama hawa dingin yang menusuk tulang dan malam yang pekat bertabur kabut, wanita-wanita perkasa itu menyusuri jalan dengan membawa gendongan berisi barang dagangan. Sesekali mereka berbagi sapa kepada orang-orang yang mereka temui di jalan. Dan kemudian mereka bergabung membentuk rombongan menuju pasar.
“Tindak Mbah?” seorang wanita paruh baya menyapa sang nenek renta.
“Inggih”, balas Mbah Trimah.
Mbah Trimah menggeser balutan kain gendongannya lalu berjalan di belakang mengikuti wanita paruh baya yang tadi menyapanya. Di punggungnya, sebuah tenggok terisi penuh oleh barang dagangan. Biji kopi kering yang kemarin pagi ia jemur, dua ikat petai cina yang ia peroleh dari Lek Marto sepulang Mbah Trimah dari kebun, tiga butir buah kelapa tua yang sudah disiangi kulit luarnya, dan rempah palawija. Meski sudah menumpuk, Mbah Trimah masih menambahinya dengan empat gelondong gula aren yang ia masak kemarin sore.
Tidak berapa lama mulai terlihat pendar cahaya di ujung belokan jalan. Pasar pagi buta itu sudah dekat. Pasar ini dalam sepekan hanya ramai dua hari, yaitu di hari yang dalam kalender Jawa adalah Legi dan Pon. Di depan pintu masuk pasar, berderet angkutan umum bak terbuka yang juga penuh oleh barang dagangan untuk dijual. Sebagian dagangan memang untuk dijual di pasar, namun sebagian lagi adalah milik para tengkulak. Mereka biasanya membeli dengan harga yang semurah-murahnya dari para petani kemudian menjual semahal-mahalnya saat mereka ke kota.
Mbah Trimah membuang blaraknya sesaat sebelum memasuki gerbang pasar. Ia mencari tempat untuk beristirahat. Di bawah pohon waru, Mbah Trimah kemudian berhenti, melepaskan ikatan kainnya, meletakkan tenggoknya di tanah, dan berjongkok di samping tenggoknya. Tangan kanannya yang terlihat keriput dan berbercak abu-abu terlihat terkulai di bibir tenggok. Ia kemudian membuka satu lilitan kain lagi di pinggangnya. Beberapa gepok receh dan lembaran uang kertas ia ambil dan ia hitung. Lilitan kain ini punya dua kemudahan buat Mbah Trimah. Untuk dijadikan sabuk kemben, dan untuk menyimpan uang.
Orang-orang di kampung Mbah Trimah memang jarang yang memiliki dompet ataupun tas untuk menyimpan uang. Mereka lebih suka menyimpannya di bawah bantal tidur, di saku celana, atau di batang-batang bambu tua yang telah dilubangi di beberapa ruasnya. Batang bambu itu biasanya panjang dan diikatkan di tiang dapur rumah. Setiap kali mereka ingin mengambilnya, mereka tinggal membuka ikatan talinya, menidurkan batang bambunya agar keluar uang-uang yang telah mereka simpan.
Mbah Trimah lebih suka menyimpan uang di balutan kain kembennya. Malah, ia lebih dari sebatas tempat menyimpan uang. Ia memasukkan uang recehan, uang lembaran, juga balsam gosok, dan kinang. Seperti pagi itu, Mbah Trimah sempat mengoleskan balsam ke bagian pinggang kirinya. Sementara kinangnya ia belum meracik lagi. Karena kebiasaannya menginang inilah, meski usianya sudah renta, giginya masih terlihat putih dan kuat.
Sesosok wanita bergincu tebal tampak mendekati Mbah Trimah.
“Mbah, gulanya berapa?”
“Sedanten, dua puluh ribu.”
“Tiga belas ya, Mbah, Ini jawa atau aren, Mbah.”
“Ah, dereng.”
Wanita itu kemudian beringsut pergi. Ia memang selalu menunggu para petani tiba di pasar, melihat bawaan mereka, dan kemudian menawar dengan harga yang terendah. Jika saja Mbah Trimah mau memberikan dengan harga yang tadi diminta oleh wanita itu, saat di kota, harganya akan berubah menjadi dua hingga tiga kali lipat. Itu artinya jika Mbah Trimah hanya menerima Rp13.000,00 maka si wanita itu akan menerima Rp29.000 - Rp36.000,00.
“Enak di Sampeyan, sengsara di Mbah itu namanya,” bisik Wo Tulus kepadanya.
Mbah Trimah spontan menoleh ke arah sumber suara. Rupanya Wo Tulus mengamati gerak-gerik wanita paruh baya itu di sisi belakang Mbah Trimah. Wo Tulus menggeser duduknya mendekati Mbah Trimah.
“Mbah masih punya pinjaman Mbah?”
Pertanyaan itu kembali mengagetkan Mbah Trimah karena belum sempat tahu siapa pemilik suara, tiba-tiba ia langsung ditambahi dengan pertanyaan. Apalagi waktu masih larut hampir mendekati jam empat pagi. Dan di area pasar itu sumber penerangan cuma obor blarak yang masih dikibas-kibaskan para pedagang. Sebagian lagi berupa lampu sentir yang digantung di dinding-dinding kayu warung. Lumrah jika Mbah Trimah, yang sudah renta, masih belum sadar penuh siapa gerangan sosok di sampingnya.
“Weh, ora, wis lunas,” sahut Mbah Trimah.
Mbah Trimah tetap bersabar menunggu dagangannya terjual. Tak berapa lama azan pun berkumandang. Mbah Trimah beranjak mencoba berdiri. Ia tertatih mendekati Wo Tulus.
“Mbah titip dulu yo,” ucap Mbah Trimah.
“Nggih, Mbah,” sahut Wo Tulus.
Wo Tulus tahu persis ke mana Mbah Trimah akan pergi. Kumandang azan bagi Mbah Trimah seperti sinar rembulan yang kemudian hadirkan kerlip bintang. Kapan pun panggilan azan berkumandang, Mbah Trimah lantas menyambutnya dengan langkah kaki menuju tempat pemandian untuk mengambil air wudu dari padasan.
Mbah Trimah menuruni jalan di samping pasar. Ada sebuah musala kecil tempat penduduk menunaikan salat fardu berjamaah. Terlebih di saat hari pasaran seperti ini, musala itu terlihat lebih ramai dengan kedatangan para pedagang dari luar daerah seperti Sleman dan Bantul.
“Sugeng enjang Mbah,” sapa Pak Pong.
“Nggih,” balas Mbah Trimah.
Pak Pong adalah salah satu pedagang pasar yang terbilang rajin menunaikan salat fardu. Jika boleh dihitung dengan jari, dengan asumsi ada lima ratus orang berlalu lalang di pagi buta di kawasan pasar, hanya hitungan tak lebih dari sepuluh di antara mereka yang tetap menjaga kewajiban pada sang Pencipta. Selebihnya, uang lembaran dan receh terlihat lebih berharga dan bermanfaat nyata. Lebih baik ketinggalan salat daripada ketinggalan pembeli yang akan mengangkut barang dagangan mereka ke pasar yang lebih besar di kota.
Mbah Trimah berusaha untuk mencari sendalnya di antara remang lampu sentir di ujung pintu musala. Kembali ke pasar untuk menjajakan dagangannya.
“Matur suwun nggih Wo,” kata Mbah Trimah.
“Sami-sami Mbah,” sahut Wo Tulus tertahan.
Wo Tulus sebenarnya agak iri dengan Mbah Trimah. Usia Wo Tulus lebih muda, badan juga lebih trengginas, kuat. Namun, berulang-ulang panggilan azan tetap tak mampu menyentuh sisi kalbunya untuk melaksanakan salat. Mbah Trimah pun juga rajin pergi ke langgar setiap sore.
“Wo Tulus, ayo tindak musala?” ajak Mbah Trimah saat itu
Namun seperti biasanya Wo Tulus hanya tersenyum dan diam. Bukan sekali Mbah Trimah sering mengajaknya ke pengajian-pengajian. Bukan hanya di kampung tetapi juga di luar kampung. Buat Wo Tulus agama itu yang penting eling. Ingat kalo badan manusia itu ada yang menciptakan. Ingat kalau mencuri itu bakal masuk neraka. Ingat kalau sesama orang muslim itu harus saling tepo seliro. Tidak boleh saling menyakiti, menjauhi, apalagi memusuhi. Ingat kalau sedang diberi kelebihan rezeki itu harus saling berbagi. Ingat kalau nggak boleh makan daging babi. Ingat kalau sedang dalam kondisi kesusahan itu cukup menyebut nama, “Duh Gusti Allah.”
Buat Wo Tulus, yang penting ingat kalau Tuhan itu mengawasi, melihat, dan mengabulkan setiap permohonan dari kesulitan hidup yang dialami.
“Mbah, kulo pendet sedanten, nggih,” Bulek Mirah, tetangga satu kampung tiba-tiba menyemburat menghampiri Mbah Trimah.
“Pun, sisanipun kagem Asih,” kata Bulek Mirah.
“Alhamdulillah, matur suwun, namung meniko kekathahan,” kata Mbah Trimah.
“Ndak papa, Mbah, Mas Gafur bade balik Jakarta, meh tak damelke wajik kangge sangu,” kata Bulek Trimah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H