“Tiga belas ya, Mbah, Ini jawa atau aren, Mbah.”
“Ah, dereng.”
Wanita itu kemudian beringsut pergi. Ia memang selalu menunggu para petani tiba di pasar, melihat bawaan mereka, dan kemudian menawar dengan harga yang terendah. Jika saja Mbah Trimah mau memberikan dengan harga yang tadi diminta oleh wanita itu, saat di kota, harganya akan berubah menjadi dua hingga tiga kali lipat. Itu artinya jika Mbah Trimah hanya menerima Rp13.000,00 maka si wanita itu akan menerima Rp29.000 - Rp36.000,00.
“Enak di Sampeyan, sengsara di Mbah itu namanya,” bisik Wo Tulus kepadanya.
Mbah Trimah spontan menoleh ke arah sumber suara. Rupanya Wo Tulus mengamati gerak-gerik wanita paruh baya itu di sisi belakang Mbah Trimah. Wo Tulus menggeser duduknya mendekati Mbah Trimah.
“Mbah masih punya pinjaman Mbah?”
Pertanyaan itu kembali mengagetkan Mbah Trimah karena belum sempat tahu siapa pemilik suara, tiba-tiba ia langsung ditambahi dengan pertanyaan. Apalagi waktu masih larut hampir mendekati jam empat pagi. Dan di area pasar itu sumber penerangan cuma obor blarak yang masih dikibas-kibaskan para pedagang. Sebagian lagi berupa lampu sentir yang digantung di dinding-dinding kayu warung. Lumrah jika Mbah Trimah, yang sudah renta, masih belum sadar penuh siapa gerangan sosok di sampingnya.
“Weh, ora, wis lunas,” sahut Mbah Trimah.
Mbah Trimah tetap bersabar menunggu dagangannya terjual. Tak berapa lama azan pun berkumandang. Mbah Trimah beranjak mencoba berdiri. Ia tertatih mendekati Wo Tulus.
“Mbah titip dulu yo,” ucap Mbah Trimah.
“Nggih, Mbah,” sahut Wo Tulus.