Mohon tunggu...
Allen Rangga
Allen Rangga Mohon Tunggu... Guru - Unity in Diversity

Saya, Albertus Rhangga. Biasa dipanggil Allen. Kalian mungkin bertanya mengapa saya dipanggil Allen? heheh, Ya, itulah saya, dengan nama yang unik, yang menggambarkan keunikan saya sebagai pribadi. Saya tertarik pada hal-hal yang berkaitan dengan politik, sosial-budaya, olahraga, dan tentu sesuatu yang bernuansa filosofis. Selain itu, saya suka membaca, menulis, bermusik, dan berolahraga. Bagi saya, tubuh yang sehat adalah pancaran jiwa yang sehat. Maka, berolahraga, bermusik, menulis dan membaca adalah cara yang ampuh untuk menjaga tubuh agar tetap sehat sekaligus penanda jiwa yang sehat pula.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bencana Alam dalam Bingkai Adaptasi Alamiah Menuju Pertobatan Ekologis

8 April 2021   12:07 Diperbarui: 8 April 2021   12:20 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tahun 2021 adalah masa penuh tantangan bagi dunia, khususnya Indonesia. Semenjak tahun 2020 dunia secara tunggang langgang, dibuat tergopoh-gopoh dengan hadirnya suatu wabah mematikan yang menimpa manusia di seantero jagat raya. Seluruh negara di dunia pun mendadak terdiam menatapi sejarah kehidupan yang seolah-olah tidak terbendung laju kecepatan penyebaran virus corona. Kehidupan sosial-ekonomi pun dipaksa berhenti, kalau tidak mau dikatakan mundur. Setiap negara pun dengan cara masing-masing mencari cara untuk keluar dari musibah kemanusiaan itu.

Di Indonesia wabah virus pertama kali teridentifikasi sekitar bulan Maret 2020. Akibatnya ialah kehidupan sosial masyarakat menjadi hancur berantakan. Seluruh masyarakat dipaksa untuk menjalankan aktifitas hariannya dari rumah, konsekuensinya ialah roda perekonomian menjadi mandek. Selain wabah virus corona yang sedang menyerang bangsa ini, di tahun 2020 juga memperlihatkan situasi sosial politik di tanah air yang "tidak bersahabat." Berbagai gelombang demonstrasi dan perkumpulan massa dalam jumlah banyak menjadi salah satu faktor penambahan jumlah dan penularan virus berbahaya tersebut.

Penyebaran wabah virus corona tidak menunjukan tanda-tanda penurunan di tahun 2020. Sampai pergantian tahun pun wabah tersebut semakin bertambah banyak. Tidak ada laporan yang mengindikasikan bahwa wabah ini akan segera berakhir walaupun pemerintah sudah memberikan kebijakan program vaksinasi gratis bagi seluruh warga. Dan, tidak menjadi jaminan pula bahwa warga yang sudah mendapatkan vaksinasi akan terhindar atau terbebas dari penularan itu. Bagi bangsa Indonesia, tahun 2021 menjadi momen yang sangat berat. Persoalan yang dihadapi bangsa ini tidak hanya persoalan covid-19, tetapi juga hingar bingar urusan politik menyita banyak energi oleh isu-isu murahan yang menggiring masyarkat pada konflik sosial. Dari beberapa persoalan di atas, ada satu peristiwa yang memilukan hati, suatu peristiwa yang menguras rasa kemanusiaan kita yaitu banjir bandang yang menelan puluhan bahkan ratusan masyarkat di sebagian besar wilayah Nusa Tenggara Timur imbas dari badai Seroja.

Menurut ketua Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawait mengatakan bahwa siklon Tropis Seroja yang mendatangkan banjir bandang, tanah longsor, hujan dengan intensitas sedang sampai lebat, ditambah petir, angin kencang, dan tingginya gelombang laut merupakan bukti nyata dari perubahan iklim. Lebih jauh ia menambahkan bahwa siklon tropis ini sangat jarang terjadi di daerah atau wilayah yang beriklim tropis, namun beberapa tahun terakhir ini menunjukan bahwa badai ini terjadi di wilayah tropis. Dalam sejarahnya badai seroja ini terjadi di Australia.

Terlepas dari pergeseran siklon badai tersebut, tragedi ini telah menghancurkan rumah, harta benda, bahkan nyawa manusia. Surat kabar Kompas memberitakan bahwa sampai hari ini (07 April 2021) jumlah korban meninggal dunia akibat banjir bandang mencapai 117 orang, selain jumlah korban luka-luka dan korban hilang. Kerugian materi dan kehilangan orang-orang tercinta dalam tragedi ini tentu sangat menyayat hati apalagi ditengah wabah virus corona ini.

Kita patut bertanya, siapakah yang bersalah atau bertanggung jawab dalam tragedi badai Seroja itu? Apakah pemerintah, orang lain (bukan diri kita sendiri)? Apakah badai kemanusiaan ini juga merupakan rencana Tuhan? Apakah ada ulah manusia sehingga alam menunjukan "taringnya" yang ganas?

Dalam kasus seperti badai di atas, sepertinya sangat sulit untuk bertanya bahkan menuduh siapa yang bersalah dan harus bertanggung jawab. Kita pasti menyesal dan bersedih atas peristiwa itu, namun menuduh pihak lain atau mencari kesalahan orang lain sebagai penyebab dari tragedi ini adalah tidak tepat dan tidak bijaksana. Ada beberapa kemungkinan jawaban yang bisa diajukan disini sebagai alternatif dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Pertama, Badai Seroja sebagai peristiwa alam. Kedua, Badai Seroja sebagai cara alam beradaptasi terhadap segala aktivitas manusia. Ketiga, Badai Seroja sebagai momen untuk mendekatkan diri pada Tuhan.

A. Badai Seroja sebagai peristiwa alam

Kita perlu menyadari bahwa banjir bandang, tanah longsor, gunung meletus, gelombang laut yang tinggi merupakan gejala alam. Artinya kejadian tersebut bukan karena murni ulah manusia melainkan bagian dari proses alam itu sendiri, walaupun ada beberapa bencana terjadi karena dampak dari perilaku manusia yang buruk.

Ada dua hal yang bisa kita pahami dalam badai Seroja sebagai peristiwa alam. Pertama, terjadinya badai ini merupakan tanda alamiah alam. Dalam sejarah menunjukan bahwa badai Seroja biasanya terjadi di wilayah Australia. Namun beberapa tahun ini pergerakan badai tersebut bergeser ke arah tropis, yaitu menuju daratan NTT dan NTB. Kita tidak tahu alasan perubahan itu, tetapi satu hal yang pasti bahwa pergerakan badai Seroja sedikit banyak dipengaruhi oleh perubahan iklim atau cuaca.

Kedua, perihal perubahan cuaca. Beberapa tahun ini berbagai elemen masyarakat dan pegiat lingkungan hidup membahas tentang perubahan iklim yang terjadi di dunia. Kita seringkali mendengar isu pemanasan global, permukaan gletser mencair, kebakaran hutan akibat bumi terlalu panas karena lapisan ozon menipis, polusi udara, pengolahan sampah yang tidak efektif yang akhirnya merusak lingkungan. Para pejuang lingkungan hidup memberi perhatian serius pada beberapa persoalan di atas.

Kita tidak dapat mengklaim bahwa bencana alam di atas adalah murni karena faktor alam. Dari berbagai persoalan lingkungan yang kita hadapi saat ini memperlihatkan bahwa karena perbuatan manusia maka alam pun harus menjadi korban. Alam menyediakan segala kebutuhan manusia, tetapi dengan segala kepandaian yang dimiliki manusia mengeksploitasi alam demi memenuhi keserakahan segelintir orang. Manusia menjadi entitas alam semesta yang tidak puas dengan berbagai kebutuhan yang sudah disediakan alam. Ia lantas mengeksplorasi alam sebesar-besarnya demi mendapat keuntungan yang lebih besar. Inilah gambaran manusia modern yang ingin menguasai alam demi kebutuhan sesaat.

Permasalahan-permasalahan lingkungan yang dihadapi masyarakat dunia dewasa ini tidak lain karena keserakahan manusia. Penting untuk menggambarkan karakteristik manusia modern dewasa ini. Pada zaman pra-modern kehidupan manusia seutuhnya bergantung pada alam. Manusia membangun relasi yang sangat baik dengan alam, mereka memahami alam sebagai tempat dimana segala kebutuhan manusia terpenuhi. Relasi manusia dan alam ini sangat mendalam. Manusia diajarkan untuk tidak memperlakukan alam dengan sewenang-wenang. Siklus kehidupan manusia pun disesuaikan dengan siklus alam. Contoh konkritnya bisa dilihat dalam kehidupan masyarakat perdesaan. Masyarakat perdesaan menanm padi atau tanaman lainnya biasanya disesuaikan dengan musim.

Namun, kehidupan pra-modern itu sudah lama ditinggalkan. Manusia modern tidak lagi menempatkan alam sebagai partner melainkan sebagai objek belaka. Jika dalam manusia pra-modern mereka melihat alam sebagai pemberian dari yang Ilahi dan harus dijaga, manusia zaman sekarang sebalikanya. Mereka melihat alam hanya sebagai objek pemenuhan kebutuhan semata. Karakteristik manusia modern ialah mengagungkan kemampuan diri yang dapat menguasai dan mengontrol alam semesta. Manusia menempatkan dirinya sebagai pusat dari segalanya, dengan kemampuan akal budinya untuk menciptakan teknologi. Manusia modern mengambil jarak dari alam, mereka tidak lagi melihat alam sebagai benda sakral yang dapat berelasi dengan manusia.

Salah satu kelebihan manusia modern ialah kemampuannya menciptakan teknologi. Pada dasarnya perkembangan teknologi tidak bisa dikatakan negative atau jelek. Penciptaan teknologi sebenarnya menunjukan kemampuan manusia dalam menciptakan sesuatu yang baru demi kehidupan manusia yang lebih baik. Teknologi yang dicipatakan tersebut membantu manusia dalam mempercepat segala pekerjaan termasuk memperbanyak hasil kerja manusia.

Perlu diakui bahwa perkembangan teknologi tidak selalu bergerak ke arah yang positif. Banyak sekali tekonologi yang diciptakan pada zaman ini bertujuan untuk menghancurkan alam dan sesama manusia. Manusia berlomba-lomba menciptakan alat-alat canggih seperti peralatan tempur, bahan peledak, bahan beracun yang bertujuan untuk menghancurkan kehidupan orang lain. Penggunaan obat-obatan berlebihan pada hutan pada akhirnya juga merusak alam. Penggunaan bahan kimia pada sungai pada akhirnya memusnahkan biota air dan laut. Masih banyak contoh kasus yang bisa digali sebagai efek negatif dari perkembangan teknologi. Jadi jelas bahwa manusia modern sebenarnya berkontribusi dalam menghancurkan alam semesta yang pada akhirnya mendatangkan bahaya kemanusiaan.

B. Badai Seroja sebagai cara alam beradaptasi dari segala aktivitas manusia.

Aktivitas manusia yang dimaksudkan ialah penggunaan alat-alat teknologi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pembahasan ini sebenarnya kelanjutan dari pembahasan poin A. Manusia tidak dilarang untuk memanfaatkan alam demi menunjang kelangsungan hidupnya. Orang-orang beragama mengakui bahwa alam semesta diciptakan untuk memenuhi segala kebutuhan manusia. Sampai disini sebenarnya tidak ada persoalan. Persoalan muncul ketika manusia mengerahkan seluruh kekuatan teknologi untuk mengeruk seluruh hasil alam. Hutan ditebang, gunung diratakan demi membangun perusahaan, bukit emas dikorek sehingga menghasilkan lubang menganga, polusi udara semakin bertambah karena setiap hari ribuan motor dan mobil yang diproduksi dan dijual dengan harga murah, udara semakin panas karena efek rumah kaca, lingkungan menjadi bau akibat sampah yang dibuang tidak pada tempatnya.

Lantas, muncul pertanyaan; bagaimana atau dengan cara apa alam semesta beradaptasi dengan seluruh penggunaan teknologi manusia yang destruktif di atas? Jawabannya ialah melalui gunung meletus, hujan lebat, air pasang, bahkan yang paling ekstrim sekalipun seperti wabah virus corona. Kita mungkin menilai seluruh kejadian ini sebagai bencana bagi manusia, tetapi saya ingin mengajak kita untuk melihat dari sisi lain. Bencana alam yang terjadi beberapa hari ini, walaupun menelan jutaan manusia, merupakan cara alam menyesuaikan dirinya dari berbagai aktivitas manusia.

Mari kita tempatkan alam semesta sebagai makhluk yang hidup. Setiap makhluk hidup pasti berproses, bergerak. Ia pasti akan berubah atau bereaksi bila berhadapan dengan suatu gerakan yang datang dari luar. Reaksi yang diberikan suatu makhluk biasanya bertujuan untuk mempertahankan diri agar tidak hancur atau mati. Alam semesta ini sebenarnya sangat fleksibel/lentur dalam menghadapi setiap perubahan. Apabila alam semesta ini bersifat kaku dan tidak dapat berubah maka dengan sendirinya ia menjadi hancur. Sama halnya manusia harus berubah dan bergerak, bila ia tidak mau berubah dan bergerak, maka ia akan mati. Ini hukum alam, yaitu menyesuaikan diri dari segala perubahan eksternal.

Tidak bisa dibayangkan bila alam semesta bersifat kaku dan tidak berubah. Ketidakberubahan dan kekauan seringkali mendatangkan kehancuran. Saya meyakini bahwa bencana alam yang terjadi di dunia ini merupakan cara alam memberikan respon terhadap goncangan dari luar. Manusia mengeksploitasi alam secara serakah, penggunaan alat-alat teknologi yang merusak kerja alam, ketidakpedulian manusia menjaga lingkungan tempat tinggalnya, asap kendaraan dan pemakaian AC yang terlewat batas, bahaya limbah pabrik yang merusak lingkungan pada akhirnya mendapatkan reaksi dari alam. Reaksi alam tersebut bukanlah jahat, melainkan cara alam menyesuaikan dirinya dari berbagai perilaku manusia itu. Dalam imajinasi liar saya seandainya alam tidak menyesuaikan diri dari berbagai pengaruh luar; entah perubahan kosmis maupun perubahan eksternal lainnya, sangat mungkin bahwa alam akan ledak, hancur berkeping-keping dan memusnahkan jutaan makhluk hidup yang bernaung di dalamnya. Satu hal yang mau ditekankan dalam pembahasan ini adalah alam memberi respon terhadap rangsan dari luar sebagai cara beradaptasi, maka peristiwa bencana alam harus dilihat juga dari perspektif alam.

C. Badai Seroja sebagai momen untuk mendekatkan diri pada Tuhan

Tidak banyak orang menilai bahwa tragedi bencana alam merupakan kutukan Tuhan. Tuhan mengutuk karena manusia melawan segala perintah dan larangan-Nya. Bencana alam dilihat sebagai kesempatan Tuhan menunjukan kedigdayaan-Nya yang mampu menghancurakn dan mematikan akibat perbuatan jahat manusia. Orang beriman kemudia menyesali segala pelanggaran itu dan memohon ampunan dari Tuhan.

Apakah benar bahwa bencana alam yang menelan juta manusia merupakan kutukan Tuhan? Sebagian orang beriman mungkin membenarkan pernyataan itu. Mungkin ada sebagian orang beriman lainnya melihat bahwa Tuhan tidak berperan serta dalam musibah yang merenggut jutaan nyawa manusia tersebut. Saya tidak sependapat dengan pernyataan pertama. Bagi saya, tidak mungkin Tuhan yang maha kasih dan penyayang membiarkan orang-orang yang tak bersalah hanya karena amarah-Nya pada sebagian manusia yang liar memperkosa alam. Saya ingin menawarkan dua cara pandang terkait dengan pernyataan badai Seroja sebagai kesempatan untuk mendekatkan diri dan memulihkan relasi dengan Tuhan.

Pertama, relasi manusia dengan Tuhan pada sebagian orang tumbuh ketika berhadapan dengan krisis-krisis kehidupan. Dalam situasi normal biasanya relasi itu begitu jauh, bahkan kita menjauhkan diri dari Dia. Perilaku orang beriman seperti ini sangat lazim dalam kehidupan kita. Kita mendekatkan diri pada Tuhan bila ada suatu guncangan berat yang menerpa kehidupan kita, seperti kesulitan hidup, sakit-penyakit, bahkan peristiwa kematian. Manusia mendekatkan diri pada Tuhan apabila hidupnya dilanda krisis. Tuhan seolah-olah dijadikan tempat pelarian semata.

Kedua, peristiwa bencana alam sebagai kesempatan untuk berintrospeksi diri. Saya yakin bahwa bencana, apa pun bentuknya bukanlah kutukan Tuhan. Bencana terjadi karena reaksi alam atas seluruh pergerakan alam semesta dan juga atas ulah manusia yang "memperkosa" alam dengan sewenang-wenang. Dihadapan kenyataan itu manusia diajak untuk mengevaluasi diri. Kita mengevaluasi diri untuk menemukan jawaban jikalau alam semesta yang rusak itu sebenarnya karena ulah manusia. Manusia harus bertanggung jawab. Relasi manusia dengan Tuhan dipulihkan melalui tanggung jawab manusia menjaga alam. Manusia disadarkan untuk tidak mengambil sumber daya alam dalam jumlah banyak demi kepentingn diri dan kelompoknya, melainkan secara moderat memanfaatkan alam demi kehidupan banyak orang. Dengan demikian keseimbangan alam dapat terjadi.

Jadi, melalui kedua pandangan ini manusia diajarkan untuk bertobat secara ekologis. Manusia diajarkan untuk mendekatkan diri pada Tuhan dengan cara menjaga dan merawat alam yang dipercayakan Tuhan kepada manusia melalui suatu pertobatan ekologis. Dengan cara ini manusia berperan serta dalam melestarikan lingkungan agar tidak mendatangkan bencana di kemudian hari.

Inilah beberapa pikiran yang ingin saya bagikan berkaitan dengan bencana kemanusiaan yang menimpa dunia, khususnya Indonesia. Virus corona dan badai Seroja yang mengakibatkan jutaan orang meninggal adalah bencana kemanusiaan. Kita tidak bisa melarikan diri dari kenyataan alam ini. Yang dapat kita lakukan sekarang ialah berpartisipasi dalam merawat alam semesta agar tidak rusak dan hancur oleh ulah kita sendiri. Kita bisa belajar banyak dari pengalaman bencana alam itu bahwa alam turut berproses atau beradaptasi dalam menghadapi gejolak dunia yang tidak pasti. Melalui pertobatan ekologis manusia dapat memulihkan kembali relasi dengan alam, sesama, dan Pencipta Alam Semesta.

Turut berdukacita untuk saudara/I di NTT dan NTB. Semoga Tuhan memberikan ketabahan dan kekuatan hati dalam menghadapi musibah alam semesta ini.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun