Tidak banyak orang menilai bahwa tragedi bencana alam merupakan kutukan Tuhan. Tuhan mengutuk karena manusia melawan segala perintah dan larangan-Nya. Bencana alam dilihat sebagai kesempatan Tuhan menunjukan kedigdayaan-Nya yang mampu menghancurakn dan mematikan akibat perbuatan jahat manusia. Orang beriman kemudia menyesali segala pelanggaran itu dan memohon ampunan dari Tuhan.
Apakah benar bahwa bencana alam yang menelan juta manusia merupakan kutukan Tuhan? Sebagian orang beriman mungkin membenarkan pernyataan itu. Mungkin ada sebagian orang beriman lainnya melihat bahwa Tuhan tidak berperan serta dalam musibah yang merenggut jutaan nyawa manusia tersebut. Saya tidak sependapat dengan pernyataan pertama. Bagi saya, tidak mungkin Tuhan yang maha kasih dan penyayang membiarkan orang-orang yang tak bersalah hanya karena amarah-Nya pada sebagian manusia yang liar memperkosa alam. Saya ingin menawarkan dua cara pandang terkait dengan pernyataan badai Seroja sebagai kesempatan untuk mendekatkan diri dan memulihkan relasi dengan Tuhan.
Pertama, relasi manusia dengan Tuhan pada sebagian orang tumbuh ketika berhadapan dengan krisis-krisis kehidupan. Dalam situasi normal biasanya relasi itu begitu jauh, bahkan kita menjauhkan diri dari Dia. Perilaku orang beriman seperti ini sangat lazim dalam kehidupan kita. Kita mendekatkan diri pada Tuhan bila ada suatu guncangan berat yang menerpa kehidupan kita, seperti kesulitan hidup, sakit-penyakit, bahkan peristiwa kematian. Manusia mendekatkan diri pada Tuhan apabila hidupnya dilanda krisis. Tuhan seolah-olah dijadikan tempat pelarian semata.
Kedua, peristiwa bencana alam sebagai kesempatan untuk berintrospeksi diri. Saya yakin bahwa bencana, apa pun bentuknya bukanlah kutukan Tuhan. Bencana terjadi karena reaksi alam atas seluruh pergerakan alam semesta dan juga atas ulah manusia yang "memperkosa" alam dengan sewenang-wenang. Dihadapan kenyataan itu manusia diajak untuk mengevaluasi diri. Kita mengevaluasi diri untuk menemukan jawaban jikalau alam semesta yang rusak itu sebenarnya karena ulah manusia. Manusia harus bertanggung jawab. Relasi manusia dengan Tuhan dipulihkan melalui tanggung jawab manusia menjaga alam. Manusia disadarkan untuk tidak mengambil sumber daya alam dalam jumlah banyak demi kepentingn diri dan kelompoknya, melainkan secara moderat memanfaatkan alam demi kehidupan banyak orang. Dengan demikian keseimbangan alam dapat terjadi.
Jadi, melalui kedua pandangan ini manusia diajarkan untuk bertobat secara ekologis. Manusia diajarkan untuk mendekatkan diri pada Tuhan dengan cara menjaga dan merawat alam yang dipercayakan Tuhan kepada manusia melalui suatu pertobatan ekologis. Dengan cara ini manusia berperan serta dalam melestarikan lingkungan agar tidak mendatangkan bencana di kemudian hari.
Inilah beberapa pikiran yang ingin saya bagikan berkaitan dengan bencana kemanusiaan yang menimpa dunia, khususnya Indonesia. Virus corona dan badai Seroja yang mengakibatkan jutaan orang meninggal adalah bencana kemanusiaan. Kita tidak bisa melarikan diri dari kenyataan alam ini. Yang dapat kita lakukan sekarang ialah berpartisipasi dalam merawat alam semesta agar tidak rusak dan hancur oleh ulah kita sendiri. Kita bisa belajar banyak dari pengalaman bencana alam itu bahwa alam turut berproses atau beradaptasi dalam menghadapi gejolak dunia yang tidak pasti. Melalui pertobatan ekologis manusia dapat memulihkan kembali relasi dengan alam, sesama, dan Pencipta Alam Semesta.
Turut berdukacita untuk saudara/I di NTT dan NTB. Semoga Tuhan memberikan ketabahan dan kekuatan hati dalam menghadapi musibah alam semesta ini. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI