Mohon tunggu...
Allen Rangga
Allen Rangga Mohon Tunggu... Guru - Unity in Diversity

Saya, Albertus Rhangga. Biasa dipanggil Allen. Kalian mungkin bertanya mengapa saya dipanggil Allen? heheh, Ya, itulah saya, dengan nama yang unik, yang menggambarkan keunikan saya sebagai pribadi. Saya tertarik pada hal-hal yang berkaitan dengan politik, sosial-budaya, olahraga, dan tentu sesuatu yang bernuansa filosofis. Selain itu, saya suka membaca, menulis, bermusik, dan berolahraga. Bagi saya, tubuh yang sehat adalah pancaran jiwa yang sehat. Maka, berolahraga, bermusik, menulis dan membaca adalah cara yang ampuh untuk menjaga tubuh agar tetap sehat sekaligus penanda jiwa yang sehat pula.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kecemasan sebagai Alasan Keberadaan Manusia

5 April 2021   20:56 Diperbarui: 5 April 2021   21:28 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sekilas makna kecemasan

Ada sebersit perasaan yang beberapa hari ini terbang melintang dalam pikiranku. Saya tidak secara persis menangkap maksud dari perasaan itu tetapi kehadirannya cukup menyita konsentrasiku. Ada perasaan takut sekaligus cemas yang sulit untuk dijelaskan karena tidak ada objek dari ketakutan dan kecemasan itu. 

Sutardjo Wiramihardja, mendefinisikan kecemasan sebagai suatu perasaan yang sifatnya umum, dimana seseorang merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas asal maupun wujudnya.

Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (Fitri Fauziah & Julianti Widuri, 2007:73) kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup.

"Saya takut, atau saya merasa cemas tetapi perasaan tersebut hadir begitu saja, jadi saya tidak tahu mengapa saya takut atau cemas," kira-kira demikian perasaan yang sering kita alami. Pernyataan ini mengkonfirmasi pernyataan Sutardjo Wiramihardja di atas bahwa ketakukatan akan sesuatu yang tidak berwujud tersebut adalah kecemasan.

Kita mungkin mudah untuk menemukan alasan dan mencari jalan keluar bila objek ketakutan itu diketahui. Ketakutan itu sendiri memiliki dua jenis, yaitu ketakutan yang ada sebab (objek), dan ketakutan tanpa sebab (tidak memiliki objek). Ketakutan jenis pertama mudah untuk diantisipasi. 

Misalnya, saya takut tidak mendapatkan nilai bagus saat ujian nanti, maka saya harus rajin belajar. Saya takut mobil yang sedang saya kemudi jatuh ke jurang, maka saya harus lebih berhati-hati ketika sedang mengemudi. 

Kedua contoh ini memiliki alasannya tersendiri mengapa seseorang harus takut. Ia takut karena ada sesuatu (penghalang) yang bisa menghalangi segala rencananya untuk mencapai tujuan atau impian tertentu. Di balik ketakutan jenis pertama ini selalu ada cara untuk menemukan solusi atau jalan pemecahannya agar ketakutan itu tidak menjadi suatu kenyataan.

Dimensi ketakutan

Bagaimana dengan ketakutan yang tidak beralasan? Apakah ketakutan jenis ini sungguh ada dalam kehidupan konkrit manusia? Jikalau ada, lalu, bagaimana manusia dapat menghadapi ketakutan yang tak memiliki objek ketakutan itu?

Mengalami cinta dalam kehidupan manusia adalah sesuatu yang harus dirasakan. Seberapapun hancur kisah hidup seseorang, yang sangat pahit dan gelap sekalipun, ia tentu pernah mengalami suatu masa dimana cinta itu menampakan diri. 

Dalam derajat dan level tertentu, semua manusia tentu mengalami cinta, mencintai dan dicintai. Manusia pasti mampu menjelaskan alasan mengapa ia bahagia karena hidupnya dikelilingi oleh hal-hal baik, termasuk dikelilingi oleh orang yang ia cintai. 

Namun, kegembiraan dan keceriaan seakan-akan menguap ketika kehancuran, kekhawatiran, kecemasan, bahkan kematian menghampiri orang yang kita cintai, bahkan diri kita sendiri, mampukah manusia memberi arti dari semua itu?

Manusia pasti mampu mencari cara untuk terhindar dari objek ketakutan yang memiliki wujud. Ia bisa mencari cara untuk menghancurkan objek ketakutan itu atau mencari jalan lain agar tidak berhadapan dengan objek tersebut. 

Saya biasanya menghindari perempatan jalan ketika mengendarai sepeda motor. Saya takut ditilang pak polisi karena motor saya tidak memiliki kelengkapan administrasi, bahkan saya sendiri tidak memiliki surat izin mengemudi kendaraan. Ketakutan saya ditilang polisi itu sangat masuk akal. Ada objek ketakutan, yaitu pak polisi akan memeriksa kelengkapan surat-surat kendaraan saya dan akan menahan motor tersebut. Apabila itu terjadi maka segala rencana yang telah saya buat menjadi berantakan.

Saya memiliki partner hidup yang sangat saya cintai. Saya selalu mengingatkan dia untuk menjaga kesehatannya, dalam hal menjaga pola makannya. Ia suka makan. Kebiasaannya yang suka makan itu seringkali mengakibatkan kolesterolnya meningkat tajam. 

Ketakutan saya tersebut mempunyai alasan yang sangat jelas dan kuat. Saya takut orang yang saya cintai itu sakit gara-gara tidak mampu mengontrol kebiasaan makannya. 

Ketakutan ini juga memiliki objeknya, yaitu jangan sampai ia sakit dan kolesterolnya naik kembali. Saya bisa mengingatkannya untuk lebih moderat dalam mengonsumsi suatu makanan. Lalu bagaimana dengan ketakutan yang tak memiliki objek?

Kelahiran dan kematian sebagai pengalaman mendasar hidup manusia

Kelahiran dan kematian merupakan pengalaman mendasar kehidupan manusia. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Selalu ada sisi dalam kehidupan manusia, antara perjumpaan dan perpisahan, antara datang dan pergi, sama halnya dengan antara kelahiran dan kematian. Ada satu masa yang menjadi penghubung dari kedua sisi tersebut. Masa tersebut ialah "antara." Saya menyebutnya sebagai momen "kemewaktuan" dari pengada.

Manusia mengalami pengalaman dilahirkan atau melahirkan. Setelah manusia melewati fase tersebut, ia harus menghadapi masa "antara" tersebut. Ia harus menjalani kehidupannya agar mewujdkan eksistensinya sebagai pengada di dunia ini. 

Menjalani kehidupan sebagai manusia itulah yang disebut sebagai momen antara. Momen ini pun dapat dipahami juga sebagai suatu proses "kemenjadian" dimana manusia sesuai dengan siklus kehidupannya berkembang menjadi pribadi yang seharusnya. Ia berproses menjadi manusia yang seutuhnya sesuai dengan siklus perkembangannya.

Namun ada pengalaman lain dimana manusia harus berhenti sejenak untuk menatap hidupnya. Manusia harus berhenti sesaat dari perjalanan rutinitasnya untuk melihat kembali kehidupannya kemudian memulai kembali kehidupannya. Manusia tidak hanya sekedar melihat kembali perjalanan hidupnya, ia juga harus menemukan makna dari perjalanan tersebut. Setelah menemukan makna manusia harus menatap-melihat ke depan- ke arah hidup yang akan datang.

Menatap hidup di masa mendatang mengandung dua dimensi. Dimensi pertama ialah periode waktu yang akan kita hadapi. Segala rencana dan kegiatan yang akan dan harus dilakukan di dunia ini. Sementara, dimensi waktu kedua ialah keterarahan hidup manusia menuju suatu kehidupan setelah kehidupan dunia ini. Dimensi waktu yang kedua ialah suatu kehidupan setelah kematian. Suatu kehidupan sesudah kehidupan di dunia ini.

Dimensi waktu kedua inilah yang sering menghantui pikiran saya dan anda juga. Pikiran mengenai dimensi kedua ini sedikit banyak menguras energi dan pikiran. Kita bertanya-tanya mengapa harus menghadapi kenyataan itu. Berhadapan dengan kenyataan itu segala kedigdayaan manusia, kebaikan manusia, atau pun kejahatan manusia diruntuhkan. Berhadapan dengan waktu tersebut seolah-olah mengingatkan manusia bahwa dirinya tidak beda dengan makhluk lainnya yang akan selesai bila waktunya tiba. Itulah ketakutan yang dihadapi manusia, yaitu kematian.

Manusia tidak pernah terhindar dari kematian. Cepat atau lambat realitas itu pasti datang dan ia datang tanpa meminta persetujuan apa pun dari manusia. 

Sebagian filsuf menilai bahwa kematian itu seperti sesuatu yang dicerabut dari kehidupan manusia. Ia seolah-olah mengambil segala kebebasan manusia yang ingin hidup selama-lamanya. Mereka kemudian memaknai kematian sebagai akhir dari segalanya. Mereka menolak realitas kematian karena kematian memisahkan mereka dengan orang-orang tercinta. 

Namun, ada sebagian orang menilai bahwa kehidupan itu sungguh berarti apabila ada kematian. Justru dengan adanya kematian, manusia tersadarkan bahwa hidup di dunia ini hanyalah suatu peralihan belaka. Manusia harus memaknai kehidupannya agar kelak ia mampu menerima kematian. Namun, harus diakui bahwa kita tidak bisa berlari dari kenyataan itu. Secara sadar atau tidak, perjalanan hidup manusia itu sebenarnya menuju ke kematian.

Ketakutan, Kecemasan, dan Kematian merupakan sesuatu yang sangat eksistensial bagi kehidupan manusia. Setiap manusia pasti mengalami perasaan-perasaan itu. Manusia tidak memiliki banyak cara untuk terhindar dari semuanya itu. Satu hal yang pasti ialah menyadari dan menerima ketakutan atau kecemasan serta kematian sebagai bagian dari hidup manusia. Sama seperti kelahiran yang mengantar manusia untuk melihat dunia, demikian pula kematian mengantar manusia kembali pada asal kehidupan.

Semoga kita senantiasa sadar bahwa suatu saat ketakutan yang tidak beralasan itu pasti menghampiri setiap manusia. Ketakutan, kecemasan, bahkan takut akan kematian adalah realitas kehidupan manusia. Hadapi semunya itu, persiapkan diri dengan baik, dan berbuatlah sesuatu yang lebih konstruktif dalam kehidupan ini agar kelak ketika waktunya tiba kita menjadi sadar bahwa hidup itu berguna.

Semoga...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun