Mohon tunggu...
Devi Nur
Devi Nur Mohon Tunggu... Freelancer - Jangan bosan menulis, membaca dan mendengarkan.

Terima kasih sudah menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

JIka Sudah Waktunya, Pasti Terjadi

2 Februari 2021   00:01 Diperbarui: 2 Februari 2021   00:14 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jika Sudah Waktunya, Pasti Terjadi

Ini bukan tentang rasa egois atau mementingkan perasaan diri sendiri. Ini tentang bagaimana memahami apa yang dibutuhkan oleh diri sendiri. Jika yang dibutuhkan adalah seorang pengganti agar bisa melupakan yang sebelumnya itu salah besar. Jangan bermain dengan ketulusan seseorang yang memiliki niat kebaikan. Jangan gunakan orang lain sebagai alat untuk melupakan masa lalu. Lebih baik bekerja sama dengan diri sendiri, ambil kesepakatan.

**

Pertengahan tahun 2019 aku mengenalnya di Instagram. Dia mengomentari fotoku di Instastory dan akhirnya berlanjut dengan beberapa percakapan. Sayangnya, aku tidak pernah membuka dan menggunakan Instagram kecuali jika ada Wi-Fi. Sehingga intensitas berbalas pesan bisa sampai seminggu, dua minggu atau satu bulan kemudian baru kubalas. Namun, dia tidak pernah mempermasalahkan itu dan tetap membalas pesanku meskipun sangat lama.

Suatu hari di awal tahun 2020, aku dan temanku bertandang ke kampus meski masih libur semester, mencari Wi-Fi gratis. Barulah aku bisa membalas pesannya di Instagram. Kemudian kita beralih berbalas pesan melalui WhatsApp supaya lebih mudah. Pertama kali yang dia tanyakan ketika video call adalah apakah aku mengenal Putri Amalia, jelas sekali aku mengenalnya. Putri adalah temanku sejak SMP, SMA dan sampai sekarang. Ternyata mereka bedua bertetangga. Tidak habis pikir jika dunia memang sesempit ini, yang kukira orang jauh ternyata hanya berbeda desa saja. Dan yang membuatku terkejut lagi adalah ternyata dia kakak kelasku ketika SMP, lebih tepatnya aku kelas 7 sedangkan dia kelas 9.

Hari mulai berjalan lagi dan kami semakin dekat. Dia yang menanyakan kuliahku padahal aku tidak ingin membahasnya, bertanya kenapa libur kuliahnya lama sekali dan menanyakan berapa usiaku.

"Hem, kalau di pikir-pikir udah pas sih."

"Maksudnya gimana, Mas?"

"Aku mau serius sama kamu, Dek."

"Hah? Kita kan baru kenal, masa udah mau serius aja."

"Buat apa lama-lama kalau udah saling cocok. Rasa cinta itu sebuah anugerah yang datang dari Tuhan."

Aku terdiam sesaat memandangi langit-langit kamar. Selain dia, ada seseorang yang dahulu pernah berkata seperti itu setelah aku bertanya sejak kapan mulai menyukaiku. Jawabannya persis seperti itu. Rasa cinta dan sayang murni datangnya dari Tuhan. Aku masih terdiam sedangkan dia nampak bernyanyi entah lagu apa, aku bisa melihatnya di video call. Kejadian seperti ini sudah ketiga kalinya terjadi padaku. Pertama, saat masih kelas 12 SMA, ketika semester 4 dan saat bersama dirinya.

Kita juga mulai berdebat mengenai bahagia itu tanggung jawab masing-masing. Dia tidak setuju dengan hal tersebut. Tugasnya adalah membahagiakan diriku dan aku tidak setuju itu. Sebab aku sudah bisa bahagia dengan atau tanpa dirinya. Bagiku, bahagia ya karena diri kita sendiri yang menciptakan bukan orang lain. Tetap saja, dia tidak setuju. Kita berdebat cukup sengit, saling melemparkan argument dan statement masing-masing.

Video call berakhir dengan ucapan selamat tidur dan sampai jumpa besok. Katanya dia akan menanyakan apakah aku sudah bisa menerimanya atau belum, setiap hari tanpa bosan. Justru aku sendiri yang merasa bosan ditanyai seperti itu. Benar, dia selalu bertanya apakah aku sudah bisa menerimanya atau belum dan jika harus menunggu tidak apa-apa. Bimbang mulai menyelimuti, haruskah aku menerimanya? Ataukah menunggu lebih lama lagi?

Dari hari ke hari dia mulai meyakinkanku. Dia bisa LDR (dia bekerja di luar negeri dan belum pulang hampir 6 tahun lamanya), jika sudah setia dengan satu ya tidak akan kemana-mana dan memiliki golongan darah B. Aku pernah membaca sebuah artikel yang mengatakan bahwa seseorang yang memiliki golongan darah B termasuk orang yang setia. Aku juga seperti itu (dahulu), tetapi dengan seseorang yang sudah mempersilahkanku pergi diakhir tahun 2018 lalu. Sekali lagi aku bertanya pada hatiku dan baiklah aku menerimanya. Mungkin inilah jawaban Tuhan yang berjanji akan memberikan ganti.

Sayangnya tidak berjalan lama, hanya bertahan dua hari dan aku menginginkan sudah. Kenapa? Entah kenapa rasanya berbeda antara sebelum jadian dan setelahnya. Dia selalu minta video call malam-malam ya karena pulang kerjanya memang jam 10 atau 11 malam. Sedangkan aku tidak bisa seperti itu, bagiku malam hari adalah waktu yang tepat untuk melakukan banyak hal yang lebih penting. Aku bukan orang yang multitasking, tidak bisa melakukan dua hal atau lebih dalam satu waktu. Itu sangat menganggu dan membuatku tidak fokus. Lagipula, firasatku mengatakan yang lain. Sebetulnya belum begitu jelas apa firasatnya, tetapi di hati sudah mulai terasa meski masih samar-samar.

Firasatku mulai muncul yang tidak-tidak karena ketidaknyamanan ini. Aku tidak mau masuk ke lubang yang sama karena mengabaikan firasat diri sendiri jadi kuputuskan untuk menyudahinya. Dia sangat terpukul, bisa saja kini sedang sedih hingga patah hati. Maafkan aku. Sungguh, aku minta maaf.

**

Setelah kisah yang berakhir dengan tidak bahagia, aku menjalani hari-hari seperti biasanya. Bekerja sebagai freelancer, mengajar private, mengerjakan project bersama dosen yang tidak kunjung selesai, terkadang membaca buku atau menulis puisi dan kegiatan lain yang tidak bisa kuceritakan pada orang lain. Semuanya kujalani dengan senang hati, bahagia dan tidak ada yang harus kuprioritaskan kecuali diriku sendiri. Terlebih tidak ada yang bertanya, "Kamu lagi ngapain? Keluar sama siapa? Terus pulangnya kapan? Kegiatan kamu sekarang ngapain aja?"

Sekarang aku sedang duduk di sebuah caf yang sering kujadikan tempat untuk menyelesaikan pekerjaanku. Setelah pesanan datang yaitu cokelat dingin, kupandangi layar laptopku yang sudah menunjukkan tahun 2021. Teringat padanya yang akan pulang kemudian bertandang ke rumah dan bilang kepada Bapak untuk lebih serius lagi denganku. Sayangnya hubungan kita hanya bertahan dalam hitungan hari. Entah dia jadi pulang atau tidak, aku tidak tahun sebab sudah satu tahun lamanya semenjak kisah itu berakhir kuputuskan untuk tidak berhubungan lagi dengannya melalui media sosial apapun. Kita bisa menjadi teman satu sama lain, tetapi tidak dengan perasaan yang lebih.

Jika kupikir-pikir lagi, ternyata aku belum terlalu siap untuk menerima orang baru dan belum sepenuhnya membuka hati untuk siapapun. Aku hanya membutuhkan diriku sendiri untuk melakukan banyak hal tanpa harus memikirkan orang lain. Terdengar sangat egois memang, tetapi bukan seperti itu maksudnya. Lagipula untuk bisa move on bukan mempersilahkan orang lain masuk sebagai pengganti, itu namanya pelampiasan. Move on bukan soal melupakan, tetapi menerima dan membiarkan keduanya menjalankan hidup masing-masing. Atau memang diriku saja yang terlalu takut jika sakit hati lagi dan menjalin cinta kembali.

Kepalaku mulai berkata bahwa tidak harus dengan orang lain untuk bahagia jika diri sendiri sudah bisa menciptakan sebuah kebahagiaan. Aku percaya, jika sudah waktunya pasti akan terjadi tanpa harus menggunakan berjuta-juta alasan. Dia yang dikirim Tuhan sebagaimana doa yang terucap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun