[caption caption="Presiden Joko Widodo saat menyampaikan paket kebijakan ekonomi, di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (9/9/2015) | kompas.com"][/caption]
Paket kebijakan ekonomi jilid IV yang dirancang pemerintah untuk kaum buruh dengan melakukan perubahan perhitungan upah dinilai oleh beberapa kalangan yang (katanya) proburuh, sebagai kado pahit bagi buruh Indonesia. Bahkan, Ketua KSPI menganggap kebijakan tersebut lebih kejam dari pemerintahan Orde Baru.
Rieke Diah Pitaloka, anggota komisi IX DPR RI, mengatakan bahwa kenaikan upah sebesar 10 persen tidak signifikan dan semakin membuat kesejahteraan kaum buruh merosot tajam. Menurut Diah, formulasi yang ditentukan pemerintah merupakan kesalahan fatal, karena kenaikan bukan berdasarkan pada kemampuan daya beli riil dan pertumbuhan ekonomi hanyalah variabel makro yang tidak relevan untuk dijadikan indikator perhitungan upah. Dalam sistim pengupahan seharusnya pemerintah memperhitungkan faktor risiko ekonomi, seperti depresiasi rupiah, kenaikan harga bahan bakar minyak dan listrik.
Diah Pitaloka, menilai bahwa peraturan pemerintah yang nantikan akan diterbitkan adalah produk cacat hukum, dan harus dicabut karena bertentangan dengan:
- Pasal 88 ayat (1) UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, yang berbunyi "Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".
- Pasal 89 ayat (3) UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa "Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan/atau Bupati/walikota".
Hampir senada dengan Rieke Diah Pitaloka, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebutkan, dengan skema perhitungan itu maka peran serikat buruh dihilangkan dalam penyusunan upah minimum melalui kebutuhan hidup layak (KHL), bahkan Said Iqbal menilai Pemerintahan Jokowi lebih kejam dari Orde Baru.
Masih menurut Iqbal, penolakan buruh (KSPI) terhadap paket kebijakan ekonomi jilid IV, dikarenakan upah dasar buruh Indonesia masih rendah. Sebagai perbandingan Iqbal menyebut negara lain seperti Thailand Rp 3,4 juta, Filipina Rp 3,6 juta, Malaysia Rp 3,2 juta, dan Singapura sudah Rp 10 juta. Sementara di Jakarta Rp 2,7 juta. Tak lupa, dia juga menyatakan bahwa paket kebijakan ekonomi tersebut melanggar konstitusi.
Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, mengatakan, dalam pembahasan paket kebijakan ekonomi sudah melibatkan buruh, pengusaha dan praktisi walaupun tidak detail. Menteri Hanif memastikan bahwa perhitungan upah tersebut hanya berlaku untuk upah minimum dan bagi buruh yang bekerja dibawah satu tahun. Selebihnya ada lembaga bipartit, penambahan struktur dan skala upah yang menjadi acuan.
Apakah Rieke Diah Pitaloka tidak memahami komponen gaji secara detail dan memang keblinger agar dianggap peduli buruh? bisa jadi keduanya. Seorang Rieke sepertinya lupa bahwa PDI-P, partai politik yang mewadahinya adalah partai yang berafiliasi dengan pemerintah. Diah seharusnya mampu memberikan penjelasan dan pemahaman kepada kaum buruh, bukan menjadi pahlawan kesiangan dan gagal menempatkan diri sebagai bagian dari partai pendukung pemerintah.
Mungkinkah mental oposisi (karena jarang menjadi partai pemerintah) masih tertanam dikepalanya, sehingga yang seharusnya memberikan dukungan kepada pemerintah malah menjadi oposan. Rieke maupun Iqbal, sebagai sosok yang selalu berjuang untuk kesejahteraan buruh tidak menempatkan dirinya sebagai enemy terhadap kebijakan pemerintah, mereka seharusnya mampu menjembatani kebijakan pemerintah dan kepentingan buruh serta keberlangsungan dunia usaha.
Dengan selalu menekankan kewajiban kepada pengusaha, tanpa mempertimbangkan dan melihat kondisi dunia usaha, tuntutan mereka (mewakili buruh), akan menjadi blunder dan membuat dunia usaha menjadi antipati, yang pada akhirnya para pengusaha mengalihkan usahanya ketempat lain yang pekerjanya mungkin dibayar sedikit lebih mahal tetapi memiliki kepastian usaha. Jika ini terjadi, apakah Sdri. Rieke Diah Pitaloka dan sdr. Said Iqbal mau mempertanggung jawabkannya kepada para buruh yang kehilangan pekerjaan?
Seharusnya, kedua orang ini, turut memikirkan jalan keluar terhadap delapan provinsi yang UMP-nya belum mencapai seratus persen., bukan hanya mampu menuntut.
Berapa poin berikut bisa dijadikan catatan oleh anggota DPR RI, KSPI dan buruh, agar komponen KHL bisa terpenuhi dan dunia usaha berjalan normal (jangan sampai terjadi PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) atau para pengusaha menutup usahanya), diantaranya :
- Berlakulah bijak, setiap ada peraturan pemerintah yang terkait dengan buruh atau kesejahteraan buruh, pelajari dengan cermat, lakukan konsultasi dengan pemerintah dan berikan buruh pemahaman tentang kenaikan atau perubahan gaji/pendapatan.
- Kesejahteraan buruh tidak semata-mata diukur dengan uang, karena kesejahteraan para buruh termasuk didalamnya, hak libur, hak cuti, perlakuan saat bekerja, keamanan saat bekerja, reward, jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja, beasiswa bagi anak-anak buruh dan lain sebagainya.
- Membandingkan pendapatan buruh dalam negeri dengan luar negeri, boleh saja, tetapi hendaknya diperhatikan dengan negara mana upah itu di perbandingkan. Membandingkan upah buruh Indonesia dengan Singapura adalah sebuah kekonyolan dan menunjukan ketidakmampuan.
- DPR dan KSPI juga harus memikirkan, bagaimana caranya agar para buruh diberikan kesempatan untuk mengasah dan menambah skill mereka.
- Buruh harus mampu menanamkan sikap dan rasa memiliki perusahaan di tempat mereka bekerja, agar tidak mudah terprovokasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Dunia usaha tidak akan bisa melanjutkan usahanya jika tidak ada keuntungan yang didapat dan peran serta buruh dalam mempertahankan keberlangsungan usaha sangatlah besar. Jika pengusaha sudah tidak mampu mempekerjakan karyawan/buruh karena terlalu tingginya upah, maka jalan terbaik bagi pengusaha adalah menutup usahanya dan kabar buruk bagi buruh karena harus dirumahkan.
Andai hal buruk ini terjadi, yang dirugikan bukan hanya pengusaha tetapi termasuk para buruh yang kehilangan pekerjaan karena tuntutan yang berlebihan. Bagi perusahaan besar, mungkin tidak terlalu bermasalah tetapi bagaimana dengan usaha kecil dan menengah? sungguh naif, hanya karena tuntutan berlebihan tapi yang terjadi malah kehilangan mata pencaharian. Semoga kedua Ibu dan Bapak yang cerdas itu bisa mengerti dan memahami, bukan hanya menuntut tak peduli.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H