Mohon tunggu...
Aldy M. Aripin
Aldy M. Aripin Mohon Tunggu... Administrasi - Pengembara

Suami dari seorang istri, ayah dari dua orang anak dan eyang dari tiga orang putu. Blog Pribadi : www.personfield.web.id

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Paket Ekonomi Jilid IV: Kado Pahit Buruh Indonesia?

18 Oktober 2015   00:23 Diperbarui: 18 Oktober 2015   08:01 884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Presiden Joko Widodo saat menyampaikan paket kebijakan ekonomi, di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (9/9/2015) | kompas.com"][/caption]

Paket kebijakan ekonomi jilid IV yang dirancang pemerintah untuk kaum buruh dengan melakukan perubahan perhitungan upah dinilai oleh beberapa kalangan yang (katanya) proburuh, sebagai kado pahit bagi buruh Indonesia. Bahkan, Ketua KSPI menganggap kebijakan tersebut lebih kejam dari pemerintahan Orde Baru.

Rieke Diah Pitaloka, anggota komisi IX DPR RI, mengatakan bahwa kenaikan upah sebesar 10 persen tidak signifikan dan semakin membuat kesejahteraan kaum buruh merosot tajam. Menurut Diah, formulasi yang ditentukan pemerintah merupakan kesalahan fatal, karena kenaikan bukan berdasarkan pada kemampuan daya beli riil dan pertumbuhan ekonomi hanyalah variabel makro yang tidak relevan untuk dijadikan indikator perhitungan upah. Dalam sistim pengupahan seharusnya pemerintah memperhitungkan faktor risiko ekonomi, seperti depresiasi rupiah, kenaikan harga bahan bakar minyak dan listrik.

Diah Pitaloka, menilai bahwa peraturan pemerintah yang nantikan akan diterbitkan adalah produk cacat hukum, dan harus dicabut karena bertentangan dengan:

  • Pasal 88 ayat (1) UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, yang berbunyi "Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".
  • Pasal 89 ayat (3) UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa "Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan/atau Bupati/walikota".

Hampir senada dengan Rieke Diah Pitaloka, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebutkan, dengan skema perhitungan itu maka peran serikat buruh dihilangkan dalam penyusunan upah minimum melalui kebutuhan hidup layak (KHL), bahkan Said Iqbal menilai Pemerintahan Jokowi lebih kejam dari Orde Baru.

Masih menurut Iqbal, penolakan buruh (KSPI) terhadap paket kebijakan ekonomi jilid IV, dikarenakan upah dasar buruh Indonesia masih rendah. Sebagai perbandingan Iqbal menyebut negara lain seperti Thailand Rp 3,4 juta, Filipina Rp 3,6 juta, Malaysia Rp 3,2 juta, dan Singapura sudah Rp 10 juta. Sementara di Jakarta Rp 2,7 juta. Tak lupa, dia juga menyatakan bahwa paket kebijakan ekonomi tersebut melanggar konstitusi.

Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, mengatakan, dalam pembahasan paket kebijakan ekonomi sudah melibatkan buruh, pengusaha dan praktisi walaupun tidak detail. Menteri Hanif memastikan bahwa perhitungan upah tersebut hanya berlaku untuk upah minimum dan bagi buruh yang bekerja dibawah satu tahun. Selebihnya ada lembaga bipartit, penambahan struktur dan skala upah yang menjadi acuan.

Apakah Rieke Diah Pitaloka tidak memahami komponen gaji secara detail dan memang keblinger agar dianggap peduli buruh? bisa jadi keduanya. Seorang Rieke sepertinya lupa bahwa PDI-P, partai politik yang mewadahinya adalah partai yang berafiliasi dengan pemerintah. Diah seharusnya mampu memberikan penjelasan dan pemahaman kepada kaum buruh, bukan menjadi pahlawan kesiangan dan gagal menempatkan diri sebagai bagian dari partai pendukung pemerintah.

Mungkinkah mental oposisi (karena jarang menjadi partai pemerintah) masih tertanam dikepalanya, sehingga yang seharusnya memberikan dukungan kepada pemerintah malah menjadi oposan. Rieke maupun Iqbal, sebagai sosok yang selalu berjuang untuk kesejahteraan buruh tidak menempatkan dirinya sebagai enemy terhadap kebijakan pemerintah, mereka seharusnya mampu menjembatani kebijakan pemerintah dan kepentingan buruh serta keberlangsungan dunia usaha.

Dengan selalu menekankan kewajiban kepada pengusaha, tanpa mempertimbangkan dan melihat kondisi dunia usaha, tuntutan mereka (mewakili buruh), akan menjadi blunder dan membuat dunia usaha menjadi antipati, yang pada akhirnya para pengusaha mengalihkan usahanya ketempat lain yang pekerjanya mungkin dibayar sedikit lebih mahal tetapi memiliki kepastian usaha. Jika ini terjadi, apakah Sdri. Rieke Diah Pitaloka dan sdr. Said Iqbal mau mempertanggung jawabkannya kepada para buruh yang kehilangan pekerjaan?

Seharusnya, kedua orang ini, turut memikirkan jalan keluar terhadap delapan provinsi yang UMP-nya belum mencapai seratus persen., bukan hanya mampu menuntut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun