Mohon tunggu...
Aldy M. Aripin
Aldy M. Aripin Mohon Tunggu... Administrasi - Pengembara

Suami dari seorang istri, ayah dari dua orang anak dan eyang dari tiga orang putu. Blog Pribadi : www.personfield.web.id

Selanjutnya

Tutup

Politik

IPDN & Non IPDN, Contoh Kecil Kasus di Lapangan

10 September 2015   15:23 Diperbarui: 10 September 2015   15:32 1561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usulan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kepada Presiden Jokowi agar membubarkan IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri), mendapat berbagai tanggapan, dari yang pro (setuju) sampai yang kontra (menentang), dari yang kecewa sampai ada yang tersenyum gembira, tentu dengan alasan dan pertimbangan masing-masing.

Sejarah Singkat Terbentuknya IPDN

Dikutip dari website IPDN, pendidikan kepamongprajaan ini dirintis pada tahun 1920 dengan nama Opleiding School Voor Inlandshe Ambtenaren ( OSVIA ) dan Middlebare Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren ( MOSVIA ), lulusannya pada masa itu dimanfaatkan oleh Pemerintahan Hindia Belanda untuk memperkuat penyelenggaraan pemerintahan.

Setelah Kemerdekaan kebutuhan terhadap tenaga pamong praja dalam pemerintah meningkat drastic, sehingga kemudian pada tahun 1948 dibentuklah lembaga pendidikan dalam lingkungan Kementrian Dalam Negeri yaitu Sekolah Menengah Tinggi ( SMT ) Pangreh Praja yang kemudian berganti nama menjadi Sekolah Menengah Pegawai Pemerintahan Administrasi Atas ( SMPAA ) di Jakarta dan Makassar.

Selama kurun waktu dari tahun 1952-1954, pemerintah melaksanakan Kursus Dinas C (KDC), dibeberapa kota, untuk melahirkan tenaga-tenaga yang siap pakai.  Dalam perkembangannya KDC ini dianggap tidak lagi memadai untuk melahirkan tenaga siap pakai.  Pada tanggal 17 Maret 1956, didirikanlah Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) di Malang, berdasarkan SK Mendagri No. Pend.1/20/56 tanggl 24 September 1956, APDN tersebut dinyatakan bersifat nasional.  Seiring dengan perkembangan, pada tahun 1967 didirikan Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) di Malang, Jawa Timur yang dimaksudkan sebagai lembaga pendidikan peningkatan kemampuan lulusan APDN.  Pada tahun 1972 IIP Malang di pindahkan ke Jakarta, sesuai Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 94 tahun 1972.

Sejak saat itu, sampai tahun 2010 yang lalu lembaga pendidikan kepamongprajaan ini mengalami perubahan dan perkembangan berkali-kali sehingga sampai pada bentuk pendidikan yang dikenal luas saat ini.  Kampus IPDN yang berdiri di Cilandak Jakarta, menyelenggarakan pendidikan Program Pascasarjan Strata Dua (S-2) dan Strata Tiga (S-3).

[caption caption="Rekam Jejak Pendidikan Pamong Praja | ipdn.ac.id"][/caption]

Kondisi Real di Daerah 

Melihat sejarah dan perkembangan lembaga tersebut, dapatlah kita simpulkan bahwa sumbangsih lulusan IPDN terhadap perkembangan dan pelaksanaan administrasi negara sangat besar, sehingga wajar jika ada lulusan IPDN yang kecewa dengan pernyataan gubernur Ahok.  Dan menjadi sesuatu yang lumrah jika kita sangat mudah menemukan atau menjumpai mereka dikantor-kantor pemerintah dari tingkat pusat sampai tingkat kelurahan.

Wacana dalam bentuk saran yang disampaikan gubernur Ahok, bukannya tanpa alasan, sebagai gubernur tentunya beliau telah memiliki data dan gambaran yang jelas tentang kualitas IPDN dan seperti yang dilangsir beberapa media mainstream pak Ahok mengakui bahwa banyak lulusan IPDN berkualitas baik.  Tidak dapat dipungkiri, usulan pak Ahok telah menimbulkan sedikit guncangan yang pada akhirnya memunculkan pro dan kontra.

Dari gambaran ini, saya mencoba menelaah dari sudut yang lebih sempit dilingkup kabupaten ditempat saya bekerja (kita hanya focus pada satu masalah, pengangkatan camat oleh Bupati/Walikota).  Yang pertama perlu sama-sama kita pahami bahwa jabatan pamong seperti camat bukan jabatan politis dan kedudukan mereka sebagai camat tidak melalui pemilihan langsung.  Ini berbeda dengan pemilihan Bupati yang merupakan atasan langsung camat.  Begitu juga pemilihan lurah/kepala desa, walapun statusnya dibawah koordinasi camat, tetapi jabatan sebagai lurah/kades ditentukan melalui pemilihan langsung.

Mengacu kepada Undang-undang nomor 23 tahun 2014, pasal 224, ayat 2 menyebutkan bahwa Bupati/wali kota wajib mengangkat camat dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewenangan Bupati/Wali Kota ini yang kemudian menjadi pangkal masalah yang terjadi didaerah.  Ada Bupati yang mengangkat seorang camat hanya karena balas budi atau semacamnya atau menjadi tim sukses secara tidak langsung saat berlangsungnya pemilihan bupati.  Bahkan tidak lagi melihat dan memperhatikan kompetensi dan kualifikasi dasar pengangkatan camat.  Yang penting si calon camat pegawai negeri sipil (Aparat Sipil Negara).  Persyaratan ini sudah dianggap cukup, mengenai persyaratan lainnya boleh diabaikan.

Secara kebetulan saya kenal dengan seorang camat di Kabupaten Melawi, basis pendidikan beliau tenaga kesehatan.  Karena Camat saat ini harus bergelar sarjana (strata-1), untuk memenuhi kualifikasi itu, dilakonilah pendidikan kilat untuk mendapat gelar kesarjanaan.  Dengan begitu Syarat sebagai PNS (ASN) dan Sarjana sudah terpenuhi, jabatan camat sudah boleh disandang, tinggal surat keputusan dari Kepala Daerah Tingkat II, karena sebelumnya terlibat sebagai tim sukses, makin melancarkan jalan sebagai camat.  Selesai perkara.

Saya juga kenal dengan camat lainnya yang basis pendidikannya sebagai guru, karena beliau lulusan FKIP, otomatis bergelar strata-1, tidak ada lagi yang menjadi halangan untuk ditempatkan sebagai seorang kepala daerah di kecamatan.

Kedua contoh kasus diatas, memberikan gambaran betapa lulusan IPDN kadang seperti terabaikan, apalagi jika sang lulusan tidak pandai melakoni politik angkat telur, mengertinya hanya bekerja berdasarkan ilmu pemerintahan dan ilmu agama yang diyakininya, maka makin terpinggirkanlah dari persaingan.

Peluang diatas semakin besar jika pada sebuah daerah belum mampu menerapkan sistem pemerintahan good governance, sehingga nepotisme masih subur dipraktekan.  Untuk pemerintahan propinsi selevel Jakarta saja masih banyak terjadi nepotisme, maka jangan lagi dipertanyakan sistem yang berlangsung didaerah.

Tetapi, kita juga tidak bisa mengabaikan ada banyak daerah sudah mulai menerapkan pemerintahan yang baik, walaupun nepotisme masih saja terjadi tetapi jumlahnya sudah bisa ditekan sampai pada titik terendah yang bisa dilakukan.  Hanya dengan menekan nepotisme, persaingan sebagai pamong praja (camat) dapat berlangsung secara adil.

Lulusan IPDN Apa yang harus anda lakukan?

Tidak ada pilihan kecuali bersaing secara sehat, jika masih tetap setia menjunjung tinggi idealisme sebagai seorang pamongpraja atau cara yang lebih mudah terlibat langsung dalam permainan nepostisme dan praktek balas budi dengan menjadi tim sukses kepala daerah.

Jika sudah terlibat dalam permainan dengan sendirinya predikat sebagai lulusan IPDN tidak lagi terlalu diperlukan, karena yang menjadi kriteria bukan lagi kemampuan ilmu pemerintahan yang diperlukan tetapi ilmu memenangkan pertandingan dan ilmu menyenangkan atasan lebih diprioritaskan. 

Lulusan IPDN tidak lagi eksklusif, tidak lagi mendapat perlakuan instimewa walaupun mereka memiliki ilmu pemerintahan yang lebih baik dari non lulusan IPDN, dikondisi ini, lulusan IPDN menjadi sama dengan lulusan non IPDN, kalau sudah begini, masihkan IPDN perlu dipertahankan?

Tetapi yang sering diabaikan dan terjadi saat ini, adalah ilmu pemerintahan dan manajerial, sehingga tidak heran jika camat sering ditemukan tidak ada ditempat, gagal melakukan koordinasi dengan Kapolsek untuk urusan keamanan dan koramil untuk urusan hankam.  Karena ketidakpahaman itu, akibatnya kapolsek dan koramil sering dibuat berdiri sendiri dan ada pula dijadikan semacam jongos oleh camat yang merasa superior.  Disaat seperti ini, lulusan IPDN yang lebih mumpuni dalam ilmu pemerintahan dan manajerial diperlukan dan kejelian kepala daerah tingkat II menjadi sangat penting agar tidak terjadi salah penempatan dan pengangkatan yang pada muaranya merugikan rakyat dan kepala daerah itu sendiri.

Kita tidak memungkiri ada banyak lulusan IPDN yang berkulitas rendah dan bergaya priyayi tetapi tidaklah boleh disama ratakan dengan banyaknya lulusan IPDN berkualitas baik dan merakyat, tapi sungguh disayangkan justru mereka inilah yang kemudian banyak tenggelam ditelan gaya kepemimpinan kepala daerah tingkat II yang lebih mementingkan kelompok dan keluarganya.

Apakah IPDN perlu dipertahankan atau dibubarkan, bukan kapasitas saya untuk memberikan penilaian, dari contoh kasus diatas, kita masing-masing bisa menilai, bagaimana dan apa yang sebaiknya dilakukan terhadap IPDN.

Penting! Agar tidak terjadi generalisasi penilaian terhadap lulusan IPDN, perlu diingatkan bahwa setiap daerah memiliki masalah dan problem sendiri, sehingga tidaklah pantas jika dari contoh kasus ini dianggap mewakili secara keseluruhan.  Tidaklah elok, hanya karena contoh kecil ini kita langsung memvonis.  Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun