Â
Pada tulisan sebelumnya, saya telah mengupas sedikit apa yang dimaksud dengan orang tua durhaka dari sudut pandang dan perspektif saya pribadi. Tujuannya bukan sebagai mentor bagi orang lain, tetapi sebagai pengingat kepada diri sendiri bahwa dalam hidup ini, bukan hanya anak yang layak mendapatkan cap sebagai pendurhaka, tetapi para orang tua juga.
Baru-baru ini kita hebohkan dengan kasus Engeline yang harus meregang nyawa diusia yang masih sangat muda bahkan ketika usianya belum genap sepuluh tahun. Â Bagaimana kejamnya orang tua angkat Engeline memperlakukan dirinya padahal Engeline sendiri masih belum tahu apa yang harus dia perbuat dan lakukan untuk masa depannya kelak. Â Dalam usia seperti Engeline, peranan orang tua masih berperan sepenuhnya untuk membentuk karakter dirinya demi menyongsong kehidupannya dikemudian hari.
Tetapi siapa nyana, ternyata Engeline bukannya diperlakukan selayaknya anak-anak tapi dia diperlakukan dengan cara yang sangat tidak pantas dan biadab. Â Inilah salah satu contoh mutahir bagaimana durhakanya orang tua terhadap sianak. Â Kehidupan sianak direnggut secara paksa hanya karena sesuatu hal yang seharusnya bisa dibicarakan dikemudian hari.
Ketakutan dan kecemburuan orang tua terhadap anak, dapat menyebabkan sianak diperlakukan secara sadis dan menjatuhkan orang tuanya sebagai orang tua durhaka. Â Kedurhakaan tersebut bukan karena karena sikap tidak santunnya orang tua kepada sianak tetapi lebih dari itu, yaitu kebiadaban yang tidak berperikemanusiaan. Â Padahal, anak seharusnya menjadi buah cinta orang tua (tak perduli dia anak asuh, anak angkat maupun anak tiri), sebagai orang tua, menjadi kewajiban mutlak mendidik mereka menjadi manusia yang seutuhnya.
Kegagalan orang tua dalam mendidik anak bisa saja dikategorikan sebagai kedurhakaan jika kegagalan tersebut memang disengaja seperti kasus Engeline. Â Akan berbeda kasusnya, jika orang tua sudah bersusah payah mendidik anak, tetapi ketika dia besar dan lebih terpengaruh karena lingkungannya jadi berbalik tidak perduli dan tidak lagi tunduk secara wajar kepada orang tua. Â Kegagalan dalam kasus kedua ini tidak lagi sepenuhnya menjadi salah orang tua dan tidak mungkin lagi orang tua dituduh durhaka kepada anak tetapi yang terjadi adalah sebaliknya.
Seorang Engeline, diusianya yang sangat muda sepantasnya menjadi tumpuan kasih sayang orang tua, menjadi media penghibur orang tua karena wajahnya imut dan ayu. Â Tetapi ketika keserakahan dan kecemburuan menjadi mahkota dalam hati si orang tua, maka timbulah kisah pilu seperti yang dialami oleh Engeline. Â Orang tua yang beradat dan beradab tidak akan tega melalukan hal tersebut, tapi tidak jika angkara murka sudah menjadi onak dan duri dalam hati. Â Keluguan dan imutnya Engeline nyatanya tidak mampu meluluhkan hati orang tuanya bahkan mengobarkan api kedurhakaan (kebencian mendalam) sehingga dengan teganya si orang tua meminta pihak lain untuk menghilangkan jejak Engeline dengan cara-cara biadab.
Contoh kasus ini, bisa kita jadikan pelajaran yang tidak ternilai harganya, bayangkan kita harus belajar dengan nyawa Engeline sebagai bayarannya.  Saya percaya, para orang tua yang baik, para orang tua yang perduli dengan perkembangan fisik dan psikologis anak akan bersikap ngangoni dan mengayomi, karena sikap seperti itulah yang dulunya diajarkan oleh orang tua kita ketika kita dididik oleh mereka. Marah kepada anak adalah wajar, ketidak mampuan orang tua marah ketika si anak salah juga merupakan sebuah kegagalan dalam sistem pengajaran dan pembelajaran kepada anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H