Mohon tunggu...
Aldy M. Aripin
Aldy M. Aripin Mohon Tunggu... Administrasi - Pengembara

Suami dari seorang istri, ayah dari dua orang anak dan eyang dari tiga orang putu. Blog Pribadi : www.personfield.web.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Orang Tua Durhaka, Mungkinkah Ada?

17 Juni 2015   21:30 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:09 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama ini kita hanya mengenal istilah anak durhaka dan secara umum penilaian tersebut jatuh kepada anak yang dianggap tidak patuh dan tunduk kepada orang tua, tetapi pada kenyataannya anak yang tidak tunduk dan patuh tersebut bukan karena mereka tidak mau menuruti orang tua mereka, tetapi karena permintaan dari orang tua yang sepatutnya tidak perlu dituruti.

Dan ego sebagai orang tua, kadang mengalahkan kebenaran yang ada didepan mata dan serta merta sianak dicap dan dilabeli sebagai anak durhaka tanpa perlu perduli bahwa sebenarnya orangtualah yang salah dalam kasus ini. Dalam kasus seperti ini, timbul pertanyaan, masih pantas sianak menyandang predikat sebagai anak durhaka? bukankah justru orang tua yang durhaka terhadap anak?

Orang tua bukanlah pemilik absolute terhadap kehidupan anak, sebagai orang tua kita memiliki kewajiban untuk membesarkan dan membimbing mereka agar kelak mereka dapat menjalani kehidupan ini sebagai mana layaknya manusia lain.  Sudah bukan pada tempatnya lagi oran tua memaksakan segala sesuatu terhadap anak.  Kewajiban orang tua membesarkan dan medidik anak, tidak serta merta membuat orang tua berhak segala-galanya terhadap mereka.  Ingat, mereka hadir kedunia ini bukan atas permintaan mereka, tetapi buah kasih sayang dan cinta kedua orang tua, jika demikian adanya pantaskah kita memaksakan sesuatu yang tidak wajar kepada mereka?

Contoh paling gampang dan banyak terjadi adalah masalah jodoh, sampai saat ini masih banyak orang tua yang sewot bahkan dengan gampang memvonis sianak sebagai anak durhaka ketika sianak tidak lagi mengikuti keinginan orang tua dalam hal perjodohan.  Orang tua, sebaiknya tidak lagi menjodoh-jodohkan sianak apalagi sampai pada taraf setengah memaksa, tapi wajib bagi orang tua untuk memberikan pandangan dan nasehat kepada sianak dalam hal mencari jodoh, karena sebagai orang tua tentunya kita tidak ingin anak kita sengsara karena jodohnya dikemudian hari.

Tetapi memaksakan kehendak kita kepada sianak untuk menerima jodoh yang kita tentukan bukanlah sebuah keputusan yang bijak, karena bukan tidak mungkin jodoh yang baik menurut pandangan orang tua tetapi justru menyiksa sianak karena ada perbedaan mendasar diantara keduanya, jika sudah begini, tujuan kita untuk membahagiakan anak tidak tercapai dan siapkah kita menerima stempel sebagai orang tua durhaka sebagai mana gampangnya kita memberikan stempel kepada sianak karena tidak mau menuruti kemauan orang tua?

Banyak orang tua, yang tidak mampu menerima kenyataan ketika sianak tidak menurut kemauan orang tua, karena mereka masih menganggap bahwa salah satu bentuk bakti anak kepada orang tua adalah menuruti kemauan orang tua tanpa syarat.  Padahal, orang tua seharusnya hanya bersikap sebagai pembimbing bukan pemaksa kehendak, percuma saja kita memberikan mereka pendidikan yang tinggi, tetapi ketika mereka memiliki pemikiran sendiri justru sebagai orang tua kita menjadi penentang yang paling utama terhadap pemikiran mereka.

Sebagai orang muda yang mulai belajar hidup, mendikte sepenuhnya jalan kehidupan mereka merupakan bentuk kesewang-wenangan orang tua terhadap anak.  Jika ada hal yang menyimpang dari doktrin kehidupan baku menurut para orang tua, hal tersebut adalah wajar dan kewajiban sebagai orang tua untuk mengingatkan mereka, bukan lantas mengekang dan memenjarakan pola pikir mereka terhadap kehidupan yang akan mereka jalani.

Hal semacam ini, masih saya temukan bukan hanya pada orang tua yang berpendidikan "rendah" tapi juga mereka yang sudah mengenyam pendidikan tinggi tetapi terkungkung pada ajaran tertentu yang mengharuskan mereka untuk selalu mengawasi dan mendikte sianak dan akibat yang sering kita temukan dilapangan, sianak melakukan "makar" dan "pemberontakan" diam-diam yang pada akhirnya mempermalukan mereka sendiri dan para orang tua.

Pengawasan terhadap anak adalah hal yang baik dan harus dilakukan oleh para orang tua, tetapi dalam batas-batas yang wajar.  Percayalah, tidak ada anak yang ingin mempermalukan orang tua sebagaimana orang tua ingin melihat anaknya selalu senang dan bahagia.  Tetapi ketika kebebasan wajarpun tidak mereka dapatkan, bukan tidak mungkin mereka akan melakukan perbuatan-perbuatan diluar nalar orang tua, kalau sudah seperti ini orang tua dengan gampangnya akan memvonis sianak sebagai anak durhaka padahal jika kita telusuri lebih jauh ternyata si orang tua lah yang menjadi biang dari itu semua.  Nah, jika begini bukankah justru orang tua yang durhaka terhadap anak?

Istilah ini tentu saja masih layak dipertentangkan, karena istilah durhaka yang kita kenal selama ini hanya berlaku untuk sosok yang lebih muda terhadap sosok yang lebih tua, tapi sebagai cerminan dan pagar pribadi sebagai orang tua, tidak ada salahnya tidak terap dalam lingkup keluarga kita sendiri.  Hukuman sebagai orang tua durhaka terasa lebih mengerikan walaupun hukuman tersebut kita jatuhkan terhadap diri sendiri.  Dan berharap, dengan membayangkan betapa kejamnya hukuman tersebut, kita sebagai orang tua tetap memberikan yang terbaik bagi anak-anak kita tanpa pernah perduli apapun bentuk balasan mereka terhadap kita, karena tugas dan kewajiban kita membesarkan dan mendidik mereka dan tidak ada hak kita untuk menagih semua yang pernah kita berikan kepada mereka.

Jika kelak dimasa tua, anak-anak perduli kepada kita sebagai orang tua, anggaplah itu sebagai bonus dalam kehidupan yang fana ini, karena bukan imbal balik yang menjadi tujuan utama kita membesarkan mereka.  Jika masih ada orang tua yang mengharapkan imbal balik dari anak yang dididiknya, segeralah berfikir ulang mungkin saatnya kita sebagai orang tua membersihkan kembalik doktrin lama yang masih melekat, karena saya percaya tidak akan diantara kita yang mau dinilai sebagai orang tua durhaka sebagaimana halnya anak yang tidak mau dianggap sebagai anak durhaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun