Begini, Dik. Kita duduk dalam satu meja. Berhadap-hadapan. Dari awal makan sampai akhir makan, tanpa ada obrolan. Apa itu sebuah kewajaran? Terlebih lagi kita ini pasangan."
Aku terdiam. Dik Mei terdiam. Aku meneguk segelas susu. Dik Mei pun demikian. Meneguk matcha latte-nya.
"Dik, dewasa ini kita juga tidak sadar, telah menjadi bagian dari orang-orang kosong itu. Kita menjadi anomali akibat candu. Candu pada sebuah alat canggih. Mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat. Apakah ini sebuah kewajaran?
Ketika ada satu keluarga kumpul di dalam ruang tengah dengan suasana yang sunyi seperti di tengah-tengah kuburan. Lalu satu per satu anggota keluarga senyum-senyum sendiri sambil tertunduk dan memandang layar kaca alat canggih. Apakah ini wajar?
Aku melihat ada borgol yang mengikat antara alat canggih itu dengan tangan ini. Tanganku, tanganmu, tangan kita, tangan mereka dan tangan-tangan lainnya. Aku ingin lepas dari brogol ini, Dik. Apakah kamu tahu caranya?
Mataku lelah memandang terus. Terus memandang layar kaca. Tanganku lelah, mengegam alat canggih ini. Sementara tanganmu selalu lepas dari genggamanku. Aku tidak nyaman. Aku lebih suka menggenggam tanganmu ketika kita sedang duduk berhadapan seperti ini.
Bisakah mulai esok hari kita melepas alat canggih ini, Dik? Kita pegang kembali jika kita butuh. Aku yakin bisa. Sebab kita hidup di dunia nyata, bukan dunia maya. Apalagi dunia luna."
Segelas susu pun tandas. Juga matcha latte-nya. Sayup-sayup terdengar suara azan.
"Sudah azan, Dik. Mari kita salat."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H