Mohon tunggu...
Allan Maullana
Allan Maullana Mohon Tunggu... Teknisi -

Bukan siapa-siapa. Bukan apa-apa. Hanya remah-remah peradaban.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Senandika Sebelum Azan

1 Januari 2019   23:03 Diperbarui: 3 Januari 2019   23:35 754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi: Dokumen pribadi)

Segelas susu hangat dan segelas matcha latte hangat segera dihidangkan oleh wanita yang selalu tersenyum hangat. Udara dingin dari luar masuk bagaikan jarum-jarum yang menusuk kulit lalu tembus ke tulang. "Tolong tutup pintunya, Dik. Jendelanya juga."

"Cetlek.. cetlek..." Suara kompor gas terdengar masuk ke telinga. Tiga kali. Oh, tidak. Empat sampai lima kali, kira-kira. Tidak ada suara permintaan tolong. Aku rasa kompor sudah berhasil menyala. Aku masih duduk terdiam. Entah apa yang terjadi. Membisu, tertunduk pada layar komputer yang aku gunakan untuk mengetik.

Aku coba memejamkan mata. Semakin dalam menyelami jiwa. Aku mencari kegilasahan yang biasa hinggap di inti jantung. Tidak ada. Ya, tidak ada lagi kegelisahan. "Hoi.. Kegelisahan di mana kau? Di mana kau berada? Aku butuh engkau, kegilasahan".

Aku berjalan dalam pikiranku sendiri. Memasuki lorong-lorong waktu lampau. Mencari sesuatu, seseorang, atau apapun itu yang bisa aku bawa keluar dalam bentuk aksara. Lorong hari, lorong bulan, sampai lorong tahun demi tahun aku masuki. Nihil.

Segelas susu hangat dan segelas matcha latte hangat sudah terhidangkan. Aku meneguk susu hangat. Dan matcha latte hangat itu sudah berada ditangan wanita bersenyum hangat. Aku kembali keluar dari lorong-lorong masa lampau. Mataku tertuju padanya.

Rambutnya yang sebahu tergerai, dibiarkan tanpa ikat rambut. Kepalanya menunduk. Matanya tekun menatap bait-bait pada sebuah buku yang sedang ia pegang dengan mesra. Aku semakin tekun memandangnya. Entah kenapa ada sesuatu yang merasuk dalam pikiran.

Sudah satu tahun lebih aku bersamanya, wanita bersenyum hangat itu. Ini adalah tahun kedua kebersamaan kami. Dinamika kehidupan, naik-turun sedang kami hadapi. Kerikil-kerikil kecil yang kadang mengerikan harus kami lewati. Perlahan tapi pasti.

Aku memanggil. Ditutupnya buku itu. Lalu, ia mendekat. Mataku semakin fokus padanya. Aku kembali meneguk segelas susu yang masih hangat. Ia meneguk matcha latte yang juga masih hangat.

"Dewasa ini banyak orang-orang kosong di dekat kita, Dik. Ada raganya. Ada jiwanya. Tak ada suaranya. Aku melihat orang-orang itu tersenyum. Tapi tidak di dunia ini. Aku melihat orang-orang itu tersenyum dalam dunia lain.

Kamu ingat waktu kita makan bakso tempo hari?

Mula-mula satu orang duduk disamping meja kita. Tidak lama, dua orang datang menghampirinya. Sekarang menjadi tiga orang. Mereka saling sapa, berjabat tangan, dan bertanya kabar. Mereka cipika-cipiki, berswafoto, lalu duduk, dan terdiam. Kepala mereka tertunduk. Menyelami dunia yang maya itu.

Begini, Dik. Kita duduk dalam satu meja. Berhadap-hadapan. Dari awal makan sampai akhir makan, tanpa ada obrolan. Apa itu sebuah kewajaran? Terlebih lagi kita ini pasangan."

Aku terdiam. Dik Mei terdiam. Aku meneguk segelas susu. Dik Mei pun demikian. Meneguk matcha latte-nya.

"Dik, dewasa ini kita juga tidak sadar, telah menjadi bagian dari orang-orang kosong itu. Kita menjadi anomali akibat candu. Candu pada sebuah alat canggih. Mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat. Apakah ini sebuah kewajaran?

Ketika ada satu keluarga kumpul di dalam ruang tengah dengan suasana yang sunyi seperti di tengah-tengah kuburan. Lalu satu per satu anggota keluarga senyum-senyum sendiri sambil tertunduk dan memandang layar kaca alat canggih. Apakah ini wajar?

Aku melihat ada borgol yang mengikat antara alat canggih itu dengan tangan ini. Tanganku, tanganmu, tangan kita, tangan mereka dan tangan-tangan lainnya. Aku ingin lepas dari brogol ini, Dik. Apakah kamu tahu caranya?

Mataku lelah memandang terus. Terus memandang layar kaca. Tanganku lelah, mengegam alat canggih ini. Sementara tanganmu selalu lepas dari genggamanku. Aku tidak nyaman. Aku lebih suka menggenggam tanganmu ketika kita sedang duduk berhadapan seperti ini.

Bisakah mulai esok hari kita melepas alat canggih ini, Dik? Kita pegang kembali jika kita butuh. Aku yakin bisa. Sebab kita hidup di dunia nyata, bukan dunia maya. Apalagi dunia luna."

Segelas susu pun tandas. Juga matcha latte-nya. Sayup-sayup terdengar suara azan.

"Sudah azan, Dik. Mari kita salat."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun