Milly & Mamet (Ini Bukan Cinta dan Rangga), sebetulnya bukanlah film yang saya tunggu-tunggu. Karena saya tidak begitu tertarik dengan spin off AADC 2 ini. Tetapi hari ini, Minggu 30/12/18, saya harus tetap menemani istri untuk menonton. Harus tetap menikmati tayangan yang ada. Paling tidak saya bisa jajan pop corn dan lemon tea.
Ernest Prakasa dan teman-temannya kembali membuat film bertemakan keluarga. Setelah saya terkesan dengan film Cek Toko Sebelah, saya kembali terkesan dengan garapan Ernest yang satu ini: Milly & Mamet.
Ketika banyak film cinta-cintaan yang lain mengisahkan tentang jatuh bangun seseorang mengejar pasangannya, lalu happy ending dengan pacaran atau menikah. Milly & Mamet mencoba keluar dari arus itu. Film ini bercerita tentang masalah-masalah yang terjadi ketika berumah tangga. Konflik batin, hubungan menantu dan mertua, ibu dan anak, suami dan istri. Serta konflik lainnya.
Cerita bagaimana Mamet mendekati Milly, menembak Milly, dan melamar Milly, tidak diceritakan dalam film ini layaknya film-film romansa pada umumnya. Beberapa gambaran berupa foto-foto pernikahan Milly dan Mamet, kehamilan Milly, serta kehadiran Sakti, anak Milly & Mamet, ditayangan sekilas pada awal film. Sampai di sini, sudah paham kan, kalau ini tidak akan mengangkat romansa cinta-cintaan saat pacaran.
Oke. Saya stop sampai di sini. Saya tidak akan menceritakan jalan ceritanya.
Saya terkesan pada satu adegan ketika Milly masih sibuk di pabrik konveksi ayahnya, sementara Sakti, yang diasuh oleh Sari (Arafah Rianti) di rumah, menangis rewel karena tumbuh gigi. Tidak seperti biasanya Mamet pulang lebih dulu daripada Milly. Mamet terkejut dan khawatir melihat Sakti yang urung diam.
Mamet kesal, segera menelpon Milly untuk memintanya cepat pulang. Namun Milly menjawab, "Mungkin setengah jam lagi". Dengan tegas Mamet berkata, "Aku mau kamu pulang sekarang". Milly pun mengaminkannya.
Tidak hanya sampai di situ. Ketegangan masih berlanjut. Kalimat "Kamu kan yang menjaga sakti, yang biasa merawat Sakti. Harusnya kamu yang ada di sini, dong.", keluar dari Mamet yang masih terlihat emosi. Milly tidak diam, ia menjawab, "Aku yang melahirkan Sakti, merawat Sakti setiap hari sampai aku tidak punya kehidupan. Oh, aku yang salah? Ya, aku yang salah."
Saya kembali bercermin. Apakah nanti ketika saya mempunyai anak, saya tidak bisa memegang anak saya? Apakah saya tidak bisa mendiamkan anak saya? Apakah harus, mesti, wajib ibunya yang bisa menimang anak?
Di sini, saya sebagai laki-laki, kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas bahtera ini harus bisa memainkan peran. Sebab kondisi yang digambarkan pada adegan tersebut, biar bagaimanapun Sakti adalah anak Mamet, saya, dan kita (Hah Kita? Iya, kita. Laki-laki yang selalu punya hasrat untuk bikin anak) para ayah. Apa pun yang terjadi harus dengan kesadaran dan open mind untuk memerankan layaknya sang ibu. Bukankah itu anak kita?
Penonton disuguhkan sebuah gambaran nyata yang tidak bisa dilihat di twitter, facebook, terlebih lagi instagram. Tapi kan ini cuma film? Ya, betul, memang ini film. Film yang merefleksikan pada kehidupan nyata.
Kalau orang-orang pikir menikah adalah sebuah kebahagiaan yang hakiki, maka teman-teman perlu berkaca pada film ini. Ketika di media sosial sedang ramai-ramainya gerakan untuk menikah, maka saya akan kembali bercermin. Siapkah kita?
Seperti yang kita ketahui menikah merupakan sebuah langkah utuk membuka lembaran baru. Oke, stop sampai di sini. Tahan dulu, kita jangan jauh-jauh dulu memandang pernikahan. Mendengar kata lembaran baru saja kita pasti sudah tahu dong, ada yang namanya lembaran lama.
Apakah lembaran lama kita itu sudah selesai? Apakah lembaran lama berupa passion, hobby, pencapaian hidup di masa membujang sudah terpenuhi? Jangan sampai lembaran lembaran yang belum terselesaikan itu mengganggu kelangsungan hidup lembaran baru yang pada akhirnya akan berpotensi konflik. Sebab sebelum menikah, kita harus selesai dengan diri kita sendiri.
Mari kita lanjut. Ya, memang. Namanya juga berumah tangga pasti akan ada Konflik. Konflik bisa berawal dari mana saja. Dari tetangga, teman, orang tua/mertua, kolega, dan masih banyak yang lainnya. Siapkah mental kita menghadapi itu semua?
Siapkah kita menjadi seperti Mamet? Menjadi sosok suami yang di satu sisi bertanggung jawab pada Milly dan Sakti kepada mertuanya di atas tanggung jawab sebagai direktur pabrik konveksi. Tapi di sisi lain Mamet merasa tertekan dan tidak happy.
Siapkah kita menjadi seperti Milly? Menjadi sosok ibu yang multi tasking, kaki dan tangan bisa berbeda aktifitas. Siapkah kita menghadapi momen kehilangan kehidupan seperti Milly?
Kita perlu menyiapkan mental yang tahan banting agar kita tetap tegar. Sebab persiapan menikah tidak hanya sebatas persiapan acara resepsi, souvenir, katering, dan tamu undangan saja. Setelah pesta sehari itu, kita akan benar-benar berhadapan langsung dengan kehidupan yang kita jalani.
Yang jelas menikah bukan sebuah penyelesaian dari capek kerja, bosen menjomlo, tidak punya uang. Seperti meme-meme yang beredar: "Haus? Minum!, Lapar? Makan!, Capek? Menikah!". Sebab dengan menikah kita tidak auto bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H