Halo, Mailope... Udah ngopi?
"Buku di tangan kiri, kopi di tangan kanan, jodoh di tangan Tuhan". -Buku Mojok-
Halaah, Ini kan bukan Buku Mojok. Kok ya kutipannya pakai Buku Mojok.
Agak aneh rasanya ketika aku membaca buku ini di dalam KRL, di dalam Busway, dan tempat umum lainnya. Seorang laki-laki membaca buku berwarna merah muda dengan sampul bergambar orang yang wajahnya penuh ceria. Bayangkan!
Alhasil yang aku dapati sorotan mata orang-orang yang memandang ke arahku dengan penuh selidik. Buku macam apa itu?
Jadi begini, Mailope. Untuk menghindari asumsi yang kejamnya melebihi fitnah. Padahal fitnah aja udah lebih kejam dari pembunuhan. Aku ingin memberi tahu bahwa sosok yang ada di sampul itu adalah Agus Mulyadi, seorang Bloger yang ndilalah bisa menerbitkan tulisan-tulisanya berupa buku berwarna merah muda yang sungguh feminim itu. Begitulah stereotip dari sebuah warna.
Terlepas dari warna feminim, buku yang berjudul: Bergumul Dengan Gus Mul terbitan Mediakita ini adalah sebuah maha karya yang sungguh mampu mengocok isi perutku. Buku ini ber-genrepersonal literatur. Berisi kumpulan cerita yang menceritakan kejadian menarik yang dialami oleh Agus dari lingkungan sekitarnya.
Secara keseluruhan cerita yang diangkat adalah cerita kejadian sehari-hari yang setiap orang bisa mengalaminya. Namun dengan teknik penulisan yang kreatif dan sentuhan humor ,cerita-cerita tersebut menjadi sangat menghibur dan menggelitik.
Menurutku Agus Mulyadi menarasikannya dengan sangat baik. Kalimatnya yang sederhana dan mudah dicerna bagaikan polesan pernis pada cat mobil yang halus dan rapih. Unsur komedi ia selalu sisipkan dalam dialog pada tiap judul tulisan. Penggunaan bahasa Jawa mendapatkan porsi yang cukup besar pada bagian dialognya. Ya, meskipun aku bukan orang jawa dan aku tidak bisa berbahasa jawa tapi aku tetap bisa menikmatinya.
Buku ini adalah buku pertama yang aku baca. Membaca 38 cerita dalam 208 halaman pada buku ini kok ya, rasanya menjadi hiburan tersendiri di kala hati terasa gundah gulana karena kehidupan di pinggiran ibu Kota yang semraut ini. Ibarat pandangan pertama, aku langsung jatuh hati lalu meberanikan diri untuk berkata:Â "Gue ngefans sama Agus Mulyadi". Tapi nggak pake teriak-teriak. Hehehee
Ada satu bagian yang membuat aku tak mampu berkata apa-apa. Aku tertegun saat membaca bagian prolog buku ini. Rasanya ada kekuatan magis yang membuat tubuhku merinding ketika membaca kisah perjalanan hidup dari Agus Mulyadi. Baginya hidup seperti jungkat-jungkit. Kadang di atas, kadang di bawah. Tahun 2009, selespas Agus lulus SMA, Agus merantau ke Jogja. Kota yang tak terlalu jauh dari kampung halamanya, Magelang.