Mohon tunggu...
Alko Komari
Alko Komari Mohon Tunggu... Swasta -

Selanjutnya

Tutup

Money

Pertalite Mana Suaramu

29 Januari 2018   21:43 Diperbarui: 29 Januari 2018   21:47 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PERTALITE perlahan tapi pasti harus diakui telah menggusur posisi Premium yang pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati Soekarnoputri menjadi idola masyarakat. Seperti diganti dengan cara halus, era Presiden Joko Widodo (JOkowi) telah menjadikan Pertalite sebagai BBM yang paling banyak diburu masyarakat. Maklum sejak Pertalite muncul, secara bertahap Premium semakin langka dan bahkan sudah susah tidak dijumpai di SPBU.

Kesuksesan Pertalite adalah ketika munculnya saat masyarakat merasakan begitu besar selisih harga antara Premium dengan Pertamax. Harga yang berada di tengah -- tengah diantara Pertamax dan Premium, dan kadar oktan yang lebih baik dibandingkan Premium menjadi data tarik bagi masyarakat untuk kemudian memilih Pertalite untuk mendukung kebutuhan alat transportasinya.

Dan belakangan ini mungkin banyak sering mengalami hal yang sama seperti yang saya alami. Ketika datang ke SPBU untuk mengisi BBM menjumpai tulisan kertas yang ditempel yang berbunyi "Pertalite dalam proses pengiriman", ada juga tulisan kolom tulisan Pertalite di SPBU dikasih tanda silang yang menunjukkan tanda bahwa Pertalite dalam kondisi kosong alias habis.

Petugas SPBU pun memberikan pelayanan yang baik, namun sebenarnya memaksa untuk membeli BBM yang ada, yakni Pertamax. "Maaf yang ada tingal Pertamax, Pertalite kosong". Begitu petugas SPBU menyapa yang bernada mengarahkan pembeli untuk membeli Pertamax.  

Awalnya saya tidak begitu menghiraukan hal tersebut, saya anggap itu merupakan hal yang biasa bahwa Pertalite memang sedang dalam pengiriman dan belum sampai ke SPBU. Tidak ada nada kesal atau protes sedikitpun meski terkesan dipaksa membeli Pertamax. Menerima apa adanya saja, yang ada Pertamax, ya belinya Pertamax.

Saya juga dalam pekan -- pekan ini mendengar, melihat, dan membaca berita sekilas di media sosial yang intinya Presiden Jokowi menaikkan harga Pertalite. Sekali lagi saya tidak menggubris kabar tersebut, saya tidak mempedulikan kebijakan pemerintah menaikkan harga Pertalite itu.

Karena mungkin sudah sering mengalami hal yang sama ketika datang ke SPBU, saya pun mulai heran kenapa kok hampir setiap hari Pertalite habis. Saya pun berinisiatif memotret tulisan kertas yang tertempel di SPBU yang menandakan Pertalite masih dalam pengiriman.

Dalam hati, saya mulai jengkel dengan keberadaan barang yang namanya Pertalite ini. Hingga kemudian saya pun semakin merasa ada yang aneh, kenapa ini tidak menjadi isu utama yang diangkat media. Kenapa media seperti tidak peka terhadap isu kenaikan dan kelangkaan Pertalite ini. Padahal dulu kenaikan BBM yang dikonsumsi masyarakat kelas menengah kebawah selalu menjadi isu menarik  yang bisa menjadi bola panas untuk menyerang pemerintah.

Dulu saat era SBY maupun Megawati, apapun kabar tentang BBM selalu menjadi isu liar dan membuat telinga presiden panas. Jangankan harga naik, kelangkaan BBM saja menjadi berita yang menguasai headline media dan menjadi topik bahasan utama masyarakat.

Masih ingat kan, saat pemerintah telah mengumumkan pemberlakukan kenaikan BBM mulai pukul 00.00, beberapa jam menjelang kenaikan harga itu dimana-mana SPBU macet antrian masyarakat membeli BBM. Kemudian marak demo baik oleh mahasiswa maupun organisasi masyarakat yang menyuarakan penolakan kebijakan pemerintah soal BBM.

Apa yang terjadi saat SBY dan Megawati memimpin itu kini hampir hilang saat Presiden Jokowi bertahta. Media seperti dininabobokan dengan isu-isu politik seperti Pilkada yang dianggap mengundang perasaan dan emosi masyarakat. Media juga telah puas dengan isu-isu penegakan hukum dengan maraknya OTT kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Padahal jika melihat situasi saat ini yang sudah masuk tahun politik, isu BBM sebenarnya juga bisa diangkat untuk menyerang Presiden Jokowi. Pilpres memang masih tahun depan 2019, namun tahun ini tetap menjadi momentum yang bagus bagi oposisi untuk menggiring masyarakat agar ketertarikan masyarakat terhadap Jokowi menurun.

Media semestinya juga jangan hanya terkesima dengan isu politik dan hukum saja,  isu ekonomi dan daya beli masyarakat seperti kenaikan harga BBM Pertalite tetap juga harus diprioritaskan. Terlebih BBM termasuk komoditas yang menjadi kebutuhan utama masyarakat dalam menunjang aktivitas setiap harinya.

Bukankah isu publik seperti kenaikan harga BBM lebih penting dibandingkan isu politik hukum yang seringkali hanya demi kepentingan kelompok atau golongan tertentu saja. Media mesti berkaca bahwa keberadaannya pada dasarnya untuk menyuarakan dan semata-mata demi kepentingan publik.

Padahal jelas- jelas bahwa realitasnya, secara resmi Pertamina sudah mengumumkan ke publik tentang kebijakan kenaikan harga BBM tertanggal mulai 5 Januari kemarin, seperti misalnya harga Pertalite di DKI dan Jawa Bali menjadi Rp 7.350 per liter dari sebelumnya Rp 7.050 per liter. Begitu juga Pertamax yang ditetapkan sebesar Rp 8.050 per liter dari semula Rp 7.750 per liter.

Fakta di lapangan juga sudah sangat jelas bahwa banyak dijumpai SPBU yang kehabisan Pertalite dengan berbagai dalih seperti masih dalam proses pengiriman atau menunggu pengiriman.

Melihat semua ini, lantas apakah sekarang media cenderung hanya menyuarakan kepentingan kelompok atau golongan tertentu saja demi mengejar keuntungan atau pendapatan semata.  Dan media telah membutakan dirinya akan isu -- isu sosial ekonomi yang nyata -- nyata berkaitan erat dengan kepentingan publik, kepeningan masyarakat luas.

Kalau memang itu yang terjadi, maka media benar-benar sudah tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai watchdog, sebagai mata dan telinga yang beroperasi demi kepentingan publik.  Kasihan publik yang sekarang selalu dicuekin media.  

Kasihan juga Presiden Jokowi yang tidak mendapat kontrol yang baik dari media. Padahal saya percaya, sosok seperti bapak Presiden Jokowi merupakan tipikal orang yang tidak alergi kritik, terbuka akan masukan -- masukan yang baik untuk masyarakat. Semoga tulisan ini dapat mengingatkan media, sekaligus mengingatkan Presiden Jokowi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun