Iklim politik yang terlalu subyektif dan bergantung pada identitas ketokohan tertentu ini menyebabkan munculnya solipsisme massal di masing-masing kubu. Paham 'Right or Wrong is My Countries' bergeser menjadi 'Right or Wrong is My Leader'. Sifat para pendukung seperti inilah yang pada akhirnya akan menghancurkan kepemimpinan seseorang.
Hilangnya Peran MediaÂ
Ketika Substansi peristiwa elektoral hanya dijadikan ajang perebutan kekuasaan dan bagi-bagi kue kekuasaan, pembeda antara penguasa dan oposisi hanya ada pada jumlah kursi di parlemen dan kabinet. Imbasnya, masyarakat yang tidak beririsan kepentingannya dengan keuntungaan atau agenda kelas politik tertentu kerap diabaikan hak-hak dan aspirasinya.
Identitas seseorang berperan besar dalam mengkonstruksikan posisinya dalam masyarakat. Stigma dan framing tidak pernah lepas dari peran identitas subyek politik itu sendiri. Misal, dalam kasus sengketa tanah antara penduduk lokal vis-a-vis investor selalu tercipta dalam lingkup pembahasan oposisi biner; bahwa penduduk lokal salah karena dianggap menghambat kemajuan dan ketinggalan jaman sedangkan Investor yang seringkali didukung pemerintah daerah dianggap akan membawa perubahan dan kemajuan yang sudah dinanti bersama.
Terkait pembentukan common sense dan opini publik, media berperan besar dalam meggiring keberpihakan publik terhadap suatu perkara. (Lagi-lagi) sayangnya, media massa mainstream di Indonesia sudah mempunyai 'blok-blok' tertentu dan parahnya, cenderung partisan. Media massa seringkali mengesampingkan fakta demi narasi dan wacana yang hendak dibangun.
Fenomena ini bukan serta merta menunjukkan kurangnya wartawan berkualitas. hal ini disebabkan para pemodak dan pemilik media memiliki kepentingan dan ambisi politik yang hendak mereka sampaikan ke ruang publik dalam citra yang (kalau bisa) sempurna. Oleh karena itulah para penguasan dan pemodal ini berlomba-lomba merebut pengaruh di Meda-media raksasa; entah lewat uang atau politik transaksional.
Hilangnya peran oposisi dan media massa yang cover both sides menjadi dua faktor utama terabaikannya hak-hak dan aspirasi lapisan terkecil dan terbawah masyarakat. Kondisi ini menunjukkan kondisi politik Indonesia yang masih jauh dari kata adil dan bermartabat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI