Mohon tunggu...
Syahrir Alkindi
Syahrir Alkindi Mohon Tunggu... Konsultan - Mencari

Penulis dan konsultan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Oposisi dan Media, Antara Ada dan Tiada

9 Mei 2018   21:28 Diperbarui: 9 Mei 2018   21:35 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hakikat oposisi pada dasarnya bukan hanya sebagai pihak kontra-opini terhadap kebijakan pemerintah. Oposisi lebih jauh harus bisa menanggapi isu ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penguasa. Kontestasi dan diskursus yang diperjuangkan tidak harus melulu isu golongan, sektarian atau elektoral semata. Oposisi harus bisa menyentuh grass-root society dimana underprivileged people mengalami opresi dan represi.

Opresi dan represi bisa termanifestasi dalam banyak bentuk, salah satunya privatisasi lahan milik publik demi akumulasi kapital. Lahan milik publik adalah akses aktualisasi dan pengejewantahan fungsi kerja bagi orang-orang yang terlibat dan melakukan produksi di lahan tersebut.

Privatisasi dan pencaplokan lahan kerap terjadi dan mengakibatkan kesengsaraan bahkan kematian bagi masyarakat sekitar yang menggantungkan hidup dari lahan tersebut. Contohnya, Salim Kancil dari Lumajang yang tewas akibat tindak kekerasan yang dilakukan sekelompok OTK (Orang Tidak diKenal) dan sejumlah terduga oknum aparat. Salim Kancil dan kawan-kawan memperjuangkan lahan milik mereka yang sedang terancam ekspansi perusahaan tambang Pasir Besi.

Investasi dan akumulasi kapital selalu menjadi alasan utama terjadinya penggusuran dan pencaplokan lahan milik publik. Peran korporasi dan fungsi pemerintahan yang tidak berjalan dengan baik juga melapangkan jalan opresi dan represi itu sendiri. Korporasi demi akumulasi kapital selalu melakukan tiap-tiap posibilitas yang ada. Kontrak politik dengan penguasa setempat dan suap-menyuap dalam penerbitan surat ijin pengolahan lahan sudah lumrah terjadi.

Kasus pembunuhan Salim Kancil menunjukkan absennya negara dalam melindungi hak-hak dasar warganya. Pusaran konflik berlanjut mulai dari persoalan ekonomi hingga Hak Asasi Manusia. Isu inilah yang seharusnya di kapitalisasi oleh pihak oposisi dalam melancarkan kritiknya terhadap pemerintah.

Kebanyakan yang terjadi oposisi hanya mendompleng isu-isu tersebut demi alasan elektoral semata. Penderitaan ekonomi dan ketidakadilan Hak Asasi Manusia hanya menjadi faktor legitimasi pihak oposisi untuk menyerang penguasa tanpa pernah benar-benar memperhatikan isu-isu tersebut dengan mendalam. Oposisi selalu disibukkan dengan persoalan elektoral dan tidak pernah keluar dari kehendak untuk sekedar mengganti penguasa, bukan mengganti cara berkuasa itu sendiri

Praktik Kekuasaan yang Monoton

Perilaku kelas penguasa di Indonesia selalu memiliki kecenderungan yang sama; represif dan sensitif terhadap pandangan politik yang berseberangan. Politik identitas dan isu sektarian masih menjadi barang dagangan yang laku keras dalam perpolitikan Indonesia. mayoritas masyarakat masih memandang faktor emosional dan ketokohan menjadi faktor utama (kadang satu-satunya) memilih calon pemimpin.

Selepas kasus pelecehan agama yang menimpa Basuki Tjahja Purnama alias Ahok di Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 lalu, isu sektarian dan politik identitas meruak dengan liar di ruang publik. Imbasnya, masyarakat semakin ter-polarisasi dan disparitas dalam masyarakat terbagi dalam dua kubu saja, pro (sosok) pemerintah dan pro (sosok) oposisi.

Pemujaan berlebihan terhadap subyek, bukan ide atau gagasan menjadi trend terkini dalam sistem politik Indonesia. polarisasi antara pendukung pemerintahan (Baca: Cebong) dan pendukung Oposisi (Baca: Kecoak) semakin kentara. Terakhir, kasus bentrok kedua kubu pada hari Minggu kemarin menuai pemberitaan dan sorotan media yang masif.

Perdebatan kedua kubu ini berkutat pada perkara layak atau tidaknya presiden diganti di Pilpres 2019 mendatang. Kedua kubu yang bersitegang ini sama fanatik dan keras kepala terhadap kecenderungan pilihan politik mereka. Sikap mereka sudah final dan tidak bisa menerima jika 'junjungannya' menerima kritikan atau serangan, apalagi jika kritikan dilayangkan oleh 'kubu sebelah'.

Iklim politik yang terlalu subyektif dan bergantung pada identitas ketokohan tertentu ini menyebabkan munculnya solipsisme massal di masing-masing kubu. Paham 'Right or Wrong is My Countries' bergeser menjadi 'Right or Wrong is My Leader'. Sifat para pendukung seperti inilah yang pada akhirnya akan menghancurkan kepemimpinan seseorang.

Hilangnya Peran Media 

Ketika Substansi peristiwa elektoral hanya dijadikan ajang perebutan kekuasaan dan bagi-bagi kue kekuasaan, pembeda antara penguasa dan oposisi hanya ada pada jumlah kursi di parlemen dan kabinet. Imbasnya, masyarakat yang tidak beririsan kepentingannya dengan keuntungaan atau agenda kelas politik tertentu kerap diabaikan hak-hak dan aspirasinya.

Identitas seseorang berperan besar dalam mengkonstruksikan posisinya dalam masyarakat. Stigma dan framing tidak pernah lepas dari peran identitas subyek politik itu sendiri. Misal, dalam kasus sengketa tanah antara penduduk lokal vis-a-vis investor selalu tercipta dalam lingkup pembahasan oposisi biner; bahwa penduduk lokal salah karena dianggap menghambat kemajuan dan ketinggalan jaman sedangkan Investor yang seringkali didukung pemerintah daerah dianggap akan membawa perubahan dan kemajuan yang sudah dinanti bersama.

Terkait pembentukan common sense dan opini publik, media berperan besar dalam meggiring keberpihakan publik terhadap suatu perkara. (Lagi-lagi) sayangnya, media massa mainstream di Indonesia sudah mempunyai 'blok-blok' tertentu dan parahnya, cenderung partisan. Media massa seringkali mengesampingkan fakta demi narasi dan wacana yang hendak dibangun.

Fenomena ini bukan serta merta menunjukkan kurangnya wartawan berkualitas. hal ini disebabkan para pemodak dan pemilik media memiliki kepentingan dan ambisi politik yang hendak mereka sampaikan ke ruang publik dalam citra yang (kalau bisa) sempurna. Oleh karena itulah para penguasan dan pemodal ini berlomba-lomba merebut pengaruh di Meda-media raksasa; entah lewat uang atau politik transaksional.

Hilangnya peran oposisi dan media massa yang cover both sides menjadi dua faktor utama terabaikannya hak-hak dan aspirasi lapisan terkecil dan terbawah masyarakat. Kondisi ini menunjukkan kondisi politik Indonesia yang masih jauh dari kata adil dan bermartabat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun