Mohon tunggu...
Syahrir Alkindi
Syahrir Alkindi Mohon Tunggu... Konsultan - Mencari

Penulis dan konsultan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kurasi Kuasa melalui Bahasa

19 Februari 2018   21:09 Diperbarui: 20 Februari 2018   18:10 948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: orenarchitects.com

Berawal dari kata, sebuah pergerakan akan menemui makna. Bahasa mutlak penggunaannya sebagai alat propaganda kekuasaan paling dasar dan mutakhir. Ideologi, baik produksi, reproduksi dan distribusinya bergantung pada penggunaan bahasa sebagai metode propaganda. Bahasa yang hadir akan dilanjutkan ke proses analisa dan dialektika oleh subyek politik.

Perjuangan awalnya ada pada pemaknaan sebuah gerakan atau identitas dalam lingkup nilai tertentu. 'Penyematan' identitas oleh kelompok tertentu terhadap suatu kelompok yang hendak disubordinasikan akan sangat efektif untuk membangun stigma atau persepsi tertentu, tujuannya satu; untuk melanggengkan hegemoni.

"Kelompok" di sini adalah kelas penguasa, yang memiliki akses untuk menentukan wacana dominan baik di arus atas ataupun bawah. Kelompok penguasa ini akan 'menginstitusikan' bahasa sehingga subyek-subyek politik "terinterpelasikan" dalam kelompok-kelompok tertentu. Interpelasi akan mengkonstruksikan subyek ke dalam situasi tertentu agar lebih mudah diidentifikasi dan dipolitisasi. Bahasa yang digunakan dalam lingkup kekuasaan tertentu disebut sebagai wacana.

Wacana selalu terdiri dari konteks dan teks, Sifat-sifat teks antara lain; (1) terdiri atas makna-makna yang membentuk kesatuan makna, walaupun yang dituliskan dalam teks itu adalah deretan kata dan kalimat. 

Makna teks dikodekan dalam bentuk kata dan struktur. (2) Merupakan suatu bentuk pertukaran makna yang bersifat sosial. Setiap teks dalam suatu bahasa memiliki makna karena dihubungkan dengan interaksi antarpembaca. (3) Memiliki hubungan yang dekat dengan konteks. Orang tidak sanggup mengungkapkan salah satu konsep tanpa mengungkapkan yang lain. Teks yang menyertai teks itu disebut konteks. Konteks yang dimaksud tidak hanya dilisankan tetapi juga keseluruhan teks.

Konteks merupakan jembatan antara teks dan situasi teks. Teks menemukan eksistensinya ketika bersinggungan dengan konteks. Konteks adalah konstruksi psikologis dalam tatanan masyarakat tertentu atau Common Sense. Wacana akan bermakna jika sesuai dengan konteks yang dapat diterima oleh suatu tatanan. Perjuangan sebuah wacana diawali dengan penguasaan dan penyusupan makna tertentu menjadi sebuah konteks yang dapat dipahami bersama.

Demi tujuan-tujuan tersebut, bahasa tidak lagi menjadi sekedar alat komunikasi, namun alat transaksi kekuasaan. Bahasa secara simbolik selalu melanggengkan dominasi, melalui eufemisme, Ameliorasi dan penghalusan konsep lainnya makna kekuasaan diakomodir oleh bahasa. Contoh nyata legitimasi kekuasaan melalui bahasa dapat dilihat dalam berbagai Undang-Undang dan peraturan tertulis lainnya.

Baru-baru ini kita dihebohkan oleh RKUHP soal perluasan makna Zina dan pasal penghinaan presiden. Pasal karet ini sangat berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan kekuasaan. Kita ambil pasal penghinaan presiden, tidak ada batasan yang jelas apa itu "menghina" dan bisa saja seseorang diperkarakan tanpa secara jelas diketahui duduk perkaranya. Jika definisi hanya ada melalui kacamata penguasa, labelling terhadap kelompok tertentu yang dianggap mengancam kekuasaan sangat mudah dilakukan.

Pasal Zinah pun sangat bermasalah pendefinisiannya, hubungan seks diluar nikah, termasuk pemerkosaan bisa dikategorikan zina. Sungguh kelewatan jika pasal ini lolos, korban pemerkosaan bisa dijerat pasal perzinahan pada saat yang bersamaan, miris. Eufemisme pun kembali digulirkan agar makna-makna kekuasaan dapat diterima secara sosial.

Label-label Subversif, separatis, sinis, nyinyir, radikal dan lain-lain disematkan kepada orang-orang yang menentang pasa penghinaan terhadap presiden dan kepala negara.  Label-label Liberal, ateis, komunis, LGBT dan lain-lain disematkan kepada orang-orang yang menentang pasal perluasan makna perzinahan.

Stigmatisasi diperlukan untuk menciptakan relasi kuasa yang dominan. Subordinasi dan stigmatisasi terhadap kelompok tertentu akan mengerdilkan substansi sebuah perjuangan, terlepas dari afiliasi apa yang sedang diusung. 

Kondisi seperti ini akan menimbulkan polarisasi -- hal ini yang sedang kita rasakan sekarang, fanatisme dan pemujaan berlebihan terhadap sosok representatif -- ini pun sedang terjadi, kritik dan pujian dilayangkan melulu pada sosok bukan gagasan, dan kebijakan kontroversial banyak dilayangkan dalam ruang publik.

Analisis terhadap wacana harus dibarengi dengan kompetensi dan keberpihakan yang jelas. Tidak ideal jika kita selalu megandaikan yang baik-jahat, pemerintah-oposisi, kiri-kanan dan hal-hal oposisi biner lainnya dalam menilai sebuah wacana. 

Pengkajian sebuah kebijakan sebaiknya dilandasi kepedulian terhadap underprivileged society dan pemilahan terhadap yang publik dan privat. Jika sudah mencapai tahap ini, konflik dalam lingkup masyarakat akan jauh dari tindakan persekusi dan diskriminasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun