Saya sendiri berada di domain DPW. Ketua dan pengurus DPW akan menginstruksikan para anggotanya berdasarkan GBHO dan GBHK yang berlaku. Anggota partai sendiri bebas berdiskusi dengan para pengurus dan menerima edukasi politik administratif ataupun teoritis.
Anggota partai di PRM harus melalui jenjang tertentu dan wajib mengikuti pelatihan akademik di PMII. Semua anggota partai adalah mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan PMII. Anggota akan mendapatkan edukasi politik dalam lima pertemuan wajib, yakni; Pendidikan dasar politik, Antropologi mahasiswa, Hukum dan Legislasi, Administrasi kampus, dan Agitasi/Propaganda. Semuanya adalah materi wajib yang harus dipahami oleh anggota di tingkat DPW.
Pemutusan peraturan terkait GBHO/GBHK dalam UUD PRM dapat berubah setiap tahunnya. Anggota sebagai Agen dan Peraturan sebagai Sistem, terintregasi dalam forum Musyawaroh Wilayah (Musywil). Sistem bisa saja berubah apabila anggota menginginkan peraturan yang berbeda dari tahun sebelumnya. Dalam musywil, seluruh anggota berhak bersuara dan menyampaikan pendapat untuk merubah UUD yang ada. Interaksi antara anggota dan struktur biasa terjadi di forum ini.
Secara kultural, anggota PRM memiliki slogan "BERSATU MEMBANGUN DEMOKRASI". Hal ini lah yang biasanya digaungkan oleh anggota-anggotanya. Militansi anggota, dalam pengamatan saya, itu disebabkan oleh basis kekeluargaan. Secara fenomenologis, militansi antar anggota biasanya terbentuk oleh pengalaman mereka selama berada di PMII. Persaudaraan anggota terlahir karena mereka pernah menghadapi susah/senang bersama dalam berbagai hal.
Selain itu, kedekatan emosional juga terbentuk karena intensitas komunikasi sehari-hari. Anggota tidak berkumpul jika ada proyek saja, mereka terbiasa berinteraksi walau tidak ada instruksi dari atas. Oleh karena itu, mahasiswa "ambis" yang sedari awal bergabung ke PMII hanya ingin mendapatkan jabatan kampus biasanya langsung tersingkirkan dan tidak akan mendapatkan pengakuan kultural (Modal Sosial).
Keputusan saya dan beberapa teman yang awalnya memegang prinsip Golput perlahan mulai pudar di tataran kampus. Perlahan kesadaran akan kebutuhan untuk aktif di politik kampus mulai berbenah melalui pendidikan politik dalam lima pertemuan wajib dan interaksi kultural. Awalnya, Slogan "Bersatu Membangun Demokrasi' terpikir sebagai slogan sampah. Pada akhirnya kami terbawa juga oleh uforianya.
Pola kultural partai juga sangat dipengaruhi oleh kesadaran kolektif mahasiswa itu sendiri. Apatisme politik tentunya merubah pola kultural PRM. Jika pola terdahulu menekankan kedisiplinan dan militansi penuh, hal itu sangat tidak disukai oleh generasi Z. Ketika anggota partai saat ini kebanyakan merupakan Gen Z, partai lambat laun merubah pola kulturalnya. Sistem edukasi saat ini lebih persuasif dan pengurus DPW lebih menekankan tawaran Utilitas untuk para mahasiswa. Ideologi partai tidak lagi penting, dan digantikan oleh tawaran rasional serta pendekatan persuasif.
Kesadaran anggota partai akan terbangun secara perlahan. Pada tataran kesadaran praktis, anggota biasanya hanya mengikuti instruksi senior atau terbawa uforia teman-temannya. Mereka tidak mampu merasionalisasikan kenapa mereka mendukung atau mengikuti pola tindakan kelompoknya.
Di sisi lain, beberapa memiliki pemahaman teoritis dan lapangan yang cukup mumpuni. Tidak sedikit orang-orang yang memiliki kesadaran diskursif dan mampu mengkritisi AD/ART dan GBHO partai. Saya sendiri sering berdebat dengan senior dari 5 angkatan yang lebih tua. Pada dasarnya, tidak semua anggota menerima instruksi atau bertindak secara sukarela.