Mohon tunggu...
Alkaf Prayoga
Alkaf Prayoga Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Jurusan Komunikasi & Penyiaran Islam

Ghost Writer

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Indonesia yang Tergadai

4 Agustus 2024   14:15 Diperbarui: 4 Agustus 2024   14:17 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tengah malam itu, di sudut kota Gorontalo, udara sangat dingin dan sunyi. Suara gerimis mengiringi sepi malam, menambah dinginnya suasana. Sebenarnya aku butuh sandaran malam ini, ya sandaran untuk menahan rasa ngantuk. Tapi Ega, penjaga warung kopi di Jalan Pandjaitan, dengan santai mengatakan, "Udah close order, Bro." Dengan berat hati, aku beranjak dari kursiku,sambil  memikirkan satu hal yang urgent dan tak kunjung selesai, apa itu ?? : nasib pendidikan anak bangsa. gue mau dikit nulis di bawah perihal apa yang melayang-layang di otak gue yaa. tanpa berlama lama lagi posisikan duduk kalian simetris,jangan membaca sambil guling nanti mata klen jadi rabun woyy....

Okee lek,mari torang mulai dari ketimpangannya dulu!

Ketimpangan dalam sistem pendidikan kita jelas terlihat. Dari fasilitas sekolah yang berbeda jauh antara daerah perkotaan dan pedesaan hingga kualitas guru yang sangat bervariasi. Bayangkan saja, di Jakarta anak-anak belajar menggunakan komputer canggih, sementara di pelosok Gorontalo masih banyak yang belajar dengan papan tulis yang sudah butut. Sialnya, kondisi ini bukan cuma soal teknologi, tapi juga soal kesempatan yang tidak merata. makannya kalau kalian punya temen kerabat yang kerja bareng Pak Nadiem, tolong kasih baca tulisan ini yaa !!

Di Finlandia, anak-anak diberi fasilitas terbaik dan guru-guru mereka mendapatkan pelatihan yang sangat memadai. Mereka belajar dalam lingkungan yang mendukung dengan kurikulum yang terus diperbarui. Sementara di sini? Anak-anak di pedesaan bahkan mungkin tidak tahu apa itu internet. Gimana bisa bersaing di era global kalau sejak awal sudah ditinggalkan?

Tokoh-tokoh pendidikan di Indonesia seperti Ki Hajar Dewantara telah berjuang keras agar setiap anak bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Pada tahun 1922, beliau mendirikan Taman Siswa yang bertujuan untuk memberikan pendidikan yang merdeka dan tidak didikte oleh penjajah. Semangat juangnya patut kita teladani, tapi ironisnya, perjuangannya terasa masih belum usai.

Kita pindah di Kurikulum yang Tidak Relevan

Kurikulum kita? Ah, jangan ditanya. Masih banyak materi yang diajarkan yang sudah ketinggalan zaman. Anak-anak kita masih disuruh menghafal pelajaran yang nggak relevan dengan kebutuhan zaman sekarang. Sementara di negara-negara maju, kurikulum mereka selalu diperbarui agar sesuai dengan perkembangan teknologi dan industri.

Di Singapura, misalnya, kurikulum mereka sudah mengintegrasikan coding dan teknologi sejak dini. Anak-anak diajarkan untuk berpikir kritis dan inovatif. Tapi di sini? Anak-anak masih disuruh menghafal rumus yang bahkan mungkin gurunya pun lupa fungsinya. Ini seperti belajar memperbaiki pager di era smartphone. Useless!

John Dewey, seorang filsuf pendidikan Amerika Serikat pada awal abad ke-20, mengemukakan bahwa pendidikan harus bersifat progresif, artinya pendidikan harus menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat. Bayangkan Dewey datang ke Indonesia sekarang dan melihat anak-anak masih belajar hal yang sama seperti 30 tahun lalu. Mungkin dia akan bilang, "Serius, ini abad ke berapa?"

Minimnya Pendidikan Karakter Kita

Pendidikan karakter? Nihil. Sistem kita lebih fokus pada hasil ujian daripada pembentukan karakter. Anak-anak dipaksa untuk menghafal ketimbang belajar berpikir kritis dan beretika. Padahal, di Jepang, pendidikan karakter sangat diutamakan. Anak-anak diajarkan nilai-nilai seperti kerja keras, disiplin, dan rasa hormat sejak dini.

Coba bayangkan anak-anak kita cuma pintar akademis tapi nggak punya sopan santun. Ketemu guru di jalan, malah nanya, "Guru, lo apa kabar?" Alamak, bisa rusak tatanan sosial! Di Jepang, anak-anak bahkan membersihkan kelas mereka sendiri, mengajarkan mereka tanggung jawab dan rasa memiliki.

Tokoh pendidikan dunia seperti Maria Montessori juga telah menunjukkan betapa pentingnya pendidikan karakter. Pada awal abad ke-20, Montessori mengembangkan metode pendidikan yang menekankan kemandirian, kebebasan dalam batasan, dan rasa hormat terhadap perkembangan alami anak-anak. Jika Montessori melihat sistem kita yang serba terstruktur dan kaku, mungkin dia akan berkata, "Kok bisa ya anak-anak nggak punya waktu buat jadi diri mereka sendiri?"

Beban Belajar yang Terlalu Berat

Beban belajar anak-anak kita juga tidak manusiawi. Mereka dipaksa belajar dari pagi sampai sore, ditambah lagi les privat di malam hari. Hasilnya? Mereka tidak punya waktu untuk bermain atau mengembangkan minat dan bakat lainnya. Padahal, di Finlandia, mereka percaya bahwa anak-anak perlu waktu bermain yang cukup untuk mendukung perkembangan psikologis mereka.

Bayangkan anak SD di Indonesia pulang sekolah, bukannya main layangan malah pusing ngafalin rumus matematika. Bisa-bisa mereka lebih tahu rumus aljabar daripada cara main petak umpet. Ini kan kasihan banget!

Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang terkenal dengan teori perkembangan kognitifnya, pada tahun 1936 menyatakan bahwa anak-anak belajar paling baik melalui bermain dan eksplorasi aktif. Kalau Piaget lihat jadwal anak-anak kita yang super padat, mungkin dia akan geleng-geleng kepala sambil bilang, "Lha, kapan anak-anak ini bisa jadi anak-anak?"

Solusi dar Guee

Untuk mengatasi masalah-masalah ini, kita butuh solusi yang komprehensif dan berani men. Pertama nih, pemerataan fasilitas pendidikan harus menjadi prioritas. Pemerintah harus memastikan bahwa semua anak, baik di kota maupun di desa, memiliki akses ke fasilitas pendidikan yang memadai. Kedua, kurikulum harus direvisi agar lebih relevan dengan perkembangan zaman. Anak-anak harus diajarkan keterampilan yang dibutuhkan untuk menghadapi masa depan.

Selain itu, pendidikan karakter harus lebih diperhatikan. Sekolah harus menjadi tempat di mana anak-anak tidak hanya belajar pengetahuan, tapi juga nilai-nilai kehidupan. Terakhir, beban belajar harus dikurangi. Anak-anak perlu waktu untuk bermain dan mengeksplorasi minat dan bakat mereka.

Sistem pendidikan kita saat ini jelas masih banyak kekurangannya men. Ketimpangan fasilitas, kurikulum yang tidak relevan, kurangnya pendidikan karakter, dan beban belajar yang terlalu berat adalah masalah-masalah yang harus segera diatasi. Pendidikan bukan sekedar soal angka dan nilai, tapi juga tentang membentuk karakter dan mempersiapkan anak-anak untuk masa depan.

Kalau sistem pendidikan kita terus seperti ini, masa depan anak bangsa bisa tergadai. Bayangin cok, generasi masa depan kita cuma tahu teori tapi nggak punya keterampilan praktis dan karakter yang kuat. Bisa-bisa masa depan bangsa kita cuma diisi sama orang-orang yang pinter ngomong tapi nggak paham apa-apa.

Jadi, yuk kita dukung perbaikan sistem pendidikan demi masa depan anak-anak kita. Karena pendidikan yang baik adalah investasi terbesar kita untuk masa depan yang lebih cerah. Jangan sampai, pendidikan anak-anak kita hanya jadi bahan candaan semata. "Eh, lo tahu nggak? Anak gue dapat nilai 100 di ujian mengetik pakai mesin tik!" Padahal dunia udah pake tablet semua. Hahaha, Jancuk.!

Sampai kapan kita mau terus begini? Saatnya kita bangun dan berbuat sesuatu untuk masa depan anak-anak kita. Masa depan mereka ada di tangan kita. Jangan sampai kita jadi generasi yang dicatat dalam sejarah sebagai generasi yang menggadaikan masa depan anak bangsanya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun