Mohon tunggu...
Alkaf Prayoga
Alkaf Prayoga Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Jurusan Komunikasi & Penyiaran Islam

Ghost Writer

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Indonesia yang Tergadai

4 Agustus 2024   14:15 Diperbarui: 4 Agustus 2024   14:17 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan karakter? Nihil. Sistem kita lebih fokus pada hasil ujian daripada pembentukan karakter. Anak-anak dipaksa untuk menghafal ketimbang belajar berpikir kritis dan beretika. Padahal, di Jepang, pendidikan karakter sangat diutamakan. Anak-anak diajarkan nilai-nilai seperti kerja keras, disiplin, dan rasa hormat sejak dini.

Coba bayangkan anak-anak kita cuma pintar akademis tapi nggak punya sopan santun. Ketemu guru di jalan, malah nanya, "Guru, lo apa kabar?" Alamak, bisa rusak tatanan sosial! Di Jepang, anak-anak bahkan membersihkan kelas mereka sendiri, mengajarkan mereka tanggung jawab dan rasa memiliki.

Tokoh pendidikan dunia seperti Maria Montessori juga telah menunjukkan betapa pentingnya pendidikan karakter. Pada awal abad ke-20, Montessori mengembangkan metode pendidikan yang menekankan kemandirian, kebebasan dalam batasan, dan rasa hormat terhadap perkembangan alami anak-anak. Jika Montessori melihat sistem kita yang serba terstruktur dan kaku, mungkin dia akan berkata, "Kok bisa ya anak-anak nggak punya waktu buat jadi diri mereka sendiri?"

Beban Belajar yang Terlalu Berat

Beban belajar anak-anak kita juga tidak manusiawi. Mereka dipaksa belajar dari pagi sampai sore, ditambah lagi les privat di malam hari. Hasilnya? Mereka tidak punya waktu untuk bermain atau mengembangkan minat dan bakat lainnya. Padahal, di Finlandia, mereka percaya bahwa anak-anak perlu waktu bermain yang cukup untuk mendukung perkembangan psikologis mereka.

Bayangkan anak SD di Indonesia pulang sekolah, bukannya main layangan malah pusing ngafalin rumus matematika. Bisa-bisa mereka lebih tahu rumus aljabar daripada cara main petak umpet. Ini kan kasihan banget!

Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang terkenal dengan teori perkembangan kognitifnya, pada tahun 1936 menyatakan bahwa anak-anak belajar paling baik melalui bermain dan eksplorasi aktif. Kalau Piaget lihat jadwal anak-anak kita yang super padat, mungkin dia akan geleng-geleng kepala sambil bilang, "Lha, kapan anak-anak ini bisa jadi anak-anak?"

Solusi dar Guee

Untuk mengatasi masalah-masalah ini, kita butuh solusi yang komprehensif dan berani men. Pertama nih, pemerataan fasilitas pendidikan harus menjadi prioritas. Pemerintah harus memastikan bahwa semua anak, baik di kota maupun di desa, memiliki akses ke fasilitas pendidikan yang memadai. Kedua, kurikulum harus direvisi agar lebih relevan dengan perkembangan zaman. Anak-anak harus diajarkan keterampilan yang dibutuhkan untuk menghadapi masa depan.

Selain itu, pendidikan karakter harus lebih diperhatikan. Sekolah harus menjadi tempat di mana anak-anak tidak hanya belajar pengetahuan, tapi juga nilai-nilai kehidupan. Terakhir, beban belajar harus dikurangi. Anak-anak perlu waktu untuk bermain dan mengeksplorasi minat dan bakat mereka.

Sistem pendidikan kita saat ini jelas masih banyak kekurangannya men. Ketimpangan fasilitas, kurikulum yang tidak relevan, kurangnya pendidikan karakter, dan beban belajar yang terlalu berat adalah masalah-masalah yang harus segera diatasi. Pendidikan bukan sekedar soal angka dan nilai, tapi juga tentang membentuk karakter dan mempersiapkan anak-anak untuk masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun