Mohon tunggu...
Al Johan
Al Johan Mohon Tunggu... Administrasi - Penyuka jalan-jalan

Terus belajar mencatat apa yang bisa dilihat, didengar, dipikirkan dan dirasakan. Phone/WA/Telegram : 081281830467 Email : aljohan@mail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Terjebak di Kemacetan Mampang

6 November 2017   08:58 Diperbarui: 21 November 2017   22:59 1476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hari-hari penuh macet di Mampang, Jakarta Selatan (Sumber foto : foto.kompas.com)

Cerita tentang kemacetan di wilayah Mampang Jakarta Selatan sebenarnya bukan cerita baru. Sebelum ada proyek underpass, kawasan tersebut telah menjadi salah satu pusat kemacetan di wilayah Jakarta. Kemacetan semakin menjadi-jadi sejak proyek tersebut dikerjakan, apalagi konon memang belum ada kajian Analisis Dampak Lalu Lintas (Amdal Lalin)-nya.

Kemacetan di Mampang hampir terjadi sepanjang hari, tidak mengenal hari kerja atau weekend, tetapi kemacetan terparah terutama terjadi pada saat jam berangkat dan pulang kantor.  

Proyek underpass Mampang (Sumber foto : foto.kompas.com)
Proyek underpass Mampang (Sumber foto : foto.kompas.com)
Saya pribadi pernah berkantor di kawasan tersebut selama 4 bulan, dari bulan Januari hingga April 2014. Saat itu saya mendapat tugas dari kantor cabang utama untuk berkantor di kantor cabang di Jalan Kapten Piere Tendean Jakarta Selatan. Kantor cabang utama saya sendiri berada di Jalan Fatmawati, masih di  Jakarta Selatan juga.

Misi utama penugasan saya adalah untuk men-downgrade status kantor dari kantor cabang menjadi kantor cabang pembantu. Salah satu alasannya adalah karena kantor tersebut susah untuk dikembangkan karena berada dalam kawasan macet. Apalagi perusahaan tempat saya bekerja adalah perusahaan kurir yang sangat sensitif dengan ketepatan dan kecepatan waktu.

Sebelumnya, ketika berkantor di Jalan Fatmawati, perjalanan saya dari rumah di Depok sampai ke kantor cukup lancar. Ada dua pilihan jalur yang biasanya saya ambil. Jalur pertama lewat Gandul-Pondok Labu-Fatmawati, jalur lainnya adalah Lentengagung-Tanjung Barat-Tol Simatupang - Fatmawati. Secara umum perjalanan cukup lancar. Kalau ada kemacetan, masih dalam batas yang bisa ditolerir.

Begitu pindah ke Jalan Piere Tendean, sejak hari pertama saya sudah mulai merasakan kemacetan. Hari pertama jalur yang diambil adalah dari Jalan Fatmawati kemudian masuk Jalan Layang Non Tol (JLNT) Antasari, lanjut  Jalan Prapanca Raya terus ke Jalan Wijaya I. 

Kemacetan parah sudah mulai terjadi ketika mobil masuk ke Jalan Antasari. Jika lancar, waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jalan tersebut dari Jalan Fatmawati tidak akan lebih dari setengah jam. Tetapi saat itu, saya membutuhkan waktu lebih dari 3 jam untuk bisa sampai kantor.

Hari kedua, karena pengalaman yang tidak mengenakkan pada hari pertama, maka saya memutuskan untuk mengambil rute Jalan Mampang Prapatan, ternyata keadaannya tidak lebih baik dari rute pada hari pertama. Hari-hari berikutnya adalah hari-hari saya terjebak dalam kemacetan di Mampang.

Waktu habis di jalan

Total waktu yang saya butuhkan dari rumah untuk menuju ke kantor 3-4 jam sekali jalan. Untuk pulang-pergi tiap harinya memakan waktu 6-8 jam. Sekitar seperempat sampai sepertiga waktu harian saya habis di jalan.

Untung saja saya tidak berlama-lama ditugaskan di Jalan Piere Tendean. Begitu status kantor turun, saya ditarik lagi ke kantor cabang utama di Jalan Fatmawati.

Di lihat dari sisi manapun, kemacetan hampir tidak ada nilai positifnya. Dari sisi pribadi, kemacetan di jalan bisa menimbulkan penyakit dan stres. Pernah suatu kali saya tidak bisa menahan untuk buang air kecil di jalan, sementara toilet masih jauh. Untung saja di mobil ada bekas botol air mineral. Langsung saja saya buang air di botol tersebut. 

Dari sisi bisnis apalagi, banyak inefisiensi dan kerugian, langsung maupun tidak langsung, yang timbul akibat dari kemacetan tersebut. Salah satu dampak langsung dari kemacetan yang terjadi setiap hari, banyak kantor dan perusahaan di dekat kantor saya banyak yang tutup. Kantor saya termasuk masih bisa bertahan, hanya statusnya menjadi turun kelas. Saya tidak tahu ke depannya, apakah masih bisa terus bertahan atau juga mengikuti yang lainnya?

Inefisiensi akibat macet

Inefisiensi yang muncul akibat kemacetan ternyata sangat tinggi nilainya jika dirupiahkan. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brojonegoro menyebut, untuk Jakarta saja besarnya kerugian yang terjadi akibat kemacetan sekitar Rp 67,5 triliun per tahun.

Untuk wilayah Jabodetabek angkanya lebih tinggi lagi. Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Bambang Prihartono menyebut kerugian yang timbul setiap tahunnya mencapai Rp 100 Triliun.

Berkantor di kawasan tersebut menjadi sangat tidak efisien. Pegawai-pegawai pasti datang terlambat, suplai barang terhambat, orang akan enggan berbelanja di mal atau pertokoan yang ada di kawasan tersebut dan lain-lain. Karena masalah-masalah tersebut, tentu saja bisnis tidak akan bisa berkembang sesuai dengan target yang direncakan oleh setiap manejemen perusahaan.

Menurut Bambang Brojonegoro, kemacetan di Jakarta terjadi karena kota ini telat membangun moda transportasi massal berbasis rel, mass rapid transit (MRT) dan infrastruktur lainnya. 

Di sisi lain, jumlah kendaraan pribadi setiap hari terus meningkat.

#UnlockJakarta

Kita tentu berharap setelah selesainya berbagai proyek yang saat ini sedang dikebut oleh Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dapat mengurai kemacetan yang sudah sampai taraf akut tersebut, baik mass rapid transit(MRT), light rapid transit (LRT), flyover maupun underpass.  

Selain pembangunan berbagai infrastruktur dan perbaikan sarana transportasi umum, pemerintah juga perlu mengkaji kebijakan yang tidak biasa untuk mengatasi kemacetan yang terjadi saat ini, termasuk misalnya kebijakan membatasi jumlah kendaraan baru, sebuah kebijakan yang akan diterapkan mulai tahun depan di Singapura.

Masyarakat sendiri bisa juga berperan aktif untuk ikut mengurangi kemacetan ini, misalnya dengan naik kendaraan umum dan "ride sharing"  atau nebeng. Secara individu, sebenarnya nebeng sudah banyak yang melakukan sejak lama. Banyak teman saya yang memberi tumpangan kepada orang lain, baik gratis atau dengan membayar sesuai dengan kesepakatan.

Konsep "ride sharing" ini juga sedang dikembangkan oleh beberapa provider angkutan online, termasuk Uber. Uber saat ini sedang gencar mengkampanyekan slogan #UnlockJakarta untuk mengurai kemacetan di ibukota dengan #Ridetogether, naik kendaraan bareng-bareng.

Semua upaya tersebut harus dilakukan secara terpadu dan simultan. Kita tentu tidak ingin kemacetan di Jakarta akan menjadi fenomena seperti yang tergambar dalam video di bawah ini.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun