Di lihat dari sisi manapun, kemacetan hampir tidak ada nilai positifnya. Dari sisi pribadi, kemacetan di jalan bisa menimbulkan penyakit dan stres. Pernah suatu kali saya tidak bisa menahan untuk buang air kecil di jalan, sementara toilet masih jauh. Untung saja di mobil ada bekas botol air mineral. Langsung saja saya buang air di botol tersebut.Â
Dari sisi bisnis apalagi, banyak inefisiensi dan kerugian, langsung maupun tidak langsung, yang timbul akibat dari kemacetan tersebut. Salah satu dampak langsung dari kemacetan yang terjadi setiap hari, banyak kantor dan perusahaan di dekat kantor saya banyak yang tutup. Kantor saya termasuk masih bisa bertahan, hanya statusnya menjadi turun kelas. Saya tidak tahu ke depannya, apakah masih bisa terus bertahan atau juga mengikuti yang lainnya?
Inefisiensi akibat macet
Inefisiensi yang muncul akibat kemacetan ternyata sangat tinggi nilainya jika dirupiahkan. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brojonegoro menyebut, untuk Jakarta saja besarnya kerugian yang terjadi akibat kemacetan sekitar Rp 67,5 triliun per tahun.
Untuk wilayah Jabodetabek angkanya lebih tinggi lagi. Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Bambang Prihartono menyebut kerugian yang timbul setiap tahunnya mencapai Rp 100 Triliun.
Berkantor di kawasan tersebut menjadi sangat tidak efisien. Pegawai-pegawai pasti datang terlambat, suplai barang terhambat, orang akan enggan berbelanja di mal atau pertokoan yang ada di kawasan tersebut dan lain-lain. Karena masalah-masalah tersebut, tentu saja bisnis tidak akan bisa berkembang sesuai dengan target yang direncakan oleh setiap manejemen perusahaan.
Menurut Bambang Brojonegoro, kemacetan di Jakarta terjadi karena kota ini telat membangun moda transportasi massal berbasis rel, mass rapid transit (MRT) dan infrastruktur lainnya.Â
Di sisi lain, jumlah kendaraan pribadi setiap hari terus meningkat.
Kita tentu berharap setelah selesainya berbagai proyek yang saat ini sedang dikebut oleh Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dapat mengurai kemacetan yang sudah sampai taraf akut tersebut, baik mass rapid transit(MRT), light rapid transit (LRT), flyover maupun underpass. Â
Selain pembangunan berbagai infrastruktur dan perbaikan sarana transportasi umum, pemerintah juga perlu mengkaji kebijakan yang tidak biasa untuk mengatasi kemacetan yang terjadi saat ini, termasuk misalnya kebijakan membatasi jumlah kendaraan baru, sebuah kebijakan yang akan diterapkan mulai tahun depan di Singapura.