Saya yakin banyak orang yang mengira bahwa semua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mempunyai jaringan kantor di seluruh Indonesia pasti berkantor pusat di ibukota Jakarta, bukan di daerah. Dengan berkantor di Jakarta, maka koordinasi dengan pihak pemerintah pusat tentu akan lebih mudah. Di samping merupakan pusat pemerintahan, Jakarta juga merupakan pusat ekonomi. Perputaran uang terbesar di negara ini tentu berada di Jakarta.
Selama ini banyak orang yang belum tahu Pos Indonesia (Persero) mempunyai kantor pusat di Bandung. Selain Pos, sebenarnya juga terdapat 10 BUMN lain yang berkantor pusat di Bandung, yaitu Kereta Api Indonesia (KAI), Telkom, Bio Farma, Indah Karya, Adi Karya, LEN Industri, PTPN VIII, Pindad, Dirgantara Indonesia dan Inti.
***
Pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda, pemerintah berencana memindahakan pusat Pemerintah Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung. Rencana tersebut terjadi pada jaman pemerintahan Gubernur Jenderal J.P. Van Limburg Stirum, yang memerintah pada tahun 1916-1921.
Alasan yang melatarbelakangi pemindahan tersebut adalah berdasarkan usulan dari H.F. Tillema, seorang ahli Kesehatan Lingkungan dari Semarang. Menurut dia, Batavia tidak layak menjadi ibukota karena kota tersebut dipandang berudara panas, kurang sehat dan tidak nyaman.
Untuk merealisasikan rencana tersebut maka dibangunlah Gedung Sate sebagai pusat pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Sejumlah Instansi atau departemen pemerintahan, dipindahkan dari Batavia ke Bandung. Antara lain Jawatan Kereta Api Negara (S.S), Hoofdbureau PTT (Kantor Pusat Postel), Gouvernements Bedrijven (G.B) yang terdiri dari Dinas Pekerjaan Umum (BOW), Jawatan Meterologi (Tera), Laboratorium dan Museum Geologi, Institut Pasteur (Bio Farma).
Lalu ada juga Balai Besar Permuka, Topographischen Dienst (Dinas Topografi AD), Militairen Vegdienst (AU Militer), Stasiun Radio Telefoni Malabar, Kantor Kas Negara dan beberapa kantor lainnya. Pusat perkantoran instansi sipil dan departemen pemerintahan tersebut menempati lokasi sekitar Gedong Sate sekarang ini (Kunto, Balai Agung di Kota Bandung, 1996:72).
Sayang, rencana pemindahan tersebut akhirnya tidak terealisir karena terjadinya resesi (maleise) yang menimpa perekonomian dunia pada tahun 1930-an. Semua proyek besar pemindahan ibukota terpaksa dihentikan. Dari rencana besar tersebut, bangunan militer di Bandung sudah dirampungkan secara tuntas, sedangkan pusat pemerintahan sipil tidak sempat diselesaikan secara tuntas. Gedung PTT termasuk yang telah diselesaikan secara tuntas.
Gedung Pusat Pos Indonesia
Gedung PTT yang sekarang menjadi Kantor Pusat Pos Indonesia terletak di Jalan Cilaki no 73 Bandung tepatnya di sayap timur Gedung Sate, landmark Kota Bandung, yang kini menjadi Pusat Pemerintahan Propinsi Jawa Barat.
Gedung yang menjadi bagian dari Gedung Sate dengan luasnya 706 m2 ini peletakan batu pertamanya dilakukan pada tanggal 27 Juli 1920 oleh Johanna Catherine Coops, putri sulung dari Walikota Bandung saat itu, B. Coops, bersama Petronella Roelefsen yang menjadi wakil Gubernur Jendral J.P Graaf Van Limburg Stirum. Gedung yang dirancang oleh J. Berger dan Leutdsgeboulwdienst, dibantu oleh Dr. Hendrik Petrus Berlage, seorang maestro Belanda di bidang arsitektur, baru dibuka pada tahun 1931.
Gedung pusat ini membentuk sudut 45 derajat terhadap Gedung Sate dan pertemuan garis sumbu kedua sayap simetrisnya membentuk sudut 90 derajat.
Pada masa revolusi Indonesia, perjuangan untuk merebut gedung ini menjadi kisah yang sangat heroik. Pada saat itu, Jepang telah menyatakan takluk kepada Amerika dalam Perang Dunia-II. Jepang punya kewajiban untuk menjaga kondisi status quo di seluruh wilayah jajahan sampai tibanya Sekutu untuk mengambil alih kekuasaan. Pihak penguasa Jepang harus mempertahankan semua asset dan jalur penguasaan wilayah untuk diserah-terimakan hanya kepada pihak Sekutu, bukan kepada pihak lain termasuk bukan kepada pemerintah Republik Indonesia. Â Â
Para pemuda yang terdiri dari Angkatan Muda Pos Telepon dan Telegrap (AMPTT) yang dipimpin oleh Soetoko dan pejabat  tinggi PTT, Mas Soeharto dan R.Dijar, menuntut kesediaan Jepang untuk segera menyerahkan kekuasaan atas PTT.
Akhirnya pada tanggal 27 September 1945, dengan terpaksa Jepang menyerahkan gedung tersebut kepada AMPTT. Mulai hari itu penguasaan atas asset dan pengendalian operasional PTT di Indonesia oleh bangsa Indonesia sendiri. Â Karena pentingnya peristiwa tersebut, maka setiap tanggal 27 September ditetapkan sebagai Hari Bhakti Postel.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H