Gedung yang menjadi bagian dari Gedung Sate dengan luasnya 706 m2 ini peletakan batu pertamanya dilakukan pada tanggal 27 Juli 1920 oleh Johanna Catherine Coops, putri sulung dari Walikota Bandung saat itu, B. Coops, bersama Petronella Roelefsen yang menjadi wakil Gubernur Jendral J.P Graaf Van Limburg Stirum. Gedung yang dirancang oleh J. Berger dan Leutdsgeboulwdienst, dibantu oleh Dr. Hendrik Petrus Berlage, seorang maestro Belanda di bidang arsitektur, baru dibuka pada tahun 1931.
Gedung pusat ini membentuk sudut 45 derajat terhadap Gedung Sate dan pertemuan garis sumbu kedua sayap simetrisnya membentuk sudut 90 derajat.
Pada masa revolusi Indonesia, perjuangan untuk merebut gedung ini menjadi kisah yang sangat heroik. Pada saat itu, Jepang telah menyatakan takluk kepada Amerika dalam Perang Dunia-II. Jepang punya kewajiban untuk menjaga kondisi status quo di seluruh wilayah jajahan sampai tibanya Sekutu untuk mengambil alih kekuasaan. Pihak penguasa Jepang harus mempertahankan semua asset dan jalur penguasaan wilayah untuk diserah-terimakan hanya kepada pihak Sekutu, bukan kepada pihak lain termasuk bukan kepada pemerintah Republik Indonesia. Â Â
Para pemuda yang terdiri dari Angkatan Muda Pos Telepon dan Telegrap (AMPTT) yang dipimpin oleh Soetoko dan pejabat  tinggi PTT, Mas Soeharto dan R.Dijar, menuntut kesediaan Jepang untuk segera menyerahkan kekuasaan atas PTT.
Akhirnya pada tanggal 27 September 1945, dengan terpaksa Jepang menyerahkan gedung tersebut kepada AMPTT. Mulai hari itu penguasaan atas asset dan pengendalian operasional PTT di Indonesia oleh bangsa Indonesia sendiri. Â Karena pentingnya peristiwa tersebut, maka setiap tanggal 27 September ditetapkan sebagai Hari Bhakti Postel.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H