Mohon tunggu...
Alja Yusnadi
Alja Yusnadi Mohon Tunggu... Penulis - Kolumnis, tinggal di Aceh

aljayusnadi.com---Harimau Mati Meninggalkan Belang, Manusia Mati (harus) Meninggalkan Tulisan, Bukan hanya Nisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika “Kaum” Darussalam Keluar dari Sarangnya

16 Mei 2012   07:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:13 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh : Alja Yusnadi

Menarik agaknya, Mencermati rubrik opini Serambi Indonesia beberapa waktu terakhir, seolah mengisyaratkan ; para abdi ilmu pengetahuan di Universitas Syiah Kuala sedang mereproduksi gagasan, dan berusaha menularkannya kepada rakyat aceh. Betapa tidak, sebelum itu jarang sekali para "induk" yang telah melahirkan beribu sarjana, profesi dan pasca sarjana itu menularkan gagasannya di ruang publik yang dapat diakses oleh khalayak ramai, apalagi yang dianggap beresiko terhadap eksistensi keberadaan, dan jabatan.

Sejak aceh dilanda konflik, dan dilanjutkan dengan proses rehab-rekon pasca tsunami, serta untuk menyikapi tiga tahun kepemerintahan aceh yang nota-benenya merupakan pemerintah transisi yang membutuhkan perhatian dan masukan dari berbagai pihak, kaum kampus malah memilih "bungkam", nyaris tidak ada masukan yang konstruktif, apalagi yang membawa nama Universitas. Padahal, secara gelar, Unsyiah cukup memiliki sumberdaya manusia, para professor/guru besar hampir dimiliki setiap fakultas (pengecualian untuk fakultas baru berdiri).

Misalnya saja jika Unsyiah ingin memberi pandangan empiriknya terhadap pembangunan sistem pertanian yang berbasis masyarakat di Aceh, Fakultas pertanian memiliki ahli dibidang itu, begitu juga dengan fakultas-fakultas lain yang memiliki spesipikasi dan keahlian masing-masing, tapi sekali lagi, masukan-masukan konstruktif-jika tidak ingin dikatakan kritik- itu nyaris tidak ada, hanya beberapa tenaga pengajar yang mengatasnamakan pribadi yang muncul diruang yang dapat diakses publik (salah satunya rubrik opini Serambi Indonesia).

Namun, tatkala Martonis (MT), dan dilanjutkan dengan Otto Samsuddin Ishak (OSI) yang berusaha menularkan gagasannya mengenai akreditasi Unsyiah, bak kata pepatah, pucuk dicinta ulam pun tiba, berbalas pantun, beberapa Doktor (DR) dari berbagai disiplin ilmu membalasnya dengan sempoyongan, sehingga menurut Djamaluddin Husita dalam opininya, salah satu doktor itu menggunakan gaya premanisme dengan menggunakan bahasa yang tidak etis, sehingga sang penulis lupa dengan title yang sedang disandangnya.

Polemik Ala Darussalam itu, dimulai dengan opini Martonis (MT) dengan judul Pantaskah Unsyiah Berakreditasi C yang dimuat di serambi edisi 30 Januari 2010, ternyata berbuntut panjang. Penulis buku dari maaf ke panik aceh, OSI, yang menurut DR. Ishak Hasan sudah mempunyai reputasi nasional, turut angkat bicara perihal akreditas unsyiah tersebut.

Rupanya, opini OSI yang juga tenaga pengajar di Unsyiah telah memancing beberapa peraih gelar akademik tertinggi (DR) di Unsyiah untuk keluar dari persembunyianya, dan membalasnya dalam ruang yang sama pula (opini serambi Indonesia).

Sebenarnya, kebiasaan dan selanjutnya menjadi budaya seperti ini sangat bernilai positif jika terus-terusan dilakukan oleh kaum terdidik-akademisi dari berbagai disiplin ilmu, karena dari berbagai komponen, kaum kampus dianggap sebagai salah satu yang berpijak pada kebenaran empiris, bukan kepentingan golongan atau kelompok, sehingga dapat mewakili suara kebenaran. Apalagi misalnya, seorang yang menyandang title DR. bidang koperasi mengomentari tentang pertumbuhan koperasi di aceh, atau DR. ekonomi mengomentari tentang perkembangan ekonomi aceh, tentunya hal tersebut dapat menajadi masukan bagi pengambil kebijakan, dan menjadi referensi bagi masyarakat awam.

Nilai positif lainnya adalah, walau hanya dikemas dalam rubrik opini, paling tidak karya-karya dari lumbung pendidikan tersebut jelas terlihat, sehingga apa yang disebut DR. Nazamuddin dalam opininya tentang lemahnya nilai tawar Unsyiah terhadap Pemerintah dapat diminimalisir. Agar, kedepannya, baik pemerintah aceh atau pun pemerintah kabupaten/kota dapat menjalin kerjasama dengan unsyiah, tentunya setelah terlihat karya-karya nya.

Namun, sangat miris kiranya, jika beberapa DR itu tidak berpijak atas title yang disandangnya. Beberapa argumentasi yang dimunculkan tendensius, menghantam personal, dan nyaris tidak nampak disiplin ilmunya.

Memang, entah ada kaitannya atau tidak, tidak lama lagi, Unsyiah kembali menggelar pemilihan orang nomor satu di perguruan tinggi negeri tertua di aceh tersebut. Terdengar kabar, rektor yang sedang menjabat akan kembali maju sebagai calon in-cumben pada pemilihan yang akan diselenggarakan beberapa bulan lagi.

Reaksi yang berlebihan tersebut berkaitan dengan menjaga eksistensi keberadaan-jabatan atau sebagai bentuk ucapan terimakasih, karena telah diberikan jabatan. Sikap tersebut terlihat ketika menjawab opini OSI yang tidak berkena ke pokok soal, tapi lebih menyorot soalan personal yang tidak ada sangkut pautnya dengan substansi. Atau ada juga yang mengambil ancang-ancang untuk pemetaan kawan-lawan dalam perebutan kursi rektor untuk empat tahun mendatang.

Akreditas C, Pengelola intropeksi

Sebenarnya, soalan tentang internal Unsyiah ini sudah cukup lama berlangsung, namun tidak sempat mengemuka ketengah publik seperti kali ini. Mulai tenaga pengajar, wali mahasiswa, dan pengambil kebijakan di Aceh (eksekutif dan legislative) seolah tutup mata, tutup telinga. Hampir tiap tahun, wacana transparansi tentang pengelolaan unsyiah disuarakan mahasiswa. Namun gerakan tersebut tidak terkonsolidasi sampai ke luar unsyiah.

Saya masih ingat, diakhir tahun 2007, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari berbagai fakultas, menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung rektorat untuk mendorong pengelola kampus agar mempublikasi pengelolaan anggaran unsyiah, karena biaya SPP terus naik. Aksi tersebut sempat mencoba untuk memboikot pembayaran SPP mahasiswa baru, karena dinilai tidak layak ; tidak ada transparansi.

Pembantu Rektor I Bidang Akademik, pada saat itu berjanji akan melakukan transparansi, namun sudah hampir tiga tahun berlalu, omongan tersebut hanya menjadi angin lalu.

Sementara itu, penguasa kampus terus mendengungkan kalau Unsyiah akan segera menerapkan BHP, dan hal ini juga lepas dari perhatian pemerhati, peminat, praktisi pendidikan, bahkan, ketika saya dan rekan-rekan mahasiswa beraudiensi dengan unsur pimpinan DPRA setahun silam, mereka mengatakan belum pernah membaca Undang-Undang BHP tersebut. Ini artinya, mulai dari pengambil kebijakan, sampai ke praktisi pendidikan abai terhadap perkembangan pendidikan di Aceh. Padahal, yang sudah sangat nyata implikasinya adalah terhadap kenaikan SPP, seperti baru-baru ini.

Salah satu alasan penguasa kampus, untuk meningkatkan mutu, kemandirian dana. Padahal, jika penguasa unsyiah mempunyai iktikad baik, silahkan lakukan publikasi, misalnya, selama ini unsyiah memiliki omset, berapa harga penyewaan gedung AAC Prof. Dayan Dawod, MA?, berapa harga penyewaan Wisma Unsyiah, ruang pertemuan wisma kompas, training center?, Unsyiah juga menyewakan gedung untuk lembaga luar, semisal NGO, Bank, dan semacamnya. Atau, Unsyiah juga memilki asset yang tidak diketahui oleh semua civitas akademika, apalagi mahasiswa?. Sehingga, bukan hanya mahasiswa yang akan terselamatkan dengan tidak tingginya biaya pendidikan, akan tetapi tenaga pengajar yang non jabatan dan non-guru besar, dapat merasakan nikmat tersebut.

Lonjakan biaya tersebut tidak dibarengi dengan akreditasi Unsyiah. Dari kelima belas faktor yang dinilai dalam akreditasi, salahsatunya adalah sistem pengelolaan, jika menjawab pertanyaan Martonis "Pantaskah Unsyiah berakreditasi C", jika dilihat dari besaran dana yang dikutip dari mahasiswa, dan logika yang dipakai ; dana menggenjot mutu, seharusnya hal tersebut menjadi tamparan bagi pengelola unsyiah., karena Unsyiah telah menyedot biaya pendidikan dari mahasiswa melebihi dari perguruan tinggi swasta di Aceh.

Dari berbagai soalan diatas, sudah selayaknya akademisi mengeluarkan gagasan-gagasan terkait dengan disiplin ilmu yang dimiliki, tidak hanya "garang" dikandang, tapi berani muncul ke ruang publik.

Sebagai bentuk kepedulian, mempertanyakan tentang polemik yang sedang dihadapi Unsyiah (salah satunya soal akreditasi, dan rencana terapan BHP), saya kira bukan merupakan upaya jeruk makan jeruk, menelanjangi, apalagi menyarankan pil saridon. Tapi sebagai insan akedemik, kepekaan sosial itu dimulai dari lingkungan kampus.

Dan, kepada pemerhati, peminat, praktisi, pengambil kebijakan (eksekutif, legislative), wali mahasiswa, dan seluruh komponen rakyat aceh, sudah saatnya memberikan sedikit perhatian terhadap pendidikan, sehingga sebagai rahim yang mereproduksi para sarjana, profesi, dan pasca sarjana, Unsyiah dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Penulis adalah Mantan Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian (HIMATETA) Unsyiah, dan Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Pertanian Unsyiah, periode 2008-2009

n berusaha menularkannya kepada rakyat aceh. Betapa tidak, sebelum itu jarang sekali para "induk" yang telah melahirkan beribu sarjana, profesi dan pasca sarjana itu menularkan gagasannya di ruang publik yang dapat diakses oleh khalayak ramai, apalagi yang dianggap beresiko terhadap eksistensi keberadaan, dan jabatan.

Sejak aceh dilanda konflik, dan dilanjutkan dengan proses rehab-rekon pasca tsunami, serta untuk menyikapi tiga tahun kepemerintahan aceh yang nota-benenya merupakan pemerintah transisi yang membutuhkan perhatian dan masukan dari berbagai pihak, kaum kampus malah memilih "bungkam", nyaris tidak ada masukan yang konstruktif, apalagi yang membawa nama Universitas. Padahal, secara gelar, Unsyiah cukup memiliki sumberdaya manusia, para professor/guru besar hampir dimiliki setiap fakultas (pengecualian untuk fakultas baru berdiri).

Misalnya saja jika Unsyiah ingin memberi pandangan empiriknya terhadap pembangunan sistem pertanian yang berbasis masyarakat di Aceh, Fakultas pertanian memiliki ahli dibidang itu, begitu juga dengan fakultas-fakultas lain yang memiliki spesipikasi dan keahlian masing-masing, tapi sekali lagi, masukan-masukan konstruktif-jika tidak ingin dikatakan kritik- itu nyaris tidak ada, hanya beberapa tenaga pengajar yang mengatasnamakan pribadi yang muncul diruang yang dapat diakses publik (salah satunya rubrik opini Serambi Indonesia).

Namun, tatkala Martonis (MT), dan dilanjutkan dengan Otto Samsuddin Ishak (OSI) yang berusaha menularkan gagasannya mengenai akreditasi Unsyiah, bak kata pepatah, pucuk dicinta ulam pun tiba, berbalas pantun, beberapa Doktor (DR) dari berbagai disiplin ilmu membalasnya dengan sempoyongan, sehingga menurut Djamaluddin Husita dalam opininya, salah satu doktor itu menggunakan gaya premanisme dengan menggunakan bahasa yang tidak etis, sehingga sang penulis lupa dengan title yang sedang disandangnya.

Polemik Ala Darussalam itu, dimulai dengan opini Martonis (MT) dengan judul Pantaskah Unsyiah Berakreditasi C yang dimuat di serambi edisi 30 Januari 2010, ternyata berbuntut panjang. Penulis buku dari maaf ke panik aceh, OSI, yang menurut DR. Ishak Hasan sudah mempunyai reputasi nasional, turut angkat bicara perihal akreditas unsyiah tersebut.

Rupanya, opini OSI yang juga tenaga pengajar di Unsyiah telah memancing beberapa peraih gelar akademik tertinggi (DR) di Unsyiah untuk keluar dari persembunyianya, dan membalasnya dalam ruang yang sama pula (opini serambi Indonesia).

Sebenarnya, kebiasaan dan selanjutnya menjadi budaya seperti ini sangat bernilai positif jika terus-terusan dilakukan oleh kaum terdidik-akademisi dari berbagai disiplin ilmu, karena dari berbagai komponen, kaum kampus dianggap sebagai salah satu yang berpijak pada kebenaran empiris, bukan kepentingan golongan atau kelompok, sehingga dapat mewakili suara kebenaran. Apalagi misalnya, seorang yang menyandang title DR. bidang koperasi mengomentari tentang pertumbuhan koperasi di aceh, atau DR. ekonomi mengomentari tentang perkembangan ekonomi aceh, tentunya hal tersebut dapat menajadi masukan bagi pengambil kebijakan, dan menjadi referensi bagi masyarakat awam.

Nilai positif lainnya adalah, walau hanya dikemas dalam rubrik opini, paling tidak karya-karya dari lumbung pendidikan tersebut jelas terlihat, sehingga apa yang disebut DR. Nazamuddin dalam opininya tentang lemahnya nilai tawar Unsyiah terhadap Pemerintah dapat diminimalisir. Agar, kedepannya, baik pemerintah aceh atau pun pemerintah kabupaten/kota dapat menjalin kerjasama dengan unsyiah, tentunya setelah terlihat karya-karya nya.

Namun, sangat miris kiranya, jika beberapa DR itu tidak berpijak atas title yang disandangnya. Beberapa argumentasi yang dimunculkan tendensius, menghantam personal, dan nyaris tidak nampak disiplin ilmunya.

Memang, entah ada kaitannya atau tidak, tidak lama lagi, Unsyiah kembali menggelar pemilihan orang nomor satu di perguruan tinggi negeri tertua di aceh tersebut. Terdengar kabar, rektor yang sedang menjabat akan kembali maju sebagai calon in-cumben pada pemilihan yang akan diselenggarakan beberapa bulan lagi.

Reaksi yang berlebihan tersebut berkaitan dengan menjaga eksistensi keberadaan-jabatan atau sebagai bentuk ucapan terimakasih, karena telah diberikan jabatan. Sikap tersebut terlihat ketika menjawab opini OSI yang tidak berkena ke pokok soal, tapi lebih menyorot soalan personal yang tidak ada sangkut pautnya dengan substansi. Atau ada juga yang mengambil ancang-ancang untuk pemetaan kawan-lawan dalam perebutan kursi rektor untuk empat tahun mendatang.

Akreditas C, Pengelola intropeksi

Sebenarnya, soalan tentang internal Unsyiah ini sudah cukup lama berlangsung, namun tidak sempat mengemuka ketengah publik seperti kali ini. Mulai tenaga pengajar, wali mahasiswa, dan pengambil kebijakan di Aceh (eksekutif dan legislative) seolah tutup mata, tutup telinga. Hampir tiap tahun, wacana transparansi tentang pengelolaan unsyiah disuarakan mahasiswa. Namun gerakan tersebut tidak terkonsolidasi sampai ke luar unsyiah.

Saya masih ingat, diakhir tahun 2007, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari berbagai fakultas, menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung rektorat untuk mendorong pengelola kampus agar mempublikasi pengelolaan anggaran unsyiah, karena biaya SPP terus naik. Aksi tersebut sempat mencoba untuk memboikot pembayaran SPP mahasiswa baru, karena dinilai tidak layak ; tidak ada transparansi.

Pembantu Rektor I Bidang Akademik, pada saat itu berjanji akan melakukan transparansi, namun sudah hampir tiga tahun berlalu, omongan tersebut hanya menjadi angin lalu.

Sementara itu, penguasa kampus terus mendengungkan kalau Unsyiah akan segera menerapkan BHP, dan hal ini juga lepas dari perhatian pemerhati, peminat, praktisi pendidikan, bahkan, ketika saya dan rekan-rekan mahasiswa beraudiensi dengan unsur pimpinan DPRA setahun silam, mereka mengatakan belum pernah membaca Undang-Undang BHP tersebut. Ini artinya, mulai dari pengambil kebijakan, sampai ke praktisi pendidikan abai terhadap perkembangan pendidikan di Aceh. Padahal, yang sudah sangat nyata implikasinya adalah terhadap kenaikan SPP, seperti baru-baru ini.

Salah satu alasan penguasa kampus, untuk meningkatkan mutu, kemandirian dana. Padahal, jika penguasa unsyiah mempunyai iktikad baik, silahkan lakukan publikasi, misalnya, selama ini unsyiah memiliki omset, berapa harga penyewaan gedung AAC Prof. Dayan Dawod, MA?, berapa harga penyewaan Wisma Unsyiah, ruang pertemuan wisma kompas, training center?, Unsyiah juga menyewakan gedung untuk lembaga luar, semisal NGO, Bank, dan semacamnya. Atau, Unsyiah juga memilki asset yang tidak diketahui oleh semua civitas akademika, apalagi mahasiswa?. Sehingga, bukan hanya mahasiswa yang akan terselamatkan dengan tidak tingginya biaya pendidikan, akan tetapi tenaga pengajar yang non jabatan dan non-guru besar, dapat merasakan nikmat tersebut.

Lonjakan biaya tersebut tidak dibarengi dengan akreditasi Unsyiah. Dari kelima belas faktor yang dinilai dalam akreditasi, salahsatunya adalah sistem pengelolaan, jika menjawab pertanyaan Martonis "Pantaskah Unsyiah berakreditasi C", jika dilihat dari besaran dana yang dikutip dari mahasiswa, dan logika yang dipakai ; dana menggenjot mutu, seharusnya hal tersebut menjadi tamparan bagi pengelola unsyiah., karena Unsyiah telah menyedot biaya pendidikan dari mahasiswa melebihi dari perguruan tinggi swasta di Aceh.

Dari berbagai soalan diatas, sudah selayaknya akademisi mengeluarkan gagasan-gagasan terkait dengan disiplin ilmu yang dimiliki, tidak hanya "garang" dikandang, tapi berani muncul ke ruang publik.

Sebagai bentuk kepedulian, mempertanyakan tentang polemik yang sedang dihadapi Unsyiah (salah satunya soal akreditasi, dan rencana terapan BHP), saya kira bukan merupakan upaya jeruk makan jeruk, menelanjangi, apalagi menyarankan pil saridon. Tapi sebagai insan akedemik, kepekaan sosial itu dimulai dari lingkungan kampus.

Dan, kepada pemerhati, peminat, praktisi, pengambil kebijakan (eksekutif, legislative), wali mahasiswa, dan seluruh komponen rakyat aceh, sudah saatnya memberikan sedikit perhatian terhadap pendidikan, sehingga sebagai rahim yang mereproduksi para sarjana, profesi, dan pasca sarjana, Unsyiah dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Penulis adalah Mantan Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian (HIMATETA) Unsyiah, dan Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Pertanian Unsyiah, periode 2008-2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun