Mohon tunggu...
Ali Zaenuddin
Ali Zaenuddin Mohon Tunggu... Penulis - Masih Mahasiswa

Analis Kebijakan Publik Pada Konsentrasi Islam, Pembangunan dan Kebijakan Publik (IPKP) Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Frustrasi Sosial sebagai Dalang Munculnya Kerajaan "Kaleng-kaleng"

20 Januari 2020   14:00 Diperbarui: 21 Januari 2020   22:32 913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terlepas dari berbagai macam orasi dan banyolan yang mereka lontarkan, ada beberapa kesamaan atau kemiripan antara Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire-Earth Empire. Pertama, memiliki pengikut yang tidak sedikit. Kedua, mempunyai atribut khusus. Jika Keraton Agung Sejagat identik dengan seragam dan atribut ala kerajaan, maka Sunda Empire-Earth Empire memiliki atribut yang menyerupai atribut militer, lengkap dengan baret, pangkat dan seragam ala militer, yang diperoleh entah dari mana  asalnya.

Frustrasi Sosial atau Penyakit Sosial?
Kemunculan Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire-Earth Empire dapat dikatakan sebagai sebuah respon sosial yang terjadi di lingkungan atau keadaan sekitarnya. Atau dengan kata lain, fenomena tersebut merupakan suatu cerminan dari krisis sosial yang sedang menjangkiti masyarakat kita saat ini. 

Hal ini disebabkan oleh kejenuhan atau kebuntuan sekelompok orang yang tidak memiliki orientasi yang lebih jauh ke depan. Krisis tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yakni desakan ekonomi, rasa keamanan, maupun keadaan sosialnya. Apabila hadir seseorang yang dapat memberikan jaminan kehidupan yang jauh lebih baik, serta dapat membuatnya keluar dari desakan dan kesusahan ekonomi, maka orang tersebut akan dijadikan sebagai pemimpin. Tawaran, janji serta iming-iming yang diberikan dengan mudahnya dia terima tanpa berpikir kritis dan logis.

Jika lebih jauh dianalisis terkait dengan beberapa penyebab yang menjadi pemicu munculnya disorientasi ataupun krisis sosial dalam suatu kelompok masyarakat, maka akan mengerucut pada fenomena frustrasi sosial, bukan penyakit sosial. Sebab, menurut G. Kartasaputra penyakit sosial itu sendiri muncul sebagai bentuk penyimpangan terhadap norma-norma dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang tidak baik, proses sosialisasi yang negatif atau bahkan karena tidak adanya figur yang bisa dijadikan sebagai teladan dalam memahami atau menerapkan norma-norma dalam masyarakat.

Artinya, penyakit sosial itu muncul karena adanya suatu kelompok yang tidak mau menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, seperti bermain judi, miras, menggunakan narkoba dan perilaku menyimpang lainnya.

Sedangkan frustrasi sosial  disebabkan oleh beberapa hal, antara lain faktor kemiskinan struktural, lonjakan jumlah pengangguran akibat sempitnya lapangan pekerjaan, ketimpangan atau kesenjangan sosial, ketidakpastian masa depan, beban kehidupan yang semakin berat, pembangunan yang tidak merata, naiknya barang-barang kebutuhan pokok, atau bahkan kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat kecil.

Selain itu, mereka menganggap pemerintah tidak mampu memberikan rasa aman dan kedamaian di negeri ini. Artinya frustrasi sosial itu muncul sebagi bentuk kekecewaan mereka terhadap negara dan pemerintah yang tidak mampu memberikan ketenangan dan kesejahteraan. 

Merespon fenomena ini, penulis mencoba menganalisis dengan mengaitkan teori alienasi Karl Marx. Dalam teorinya, Marx mendefinisikan suatu perkembangan atau modernitas sebagai ekonomi kapitalis. Analisis dalam permasalahan ini tertuju pada inti ketidak adilan yang bersembunyi dari hubungan masyarakat dengan sistem ekonomi kapitalis yang bersifat eksploitatif. 

Bisa jadi, gencarnya pembangunan yang digalakkan oleh pemerintah serta suburnya investasi diberbagai sektor, seperti ekonomi dan infrastruktur merupakan sebuah bentuk eksploitasi yang pada akhirnya membuat rakyat tergusur, terasingkan atau teralienasi dari lingkungannya. Sibuk membangun, lupa mensejahterakan. Sehingga muncullah kesenjangan atau ketimpangan, baik di sektor ekonomi maupun sosial yang pada akhirnya menjelma dalam bentuk frustasi sosial di masyarakat. 

Jika mahasiswa melakukan sebuah aksi demonstrasi sebagai bentuk frustrasi sosial merespon kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat kecil, maka orang-orang dengan tingkat pendidikan rendah atau masyarakat biasa yang hidup di pedesaan akan merespon dengan sebuah kontra wacana.

Maksudnya, jika pemerintah tidak bisa memberikan kehidupan yang mudah, murah dan layak, maka apabila muncul seseorang yang menawarkan iming-iming kesejahteraan, kemudahan, jaminan masa depan yang tidak bisa di-cover oleh pemerintah, tentunya orang tersebut akan dijadikan sebagai pemimpin atau orang yang dia hormati. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun