Seiring dengan peningkatan ketersediaan lapangan kerja dan upah di negara-negara di luar negeri, keinginan buruh migran Indonesia terhadap pekerjaan di luar negeri ikut meningkat. Pemerintah merespons fenomena ini dengan mengeluarkan undang-undang dan peraturan untuk melindungi dan memberikan pelayanan kepada pekerja migran, termasuk Undang-Undang No. 39 tahun 2004 dan Peraturan Presiden No. 81 tahun 2006 (Akbarian, 2014).Â
Berlandaskan Undang-Undang No. 39 Tahun 2004, khususnya pada pasal 1 ayat 1. Tenaga Kerja Indonesia (TKI) didefinisikan bahwa setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja dalam kurun waktu tertentu dengan menerima upah.
Menurut Depnakertrans, pada tahun 2008 jumlah buruh migran mencapai 900.129 Berdasarkan jumlah ini 90% diantaranya merupakan buruh migran bergender wanita yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Lalu, di tahun 2010 berdasarkan data BNP2TKI dari 750 ribu pekerja migran di luar negeri, 80% nya merupakan perempuan.Â
Adapun, di tahun 2012 pengiriman pekerja migran ke luar negeri sebanyak 494.609, yang mana 59% ialah perempuan. Kemudian, di tahun 2014 Pekerja Migran Indonesia (PMI) tercatat sebanyak 429.874 orang, dimana 57 % nya merupakan perempuan. Melalui beberapa persentase diatas, kita dapat melihat bahwa dari tahun ke tahun lebih dari 50% PMI berasal dari gender perempuan.
Berlandaskan Catatan Tahunan Komnas Perempuan di Tahun 2014, terdapat 226 kasus kekerasaan terjadi pada pekerja migran wanita. Salah satu contoh kasusnya yaitu yang dialami oleh Erwiana Sulistyaningsih di Hongkong pada Januari-Februari 2014. Kasus ini menjadi perhatian atas rentannya kekerasan bagi tenaga kerja wanita (Desnikia, 2018). Dalam menyelesaikan kekerasan yang terjadi, Erwiana mendapat bantuan dari Komnas Perempuan dalam hal advokasi buruh migran. Komnas perempuan bertindak sebagai survivor, menunjukkan bentuk konkrit perlindungan terhadap tenaga kerja wanita.
Dalam melihat hal ini, maka munculah pertanyaan mengenai "Bagaimana implementasi UU No.39 Tahun 2004 dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak Erwiana Sulistyaningsih sebagai TKI bergender perempuan, khususnya dalam  konteks kekerasaan yang dialaminya?"
Teori Kekerasan Berbasis Gender
Menurut Umniyah (2021), Teori kekerasan gender mencakup pemahaman mendalam tentang bagaimana norma sosial dan ketidaksetaraan gender memperpetuasi tindakan kekerasan terhadap perempuan. Teori ini menyoroti konsep patriarki sebagai akar utama, di mana kekuasaan dominan pria memengaruhi kontrol dan penindasan terhadap perempuan. Faktor-faktor seperti norma budaya, stereotip gender, dan struktur sosial turut berkontribusi terhadap keberlanjutan kekerasan gender. Dalam analisis ini, teori-teori feminis menyoroti pentingnya meruntuhkan hierarki gender dan menciptakan kesetaraan untuk mengatasi akar masalah. Pemahaman ini memberikan dasar untuk advokasi kebijakan, pendidikan, dan perubahan budaya guna menciptakan masyarakat yang bebas dari kekerasan gender.
Kasus Kekerasaan TKI Wanita: Erwiana Sulistyaningsih
Erwiana Sulistyaningsih merupakan TKW asal Ngawi, Jawa Timur. Ia bekerja di Hongkong melalui agen penyalur TKI yaitu Chans Asia Recruitment Centre. Melalui agen ini, Erwiana dipekerjakan pada Law Wan Tung, seorang IRT dengan dua anak remaja (National Geographic, 2015). Law Wan Tung bersikap suka menganiaya. Setiap kesalahan Erwiana akan dibalas Law dengan kekerasan. Hal ini tentu menjadi perhatian yang menarik media internasional, terutama dengan bagaimana TKW perempuan kerap mengalami kekerasan di tempat majikan.
Erwiana kemudian melarikan diri dengan bantuan tenaga keamanan tempat tinggalnya, dan melaporkan kekerasan yang ia alami pada agen. Lalu, Erwiana pun mendapat mediasi dengan majikannya dan kembali ke rumah Law. Namun, Law terus melakukan kekerasan terhadap korban, bahkan memaksa korban bekerja 21 jam per hari. Erwiana hanya diberikan makan sekali setiap hari dan dua kali sehari roti. Selama bekerja, dia tidak menerima kompensasi, cuti, atau perawatan layak. Hanya dijanjikan akan dibayar setelah kontrak berakhir. Seiring berjalannya waktu, Law ditangkap aparat Hongkong saat pemeriksaan sebagai tersangka perlakuan intimidasi dan kekerasan kepada dua pekerja domestik lain yang juga perempuan. Law dijatuhi hukuman 7 tahun penjara (National Geographic, 2015).
Penerapan UU No.39 Tahun 2004
Melalui kasus ini, Erwiana mendesak pemerintah untuk menerapkan Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dengan serius dan komprehensif. Erwiana menyatakan bahwa kekerasan yang ia alami sebagai perempuan adalah akibat lemahnya peran pemerintah dalam melindungi buruh migran (ADY, 2015). Apalagi terhadap buruh migran bergender perempuan, yang mana lebih rentan mengalami kekerasan karena ketimpangan gender dan budaya patriarki yang ada.Â
Dalam kasus Erwiana, pemerintah malah menyerahkan perlindungan kepada PJTKI/PPTKIS atau agen daripada melindungi TKW dengan regulasi yang ada. Meskipun demikian, praktik perusahaan swasta itu tidak melindungi pekerja migran seperti yang diharapkan. Diperlukan pelaksanaan regulasi yang lebih serius lagi untuk meminimalisir terjadinya kekerasan terhadap TKW dan pekerja perempuan. Direktur LBH Yogyakarta, Samsudin Nurseha juga berpendapat bahwa ratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 implementasinya masih sangat kabur (ADY, 2015).
Tindakan konkret diperlukan untuk meningkatkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar para pekerja migran perempuan karena mereka semakin rentan terhadap kekerasan (misalnya, kekerasan seksual) dan kehilangan harta. Kerentanan akan korban kekerasaan ini terjadi sebab tidak mempunyai bargaining position akibat sebagai pencari kerja. Dengan begitu, mereka pun rentan dengan tindakan eksploitatif yang dilakukan oleh berbagai pihak. Berdasarkan gagasan Komnas Perempuan (2019), penegak hukum cenderung mengabaikan kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan pekerja migran. Padahal dari seluruh pekerja migran asal Indonesia, sekitar 70% berjenis kelamin perempuan. Artinya, kecenderungan akan adanya korban kekerasaan tenaga kerja wanita di luar negeri lebih besar terjadi.
Hadirnya Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) menegaskan tanggung jawab pemerintah Indonesia dalam menjaga hak-hak calon TKI dan TKI di negara asing (Yuliartini, 2019). Pasal 7 dari undang-undang tersebut memberikan mandat kepada pemerintah untuk menjamin hak-hak calon TKI, mengawasi penempatan mereka, membentuk sistem informasi terkait penempatan, melakukan upaya diplomasi, dan memberikan perlindungan sepanjang rangkaian pemberangkatan, penempatan, hingga masa purna penempatan. Namun demikian, UU ini masih harus ditinjau, karena efektivitas yang belum maksimal dan masih mengalami hambatan dalam penegakan hukum bagi tenaga kerja di luar negeri.
Relevansi Teori dengan Kasus
Dalam kasus ini, Law Wan Tung sebagai perempuan yang terlibat dalam kekerasan terhadap Erwiana Sulistyaningsih, mencerminkan nuansa kompleks dalam teori kekerasan berbasis gender. Dengan adanya ini menunjukkan bahwa kekerasan tidak selalu terbatas pada relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga dapat melibatkan perempuan sebagai pelaku. Hal tersebut menyoroti perlunya memahami dinamika kekerasan gender yang melibatkan berbagai faktor dan peran gender.Â
Dalam konteks teori kekerasan berbasis gender, partisipasi perempuan sebagai pelaku kekerasan seperti Law Wan Tung menekankan perlunya melihat gender sebagai konstruksi sosial yang kompleks. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan juga dapat terlibat dalam melestarikan norma-norma yang mendukung kekerasan. Tidak hanya itu saja, adapun menyoroti pentingnya dekonstruksi stereotip gender dan memahami dampaknya terhadap dinamika kekerasan dalam masyarakat.Â
Melihat keterlibatan Law Wan Tung sebagai perempuan pelaku kekerasan juga menekankan bahwa upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan berbasis gender harus merangkul semua elemen masyarakat, termasuk membangun kesadaran tentang peran perempuan sebagai agen perubahan. Pemahaman ini memberikan dorongan untuk menggagas program pendidikan gender yang holistik, mempromosikan kesetaraan, dan memecah stereotip yang dapat mempengaruhi perilaku kekerasan di berbagai lapisan masyarakat.
KesimpulanÂ
Berdasarkan kasus kekerasan yang menimpa Erwiana Sulistyaningsih menunjukkan adanya kekurangan dalam implementasi Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 yang seharusnya memberikan perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Meskipun pemerintah telah merespons dengan mengeluarkan undang-undang dan peraturan. Kasus ini menyoroti bahwa regulasi tersebut belum optimal dalam melindungi pekerja migran perempuan, yang seringkali lebih rentan terhadap kekerasan.Â
Kasus Erwiana juga mengungkapkan bahwa pemerintah perlu mengambil tindakan konkret untuk memperkuat perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar pekerja migran perempuan.Â
Selain itu, juga memastikan efektivitas penegakan hukum di luar negeri. Kesadaran masyarakat, lembaga-lembaga terkait, dan pemerintah perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung bagi pekerja migran perempuan, serta memastikan bahwa regulasi yang ada dapat memberikan perlindungan yang memadai. Kasus kekerasan terhadap TKW Erwiana Sulistyaningsih menuntut Indonesia untuk mengambil pelajaran berharga.Â
Perlunya penguatan regulasi perlindungan TKW, khususnya perempuan, dan peningkatan kesadaran masyarakat terkait kekerasan gender. Pembangunan sistem pendidikan yang mengintegrasikan nilai-nilai kesetaraan gender juga krusial. Melalui pendekatan holistik ini, Indonesia dapat memastikan perlindungan yang lebih baik bagi TKW dan menciptakan masyarakat yang adil dan berkeadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H