Mohon tunggu...
Aliyya Alifah Zulfa
Aliyya Alifah Zulfa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Political Science student who have interest in woman issues.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kekerasaan pada Perempuan di Tempat Kerja: Studi Kasus Kekerasaan Terhadap TKI Bergender Wanita Bernama Erwiana Sulistyaningsih

21 Desember 2023   02:16 Diperbarui: 21 Desember 2023   03:02 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Seiring dengan peningkatan ketersediaan lapangan kerja dan upah di negara-negara di luar negeri, keinginan buruh migran Indonesia terhadap pekerjaan di luar negeri ikut meningkat. Pemerintah merespons fenomena ini dengan mengeluarkan undang-undang dan peraturan untuk melindungi dan memberikan pelayanan kepada pekerja migran, termasuk Undang-Undang No. 39 tahun 2004 dan Peraturan Presiden No. 81 tahun 2006 (Akbarian, 2014). 

Berlandaskan Undang-Undang No. 39 Tahun 2004, khususnya pada pasal 1 ayat 1. Tenaga Kerja Indonesia (TKI) didefinisikan bahwa setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja dalam kurun waktu tertentu dengan menerima upah.

Menurut Depnakertrans, pada tahun 2008 jumlah buruh migran mencapai 900.129 Berdasarkan jumlah ini 90% diantaranya merupakan buruh migran bergender wanita yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Lalu, di tahun 2010 berdasarkan data BNP2TKI dari 750 ribu pekerja migran di luar negeri, 80% nya merupakan perempuan. 

Adapun, di tahun 2012 pengiriman pekerja migran ke luar negeri sebanyak 494.609, yang mana 59% ialah perempuan. Kemudian, di tahun 2014 Pekerja Migran Indonesia (PMI) tercatat sebanyak 429.874 orang, dimana 57 % nya merupakan perempuan. Melalui beberapa persentase diatas, kita dapat melihat bahwa dari tahun ke tahun lebih dari 50% PMI berasal dari gender perempuan.

Berlandaskan Catatan Tahunan Komnas Perempuan di Tahun 2014, terdapat 226 kasus kekerasaan terjadi pada pekerja migran wanita. Salah satu contoh kasusnya yaitu yang dialami oleh Erwiana Sulistyaningsih di Hongkong pada Januari-Februari 2014. Kasus ini menjadi perhatian atas rentannya kekerasan bagi tenaga kerja wanita (Desnikia, 2018). Dalam menyelesaikan kekerasan yang terjadi, Erwiana mendapat bantuan dari Komnas Perempuan dalam hal advokasi buruh migran. Komnas perempuan bertindak sebagai survivor, menunjukkan bentuk konkrit perlindungan terhadap tenaga kerja wanita.

Dalam melihat hal ini, maka munculah pertanyaan mengenai "Bagaimana implementasi UU No.39 Tahun 2004 dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak Erwiana Sulistyaningsih sebagai TKI bergender perempuan, khususnya dalam  konteks kekerasaan yang dialaminya?"

Teori Kekerasan Berbasis Gender

Menurut Umniyah (2021), Teori kekerasan gender mencakup pemahaman mendalam tentang bagaimana norma sosial dan ketidaksetaraan gender memperpetuasi tindakan kekerasan terhadap perempuan. Teori ini menyoroti konsep patriarki sebagai akar utama, di mana kekuasaan dominan pria memengaruhi kontrol dan penindasan terhadap perempuan. Faktor-faktor seperti norma budaya, stereotip gender, dan struktur sosial turut berkontribusi terhadap keberlanjutan kekerasan gender. Dalam analisis ini, teori-teori feminis menyoroti pentingnya meruntuhkan hierarki gender dan menciptakan kesetaraan untuk mengatasi akar masalah. Pemahaman ini memberikan dasar untuk advokasi kebijakan, pendidikan, dan perubahan budaya guna menciptakan masyarakat yang bebas dari kekerasan gender.

Kasus Kekerasaan TKI Wanita: Erwiana Sulistyaningsih

Erwiana Sulistyaningsih merupakan TKW asal Ngawi, Jawa Timur. Ia bekerja di Hongkong melalui agen penyalur TKI yaitu Chans Asia Recruitment Centre. Melalui agen ini, Erwiana dipekerjakan pada Law Wan Tung, seorang IRT dengan dua anak remaja (National Geographic, 2015). Law Wan Tung bersikap suka menganiaya. Setiap kesalahan Erwiana akan dibalas Law dengan kekerasan. Hal ini tentu menjadi perhatian yang menarik media internasional, terutama dengan bagaimana TKW perempuan kerap mengalami kekerasan di tempat majikan.

Erwiana kemudian melarikan diri dengan bantuan tenaga keamanan tempat tinggalnya, dan melaporkan kekerasan yang ia alami pada agen. Lalu, Erwiana pun mendapat mediasi dengan majikannya dan kembali ke rumah Law. Namun, Law terus melakukan kekerasan terhadap korban, bahkan memaksa korban bekerja 21 jam per hari. Erwiana hanya diberikan makan sekali setiap hari dan dua kali sehari roti. Selama bekerja, dia tidak menerima kompensasi, cuti, atau perawatan layak. Hanya dijanjikan akan dibayar setelah kontrak berakhir. Seiring berjalannya waktu, Law ditangkap aparat Hongkong saat pemeriksaan sebagai tersangka perlakuan intimidasi dan kekerasan kepada dua pekerja domestik lain yang juga perempuan. Law dijatuhi hukuman 7 tahun penjara (National Geographic, 2015).

Penerapan UU No.39 Tahun 2004

Melalui kasus ini, Erwiana mendesak pemerintah untuk menerapkan Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dengan serius dan komprehensif. Erwiana menyatakan bahwa kekerasan yang ia alami sebagai perempuan adalah akibat lemahnya peran pemerintah dalam melindungi buruh migran (ADY, 2015). Apalagi terhadap buruh migran bergender perempuan, yang mana lebih rentan mengalami kekerasan karena ketimpangan gender dan budaya patriarki yang ada. 

Dalam kasus Erwiana, pemerintah malah menyerahkan perlindungan kepada PJTKI/PPTKIS atau agen daripada melindungi TKW dengan regulasi yang ada. Meskipun demikian, praktik perusahaan swasta itu tidak melindungi pekerja migran seperti yang diharapkan. Diperlukan pelaksanaan regulasi yang lebih serius lagi untuk meminimalisir terjadinya kekerasan terhadap TKW dan pekerja perempuan. Direktur LBH Yogyakarta, Samsudin Nurseha juga berpendapat bahwa ratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 implementasinya masih sangat kabur (ADY, 2015).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun