Kita mungkin pernah menyaksikan iklan komersial di sebuah Televisi. Iklan yang mengisahkan seorang jin yang dimintai tolong. Sang pemohon menyampaikan permintaan ini dan itu. Sang jin pun mengangguk tanda setuju seraya berucap “wani piro?”. Sampai sekarang saya merasa geli. Sebab, meskipun bentuknya iklan tapi makna satire nya cukup mendalam.
Wani piro menjadi refleksi kondisi perpolitikan kita. Jika Machiaveli memaknai politik adalah seni penghalalan segala cara guna mencapai tujuan, maka bukan hal aneh lagi di Indonesia. Sejak digelarnya Pilkada, pileg dan pilpres istilah wani piro menjamur di pelosok pedesaan.
Dalam seminggu terakhir, public disuguhi polemic RUU Pilkada. Disebutkan, pilkada hendaknya digelar secara representasi yaitu melalui DPRD. Sontak protespun terjadi. Berbagai elemen masyarakat ramai-ramai menolak. Bahkan, dalam acara sejenis car free day pun dimanfaatkan untuk menunjukan protes tersebut.
Argumentasi yang mengemuka adalah bahwa suara rakyat suara tuhan. Istilah “jangan beli kucing dalam karung” juga digunakan untuk menolak ide pilkada via DPRD. Yang pasti, protes terus bergulir ditengah kenyataan pelik seperti kenaikan harga Elpiji 3 kg, tarif PLN per dua bulan, dan lain sebagainya.
Pro ataupun kontra bagi rakyat miskin sudah tak penting. 10 tahun lebih rakyat dibodohi dengan janji palsu calon pemimpin. Janji menurunkan harga sembako, penyedian rumah murah, sekolah gratis, sering jadi isapan jempol belaka. Anehnya, sebelum mengakhiri masa jabatannya belum ada satupun pejabat di negeri ini yang memintakan maaf.
Tentu maaf atas ketidakmampuan, ketidak berdayaan dan ketidaksanggupan lainnya. Buat apa digelar pilkada langsung jika janji yang tertebar di poster, spanduk, stiker, kalender, kaos, mobil hingga radio dan televise hanya menjadi lahan kanibalisme politisi. Anda anda kolektor janji politisi, tentu bisa menjadi buku tebal janji-janji yang pernah dimunculkan oleh calon pemimpin di seluruh negeri ini.
Kaos tinggal kaos, stiker tinggal stiker dan kalender tinggal kalender. Tak lebih dari itu. Rakyat kembali berjarak dengan pemimpin yang dielukan. Rakyat tetap hidup sendiri menghadapi kemiskinan dan penderitaannya. Pemimpin terpilih tetap di hotel, di pendopo, di istana gelar rapat dan koordinasi. Kalaupun blusukan tak lebih untuk cari simpati dan pencitraan.
Hampir pasti tak ada pemimpin yang sembunyikan tangan saat menolong rakyat. Meski hanya membatu satu karung beras, ia ingin diliput media. Dibesar-besarkan supaya pro rakyat. Bahkan kalau perlu undang media dengan sedikit uang transport. Yang penting jadi headline di media massa.
Kanibalisme politik terjadi dalam kondisi yang demikian. Hampir semua pemimpin ingin dipuja, dikenal, disanjung dan kalau bisa jangan dikritik. Sebab masih ada seribu alasan andai janji waktu kampanye tidak terpenuhi. Apa gunanya punya penasehat kalau bukan untuk mencari alibi atau pun pembelaan diri.
Pilkada langsung dalam 10 tahun terakhir telah menjadi babak bagaimanakah lidah mudah berucap janji. Padahal janji yang tak pernuhi adalah dusta. Karenanya menjadi pembelajaran buruk bagi generasi. Tak bisa dipungkiri jika anak-anak kita sejak kecil sudah pandai bernanji layaknya calon pemimpin.
Disinilah butuh kejernihan berpikir. Mau dilaksanakan secara langsung ataupun via DPRD yang pasti tak berpengaruh bagi rakyat. Kecuali memang yang terpilih adalah yang tidak berwatak kanibal. Mendahulukan rakyat daripada parpol atau golongannya. Utang luar negeri kita sudah diatas 2000 trilyun rupiah.
Ibarat kapal sudah terseok bahkan terancam karam. Beban biaya pelaksanaan pilkada mencapai 173 trilyun rupiah. Jumlahnya akan terus bertambah seiring dengan pemekaran kabupaten/kota paska 2o14. Tapi itungan seperti ini mungkin dianggap gak penting. Bagi saya yang penting, sketsa masa depan Negara kita seperti apa?
Itulah yang perlu dijawab oleh pemuja demokrasi. Bagaimanapun demokrasi bukan dimaksudkan untuk memajukan untuk memundurkan. Artinya hanya mendapat stempel sebagai Negara demokratis tetapi faktanya masih banyak rakyat miskin. Demokrasi tak boleh kontradiksi dengan sila kelima pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H