Mohon tunggu...
Aliya Hamida
Aliya Hamida Mohon Tunggu... Mahasiswa - International Relations Enthusiast

International Relations Student

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Negara Dunia Islam: Antara Radikal, Kesengsaraan, dan Mispersepsi

6 Oktober 2021   08:46 Diperbarui: 6 Oktober 2021   09:10 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini seperti kuliah pada pekan sebelumnya, siang hingga sore saya mengikuti kelas mata kuliah "Diplomasi Ekonomi Dunia Islam". Terhitung masih pertemuan awal-awal, dosen saya mengajak untuk berkenalan dengan apa yang dimaksud atau dirujuk istilah 'dunia islam' itu sendiri.

Kami bersama-sama mengulas sebuah artikel yang ditulis Bapak Dr. Abdulaziz Othman Altwaijri. Bagian buku yang diberi judul "Connotations of the term 'islamic world'" menjelaskan dengan gamblang bahwa dunia islam merujuk pada 2 pemaknaan. 

Bisa jadi masyarakat yang beragama islam atau sejarahnya erat dengan islam, yang kedua, bisa merujuk pada negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim. 

Kemudian beliau menambahkan, salah satu karakteristik entitas baik masyarakat atau negara yang dianggap islam ialah bisa dilihat dari budaya yang berlaku disana. Jika hal itu sesuai dengan nilai-nilai islam. Maka dapat dikatakan memang entitas tersebut menyandang identitas islam.

Kurang lebih, saya, perempuan berusia 19 tahun yang sama artinya telah menempuh perjalanan islam selama usia tersebut, setuju dengan gagasan dari Pak Dr. Abdulaziz. 

Begitupula dengan rekan rekan saya di kelas jika saya amati dari penyampaian opini mereka berkenaan dengan artikel atau bagian buku tersebut. 

Tetapi ada hal yang memunculkan kebingungan dalam diri saya, ketika dosen saya melanjutkan penjelasannya, menjabarkan materi ke berbagai arah, hingga sampai pada beberapa pernyataan "Arab Saudi ialah negara islam", "Arab Saudi dan Turki termasuk negara islam karena ada adopsi hukum/syariat islam sebagai hukum di negaranya", hingga "Fenomena yang ada, jika negara itu menggunakan ajaran islam, banyak kelaparan yang terjadi. Kenyataannya, dari dominasi masyarakat islam di dunia sebagian besarnya mengalami kelaparan (di bumi Afrika Asia atau lainnya)."

Saya tidak mengerti, mengapa kesimpulan yang sangat positif dari cuplikan buku tadi mampu menghantarkan pemikiran dosen saya pada pernyataan-pernyataan yang sangat negatif. 

Bagi saya suatu negara yang menjunjung nilai-nilai agama tak perlu dipertanyakan lagi kejayaan, kesehahteraan, dan kemakmurannya. Jikalau ada negara yang religius namun ia mengalami chaos. 

Perlu dipertanyakan, apakah memang negara itu menjunjung nilai-nilai agama yang dianutnya? Atau agama itu sekedar menjadi alat legitimasi kekeliruan yang dilakukan oknum-oknum di dalamnya? Atau justru negara yang religius memang terancam keberadaannya, tidak disukai oleh beberapa pihak yang merasa tidak diuntungkan bahkan dirugikan dari kondisi tersebut, sehingga memungkinkan adanya ikut campur mengaduk aduk urusan domestiknya dari oknum oknum asing?

Saya rasa persepsi ini menggambarkan bagaimana masyarakat pada umumnya memahami istilah negara islam. Dimana negara islam terkesan negara yang menegakkan hukum syariat islam sebagai hukum negaranya. 

Begitu pula dengan sistem politik pemerintahannya. Anggapan ini menjadikan klaim Saudi Arabia sebagai negara islam ialah hal yang sangat populer dipahami. 

Kita lupa bahwa kerajaan itu merupakan hal yang berbeda dengan konsep khilafah. Sependek yang saya tahu, dalam politik islam, bukan bentuk pemerintahan kerajaan yang dimaksudkan sebagai pemerintahan ideal. 

Dalam pasal kedua kitab yang ditulis Ibnu Taimiyyah, "Siyasah Syar'iyah" atau dalam bahasa Indonesia Politik Islam yang dipilih paling ideal ialah pemimpin. 

Buku yang kemudian diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Griya Ilmu ini memberikan judul pada bab kedua ini "Memilih yang lebih ideal lalu yang lebih ideal lagi", judul yang menarik. 

Dijelaskan lebih lanjut berbeda dengan monarki yang erat dengan pemahaman bahwa pemimpin ialah wakil tuhan maka apapun yang dikatakannya ialah mutlak. 

Di dalam islam, pemimpin adalah wakil Allah untuk hambaNya, maknanya justru Allah menjadikan pemimpin sebagai wakil hamba-hambaNya. 

Di sisi lain pemimpin juga merupakan wakil hamba terhadap diri mereka sendiri. Nah, yang kadang juga dipahami salah ialah Allah menempatkan wali di bumi bukan berarti karena Ia tak mampu sehingga membutuhkan pengganti, namun justru karena kita sebagai muslim, konsekuensinya ialah wajib melakukan yang baik atau menegakkan syariat islam dan mencegah keburukan. 

Sehingga, kita semua sejatinya adalah pemimpin, minimal bagi diri kita sendiri. Kemudian sama maknanya, kita masing masing adalah wakil Allah di muka bumi.

Pemahaman ini menghantarkan saya pada kesimpulan bahwa di dunia ini tak ada satupun negara yang bisa disebut negara islam. Dan pendefinisian negara sebagai negara islam seharusnya tidak karena ia melakukan hukum gantung atau cambuk. Bukan pula kewajiban berjilbab atau dilarangnya wanita untuk bekerja. 

Hal-hal itu justru jauh dari nilai-nilai dalam islam. Saudi Arabia dengan sistem kekerajaannya justru bisa saya katakan dalam pemilihan pemimpin saja sangat tidak islami. 

Sementara sistem pemilu di Indonesia dengan prinsip yang luar biasa "One Man One Vote", justru sangat islami. Karena pemilu dengan sistem begini menjadi sarana "Memilih yang lebih ideal, lalu yang lebih ideal lagi" ala Ibu Taimiyyah dalam Kitab Siyasah Syar'iyah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun