Mohon tunggu...
Dik Ror
Dik Ror Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - saya adalah pelajar MA Tahfidh Annuqayah

saya adalah seorang yang suka bergurau

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tangisan Soekarno

18 September 2024   11:30 Diperbarui: 18 September 2024   11:33 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia

Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia

kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia

***

Akulah Sukarno, sang pahlawan yang rela berkorban demi sebuah kemerdekaan. Angkuh melawan penjajah meski darah terus menetes membasahi tanah.

Proklamasi...

Akulah Sukarno, sang pembaca proklamasi kemerdekaan dengan suara lantang. Pemecah keheningan.

Kala itu, panas matahari sempurna membakar tubuh. Tapi, tiada kecap kata keluh terucap. Kami tetap tersenyum hangat di bawah terik matahari yang semakin menyengat. Mata kami membelalak, seakan telah tampak hasil jerih payah, tetes keringat dan darah selama sekian tahun melawan penjajah.

Setelah sekian puluh tahun aku membenamkan diri dalam bumi, kini aku terbangun. Badan yang dulunya penuh otot kini dipenuhi keriput. Perawakan wajah yang dulunya tegas perkasa kini bagai kakek-kakek yang seakan sudah berada di jung kehidupan. persendianku terasa melemah. Seakan aku tak sanggup lagi untuk berjalan. Aku tertegun di bibir liang lahad peristirahatanku. Tampak orang-orang yang tak menyadari akan keberadaanku berlalu-lalang melambaikan tangan.

Aku tertunduk memandangi ujung-ujung jemari kedua kakiku. Aku terkejut di kala mendengar jeritan histeris seorang wanita. Kudongakkan kepalaku dan tampak seorang wanita berbaju putih lengan pendek dengan celana hitam bersepatu putih polos yang masih berteriak sembari menutupi wajahnya.

'Orang gila!' Teriakannya semakin keras sembari menunjuk ke arahku yang membuyarkan fokus berjalan orang-orang yang berlalu-lalang. Tampak raut muka menjijikkan mereka dan pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata.

Matahari mulai bersembunyi di arah barat. Lalu-lalang orang-orang mulai tiada. Sepi. Lampu-lampu jalanan dinyalakan. Menyinari jalanan yang menggelap sebab bulan yang bersembunyi di balik gumpalan awan hitam.

Aku berjalan tertatih-tatih memecah kesepian. Dengan hanya berpakaian yang sudah tidak layak sebab lumuran debu dan hiasan robek sana-sini aku berlindung dari dinginnya angin dingin malam yang tak dapat aku bendung. Bagai gempa Aceh 2004, badanku bergetar tak karuan. Gigi-gigiku beradu atas bawah seakan saling tonjok. Langkahku terhenti di tengah jalan karena tak sanggup menahan kejamnya cuaca malam ini. Ingin rasanya aku berteriak geram bermaksud untuk menggegerkan cuaca dingin yang sedari tadi menyerang tubuh ringkihku.

Belum sempat berteriak, badanku seakan tak bertenaga. Hanya gelapnya hitam yang aku pandang. Seketika aku merasakan badanku yang sudah jatuh terkulai di tengah jalan.

Ke sekian harinya, aku terbangun. Mencoba membuka kedua mataku. Silau. Sinar matahari berhasil menyapa mataku. Perlahan aku terbangun dari tidurku yang masih tetap di tengah jalan. Dalam berdiri, aku tarik napasku dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan sebanyak tiga kali. Aku pun meneruskan perjalanan yang sempat terhenti dengan tertatih-tatih walau sinar matahari menyengat kulit. Bulir demi bulir keringat membasahi pakaian berlumuran tanahku.

Entah sekian langkah sudah aku tempuh, hingga aku tiba di samping kerumunan berseragam pramuka. Seseorang di antara mereka berteriak lantang. 

Aku menunduk mengingat-ingat sesuatu. Apakah sekarang hari kemerdekaan? Acara serupa pernah aku lakukan berpuluh-puluh tahun lalu. 

Tak sempat aku menjawab pertanyaanku sendiri, aku dikejutkan dengan suara lantang mereka semua yang menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia. Aku pun mendongak dan mendapati posisi tangan-tangan mereka terletak pas di dahi lambang akan penghormatan. Aku pun menirukan apa yang mereka lakukan. Dengan gemetar, aku menyanyikan lagu kebangsaan. Air mata kebahagiaan tak dapat aku bendung.

Setelah menyanyikan lagu kebangsaan, mereka semua menurunkan tangan-tangan mereka dan tetap berdiri. Lalu tampak seseorang maju dengan sehelai kertas di dekapan tangannya. Seorang anak laki-laki beranjak dewasa itu maju dengan gagah. Langkah-langkahnya teratur seakan ombak besar tak akan membuatnya goyah.

Ia berdiri kokoh menghadap kerumunan. Kertas itu ia sejajarkan dengan matanya memandang. Dengan suara lantang ia mulai membaca isi kertas itu. Aku tertegun. Mataku memanas. Badanku bergetar hebat. Aku mencoba memutar kedua telingaku berharap tiada sayup suaranya yang terdengar. Suara anak laki-laki itu terlalu lantang untuk dihindari. Aku mulai geram. Tetes demi tetes air mata kekecewaan tak dapat aku bendung. Isi kertas itu sungguh membuat hatiku pilu bagai dipalu.

Dua orang itu kembali aku ingat.     

***

Sinar matahari lenyap ditelan barat. Matahari seakan malu untuk bertemu dengan rembulan yang sebentar lagi akan menggantikan peran matahari yang usai setelah dua belas jam menyinari dunia.

Burung-burung kembali pada sarangnya untuk berselimut dari ganasnya angin malam. Berbeda dengan orang-orang yang masih berkumpul di depan ruko-ruko.  Berkumpul bersorak-sorai menertawai hal-hal konyol yang seharian mereka temukan. Di samping itu, sebagian mereka yang hanya duduk sendirian meminum kopi dan menghisap rokok. Memikirkan masalah-masalah yang memberatkan pikiran-pikiran mereka. Seketika berteriak dan lalu diam kembali. Sebagian lagi berpikir. Fokus akan kartu apa yang seharusnya mereka keluarkan untuk memenangkan perjudian. 

Entah apa yang terjadi, tampaklah seseorang berdiri dengan celurit di tangannya menuju ke tengah jalan. Di susul oleh seseorang lainnya yang juga membawa satu celurit di tangannya. Tanpa aba-aba keduanya saling meloncat. Menebaskan celuritnya. Tebasan demi tebasan yang mereka saling luncurkan tak satu pun mengenai lawan. Kerumunan orang-orang yang bersorak-sorai, meratapi akan susahnya kehidupan dan berjudi mengharap kemenangan kini berkumpul dalam satu lingkaran. Melingkari dua orang yang sedang saling tebas. Setelah sekian menit terlewatkan, kerumunan itu pun bubar bersamaan dengan usainya atraksi dua orang itu. Kembali sibuk pada pekerjaan asal mereka. Aku yang sedari tadi hanya berdiri dari kejauhan kini melihat apa yang telah terjadi. Dua orang itu tewas bermandikan darah. Satu tertebas di bagian leher. Satu tertebas di bagian perut. Berdiriku kini melemas.

badanku terhuyung lemas. Jatuh terbaring di atas tanah. Kakiku tak kuasa aku gerakkan. Lemas. Ingatanku kuat mengingat akan sumpah-sumpah (busuk) para pemuda.   

Seketika pandanganku menggelap. Kembali pada liang lahad. Meninggalkan janji-janji jahat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun