Aku tertunduk memandangi ujung-ujung jemari kedua kakiku. Aku terkejut di kala mendengar jeritan histeris seorang wanita. Kudongakkan kepalaku dan tampak seorang wanita berbaju putih lengan pendek dengan celana hitam bersepatu putih polos yang masih berteriak sembari menutupi wajahnya.
'Orang gila!' Teriakannya semakin keras sembari menunjuk ke arahku yang membuyarkan fokus berjalan orang-orang yang berlalu-lalang. Tampak raut muka menjijikkan mereka dan pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata.
Matahari mulai bersembunyi di arah barat. Lalu-lalang orang-orang mulai tiada. Sepi. Lampu-lampu jalanan dinyalakan. Menyinari jalanan yang menggelap sebab bulan yang bersembunyi di balik gumpalan awan hitam.
Aku berjalan tertatih-tatih memecah kesepian. Dengan hanya berpakaian yang sudah tidak layak sebab lumuran debu dan hiasan robek sana-sini aku berlindung dari dinginnya angin dingin malam yang tak dapat aku bendung. Bagai gempa Aceh 2004, badanku bergetar tak karuan. Gigi-gigiku beradu atas bawah seakan saling tonjok. Langkahku terhenti di tengah jalan karena tak sanggup menahan kejamnya cuaca malam ini. Ingin rasanya aku berteriak geram bermaksud untuk menggegerkan cuaca dingin yang sedari tadi menyerang tubuh ringkihku.
Belum sempat berteriak, badanku seakan tak bertenaga. Hanya gelapnya hitam yang aku pandang. Seketika aku merasakan badanku yang sudah jatuh terkulai di tengah jalan.
Ke sekian harinya, aku terbangun. Mencoba membuka kedua mataku. Silau. Sinar matahari berhasil menyapa mataku. Perlahan aku terbangun dari tidurku yang masih tetap di tengah jalan. Dalam berdiri, aku tarik napasku dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan sebanyak tiga kali. Aku pun meneruskan perjalanan yang sempat terhenti dengan tertatih-tatih walau sinar matahari menyengat kulit. Bulir demi bulir keringat membasahi pakaian berlumuran tanahku.
Entah sekian langkah sudah aku tempuh, hingga aku tiba di samping kerumunan berseragam pramuka. Seseorang di antara mereka berteriak lantang.Â
Aku menunduk mengingat-ingat sesuatu. Apakah sekarang hari kemerdekaan? Acara serupa pernah aku lakukan berpuluh-puluh tahun lalu.Â
Tak sempat aku menjawab pertanyaanku sendiri, aku dikejutkan dengan suara lantang mereka semua yang menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia. Aku pun mendongak dan mendapati posisi tangan-tangan mereka terletak pas di dahi lambang akan penghormatan. Aku pun menirukan apa yang mereka lakukan. Dengan gemetar, aku menyanyikan lagu kebangsaan. Air mata kebahagiaan tak dapat aku bendung.
Setelah menyanyikan lagu kebangsaan, mereka semua menurunkan tangan-tangan mereka dan tetap berdiri. Lalu tampak seseorang maju dengan sehelai kertas di dekapan tangannya. Seorang anak laki-laki beranjak dewasa itu maju dengan gagah. Langkah-langkahnya teratur seakan ombak besar tak akan membuatnya goyah.
Ia berdiri kokoh menghadap kerumunan. Kertas itu ia sejajarkan dengan matanya memandang. Dengan suara lantang ia mulai membaca isi kertas itu. Aku tertegun. Mataku memanas. Badanku bergetar hebat. Aku mencoba memutar kedua telingaku berharap tiada sayup suaranya yang terdengar. Suara anak laki-laki itu terlalu lantang untuk dihindari. Aku mulai geram. Tetes demi tetes air mata kekecewaan tak dapat aku bendung. Isi kertas itu sungguh membuat hatiku pilu bagai dipalu.