Mohon tunggu...
Dik Ror
Dik Ror Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - saya adalah pelajar MA Tahfidh Annuqayah

saya adalah seorang yang suka bergurau

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tangisan Soekarno

18 September 2024   11:30 Diperbarui: 18 September 2024   11:33 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua orang itu kembali aku ingat.     

***

Sinar matahari lenyap ditelan barat. Matahari seakan malu untuk bertemu dengan rembulan yang sebentar lagi akan menggantikan peran matahari yang usai setelah dua belas jam menyinari dunia.

Burung-burung kembali pada sarangnya untuk berselimut dari ganasnya angin malam. Berbeda dengan orang-orang yang masih berkumpul di depan ruko-ruko.  Berkumpul bersorak-sorai menertawai hal-hal konyol yang seharian mereka temukan. Di samping itu, sebagian mereka yang hanya duduk sendirian meminum kopi dan menghisap rokok. Memikirkan masalah-masalah yang memberatkan pikiran-pikiran mereka. Seketika berteriak dan lalu diam kembali. Sebagian lagi berpikir. Fokus akan kartu apa yang seharusnya mereka keluarkan untuk memenangkan perjudian. 

Entah apa yang terjadi, tampaklah seseorang berdiri dengan celurit di tangannya menuju ke tengah jalan. Di susul oleh seseorang lainnya yang juga membawa satu celurit di tangannya. Tanpa aba-aba keduanya saling meloncat. Menebaskan celuritnya. Tebasan demi tebasan yang mereka saling luncurkan tak satu pun mengenai lawan. Kerumunan orang-orang yang bersorak-sorai, meratapi akan susahnya kehidupan dan berjudi mengharap kemenangan kini berkumpul dalam satu lingkaran. Melingkari dua orang yang sedang saling tebas. Setelah sekian menit terlewatkan, kerumunan itu pun bubar bersamaan dengan usainya atraksi dua orang itu. Kembali sibuk pada pekerjaan asal mereka. Aku yang sedari tadi hanya berdiri dari kejauhan kini melihat apa yang telah terjadi. Dua orang itu tewas bermandikan darah. Satu tertebas di bagian leher. Satu tertebas di bagian perut. Berdiriku kini melemas.

badanku terhuyung lemas. Jatuh terbaring di atas tanah. Kakiku tak kuasa aku gerakkan. Lemas. Ingatanku kuat mengingat akan sumpah-sumpah (busuk) para pemuda.   

Seketika pandanganku menggelap. Kembali pada liang lahad. Meninggalkan janji-janji jahat. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun