Mohon tunggu...
Ali Wira Rahman
Ali Wira Rahman Mohon Tunggu... Dosen - Praktisi Pendidikan

Senang berbagi, diskusi dan sharing pada topik-topik pendidikan dan pengajaran

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Minimalism dan Isu "Back to Basic" dalam Pendidikan (Bagian II)

11 Februari 2022   00:01 Diperbarui: 11 Februari 2022   00:03 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Belum banyak yang mengaitkan konsep ini dengan pendidikan karena memang tidak banyak bagian dari pendidikan yang unnecessary tadi atau bisa dikatakan semua bagian mulai dari kurikulum hingga asessmen itu penting dan berasalan. 

Sehingga mungkin kita perlu melihatnya pada sisi yang berbeda, bukan dengan penting atau tidak penting melainkan prioritas atau tidak (big impact or less) sehingga nantinya kita akan sampai pada kesimpulan dan mampu melakukan penyederhanaan apakah dalam bentuk aktivitas, prosedur atau secara konsep kurikulum.

Mari kita mulai melakukan penyederhanaan dengan menunjau tiga komponen utama pendidikan yaitu siswa, guru dan kurikulum. Dua komponen utama adalah manusia dengan posisi dan fungsi yang berbeda. 

Pertama adalah siswa, tinjauannya adalah kapasitas kemampuan mereka memperoleh pelajaran (aspek fisik). Beberapa literatur menunjukkan bahwa siswa rata-rata hanya mampu menyerap apa yang disampakan oleh guru kurang lebih 20 menit. 

Pembelajran hendaknya aplikatif dan melibatkan siswa untuk "me-mengalamani" sebuah pembelajaran (lihat kerucut pengalaman Edgar Dale). Belum lagi mereka harus melakukan hal bersifat rutin tersebut dalam beberapa mata pelajaran yang berbeda di satu harinya.

 Apakah benar baik bagi siswa untuk sedikit tahu tentang banyak hal atau menjadi seorang expert dengan tahu sedikit hal secara mendalam. Ini merupakan bentuk overloading expectation pada mereka di tengah disrupsi yang dengan konsisten menganggu focus siswa dalam menyerap pelajaran.

Sudah lama kita berbangga diri dengan raihan prestasi yang diperoleh siswa, kita bangga mereka bersaing dan menjadi juara. Kita mengajarkan betapa pentingnya menjadi pribadi yang berdaya saing padahal bangsa ini semestinya dibangun dengan konsep kolaborasi.

Pembelajaran selama ini lebih focus pada mereka siswa yang memiliki kemampuan rata-rata, mereka yang duduk di depan, mereka yang interaktif. Bagaimana dengan mereka yang pengetahuannya kurang, yang karakternya kurang (bandel) inilah terjemahan dari deskriminasi pendidikan.

Sudah beberapa tahun terakhir kurikulum diarahkan betul untuk menjadi solusi kesenjangan pendidikan di negara kita. Kurikulum diarahkan kepada pembentukan karakter dengan konsep Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Metode, strategi, pendekatan di intervensi dengan pendekatan saintifik, PBL, PjBL dan seterusnya. 

Memang kelihatannya ideal tetapi perlu kita ingat hal yang paling penting dari sebuah konsep adalah bagaimana proses sosialisasi, implementasi dan evaluasinya di lapangan. 

Perlu kita perhatikan apakah ini sudah sesuai dengan yang kita harapkan atau belum. Apakah jutaan guru di lapangan sudah memahami betul dan apakah mereka mau berubah (move on) dalam mengubah kebiasaan mengajarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun