Tantangan pendidikan memang semakin kompleks karena hadirnya satu tren budaya baru (new culture trend). Pada beberapa diskusi dengan guru sangat dominan mereka melakukan komparasi misalnya dengan pernyataan "siswa sekarang sangat berbeda dengan siswa dulu yah".Â
Budaya siswa hari ini yang cenderung focus pada hasil (result oriented) dengan proses yang paling instan menjadi agak kontradiktif dengan apa yang harus dilakukan guru.Â
Sebagai pendidik mereka harus menjabarkan kurikulum, membuat RPP, mempersiapkan bahan ajar, Materi ajar, menyesuaikan model, pendekatan, strategi dan metode pembelajaran serta mempersiapkan asesmen dan penilaian. Fakta dilapangan beberapa dari guru juga dibebani tugas administratif yang begitu menyita waktu.
Hal tersebut semakin menggerus posisi guru sebagai teladan yang patut di contoh dan ditiru. Konsep guru sebagai role model di dalam maupun di luar kelas tidak mudah untuk diwujudkan.Â
Tantangan dunia digitalisasi yang begitu terbuka menjadi bagian dari disrupsi positioning guru dalam perspektif siswa. Seorang guru yang berpenampilan rapi dengan seragam seraya mengajarkan ke siswa untuk berpakaian yang rapi berharap dia dapat menjadi role model berpakaian siswa.Â
Pada sisi yang lain siswa lebih sering menonton film sinetron remaja berseri ataukah film korea melihat bahwa cara berpakaian anak sekolah beda dari apa yang disampaikan oleh guru tadi. Pertanyaannya adalah cara berpakaian manakan yang cenderung akan diikuti oleh siswa? Era disrupsi ini memang sangat membutuhkan revitalisasi peran guru baik dalam pengambangan intelektualitas terlebih karakter siswa.
Dengan kondisi seperti ini dimana fokus siswa dan guru terdisrupsi hingga titik terang pencapain tujuan pendidikan kita semakin kabur. Butuh pemusatan kembali peran guru dan outcome sokolah terhadap siswa.Â
Mirip dengan menggunakan google map ketika tampilan penunjuk jalan sudah melenceng maka kita butuh untuk menekan "pusatkan kembali" pada tombol aplikasi untuk memperoleh petunjuk arah yang lebih akurat.Â
Perlu penyederhanaan peran, tugas dan aktivitas guru, perlu mengembalikan focus pada tujuan mulia diselenggarakannya pendidikan. Guru harus mulai mampu memilah mana yang prioritas dan mana yang bukan, mana yang perlu (necessary) dan tidak perlu (unnecessary). Perlu pembenahan dan perlu simplifikasi.
Selanjutnya jika berbicara tentang simplifikasi maka akan bertaut dengan konsep minimalis. Dimana hari ini konsep tersebut marak dan dari sisi praktis juga sudah banyak di adopsi pada beberapa aspek kehidupan utamanya dalam hal digital (Digital Minimalism).
Secara umum minimalis berarti focus pada apa yang bermanfaat, yang betul-betul dibutuhkan dan perlahan mengabaikan apa yang kurang atau tidak bermanfaat (less is more).Â