Keesokan harinya, aku bersama dengan Rahmat berjalan mengelilingi pasar untuk mencari bahan kebutuhan sehari-hari dan sebuah kado untuk Ratih. Cuaca yang sangat panas, keadaan pasar yang penuh sesak, dan ramai dengan kegiatan tawar menawar antara penjual dan pembeli, bergabung menjadi satu wadah dalam sebuah pasar tradisional.
Mungkin beda ceritanya bila aku berada di kota. Tanpa berdesak-desakan, dengan air conditioner yang sejuk, dan bahan belanja yang tertata rapih, dengan mudah aku bisa mengunjungi pasar swalayan atau yang lebih dikenal dengan supermarket.
Belanja di pasar tradisional, membuat bajuku dibasahi oleh keringat. Tak heran perkiraan suhu di pasar telah mencapai tiga puluh enam derajat celcius, sama saja dengan suhu tubuh manusia. Suatu desa dengan cuaca sejuk di waktu pagi, panas di waktu siang, hangat di waktu sore, dan dingin di waktu malam. Bagaimana bila aku berada di timur tengah dengan suhu yang lebih menggila? Alamak.
Waktu telah menunjukan pukul sebelas siang. Kami baru membeli bahan makanan pokok. Rencananya kami akan membelikan kue ulang tahun untuk Ratih, walaupun telat membelikannya tetapi tidak apa. Ratih mungkin akan sangat senang dengan pemberian kue tersebut, itulah harapanku.
Tujuanku saat ini adalah toko kue yang tak jauh dari pasar ini. Perkiraan untuk menuju sana sekitar sepuluh menit dengan berjalan kaki. Terlihat Rahmat sudah nampak kelelahan, mungkin aku terlalu memaksakan kehendak untuk mengajaknya berjalan.
"Met, mau istirahat dulu?" tanyaku.
"Langsung saja, Kak. Nanti istirahat di rumah saja." Jawabnya dengan lemas.
"Benar tidak apa-apa?" tanyaku meyakinkan.
"Mungkin, hehe." Candanya walau terlihat memaksakan.
Walau sedikit tidak tega pada kondisi Rahmat, aku terus melanjutkan perjalan sembari memegangi tangan kiri Rahmat. Ketika hampir tiba di toko kue, tiba-tiba Rahmat menghentikan langkah. Terlihat ia seperti menahan rasa sakit. Dengan erat ia menahan dan memegangi tanganku. Aku melihatnya memasang raut muka yang terasa  kesakitan.
"Met, lebih baik kita istirahat dulu. Kita duduk dulu, ya?" tanyaku khawatir.
Tak lama kemudian, ia terjatuh di hadapanku. Ia jatuh tak sadarkan diri. Dengan segera aku menahan jatuhnya dan segera memeriksa kondisi Rahmat. Ternyata badannya panas dan denyut nadi terasa lemah.
Untungnya suasana di depan toko kue tidak begitu ramai, hanya ada beberapa orang yang melihat Rahmat terjatuh. Merekapun dengan ikhlas membantuku untuk memindahkan Rahmat yang terkulai lemas ke tempat teduh.
"Mas, kenapa anak ini?" tanya lelaki berkumis tebal yang membantu mengangkatkan Rahmat menuju tempat teduh.
"Sepertinya dia kecapekan, terima kasih atas bantuannya Pak, Bu." Sahutku Ramah kepada orang yang telah menolongiku.
"Tidak apa-apa kami tinggal?" tanya seorang ibu yang memegang tas belanjaan.
"Tidak apa-apa. Maaf merepotkan." Jawabku ramah.
Merekapun pamit, dan menitipkan pesan untukku agar lekas pulang ke rumah, dan merawat bocah yang imut ini. Aku hanya mengiyakan kata mereka, walau agak geli dengan kata imut.
Aku mencoba untuk membangunkan Rahmat, tetapi satupun tak ada reaksi darinya. Aku merasa bersalah padanya, seharusnya aku harus mengerti kondisi Rahmat, dan seharusnya pula aku menjaga Rahmat dengan baik sesuai dengan amanah yang telah diberikan padaku.
Ya, lebih baik aku segera pulang.
Aku menggendongnya pada punggungku, kurasa Rahmat sangat lemas sekali tanpa tenaga. Ketika hendak beranjak dari depan toko kue, dihadapanku berdiri seorang wanita berjilbab yang terlihat anggun dengan pakaian muslimahnya. Ia memegang sebotol air pada tangannya.
"Maaf, mungkin anda akan memerlukan air minum ini." Sahutnya sembari menundukan wajahnya dan menunjukan sebotol air.
"Oh maaf tidak usah, terima kasih banyak atas tawarannya. Sekarang kami akan pulang." Jawabku.
Aku merasakan gerakan tangan Rahmat. Ia sadarkan diri, terlihat raut mukanya terasa gelisah.
"Kak, Mamet lemas sekali" rintih Rahmat.
"Sabar ya, kita sekarang pulang." Sahutku lembut.
"Kak, haus." singkat kata Rahmat.
Wanita berjilbab itu mendekatiku sembari membuka botol air yang bersegel. Raut wajahnya datar dan selalu menunduk.
"Insya Allah, apabila ia minum ini anakmu akan baik-baik saja." Jawab wanita berjilbab.
Anak? Tampaknya wanita ini salah paham tentang hubunganku dengan Rahmat, tetapi biarlah tidak penting untuk dibicarakan. Dengan senyum aku menerima pemberian dari wanita yang mungkin umurnya sebaya denganku. Sebaiknya aku percaya dengan penampilannya yang terlihat ikhlas membantuku. Karena bila yang memberi botol air dengan penampilan yang tidak meyakinkan, aku tidak akan berani menerimanya.
Perlahan aku turunkan Rahmat dari gendonganku, dan menyandarkannya pada tanganku.
"Mamet, minum dulu ya." Sahutku mendekati botol pada mulut Rahmat.
Perlahan Rahmat meminum air, tampaknya ia sangat kehausan. Mukanya terlihat sangat pucat, dan keluar keringat dingin di sekitar lehernya.
Sangat kebetulan sekali, ada seseorang yang tidak dikenal dengan ikhlas menawarkan air putih pada Rahmat. Aku sangat berterima kasih sekali padanya.
Saat pandanganku beralih dari Rahmat, wanita berjilbab tersebut telah menghilang dari hadapanku dan tanpa sepengetahuanku. Cepat sekali ia menghilang, padahal aku ingin mengucapkan terima kasih padanya sebagai balas budi.
Datang tiba-tiba, pulangpun tiba-tiba. Aku berharap pada Tuhan agar membalas amal perbuatannya, amin.
Setelah meminum air pemberian wanita berjilbab itu, kondisi Rahmat agak membaik. Perlahan aku mengendongnya kembali, dan beranjak untuk menuju rumah.
***
Setiba di rumah, aku membaringkan Rahmat pada ranjang. Ia tertidur sangat pulas sekali. Wajah putih berhitung mancung itu terlihat lemas tak berdaya. Berbeda sekali dengan semangat ia saat bermain bola.
Dengan seadanya aku memeriksa kondisi Rahmat lebih lanjut, dari pergelangan tangan, leher, dada, nafas, dan suhu tubuhnya.
Ternyata ia demam, suhu tubuh terlalu tinggi. Mungkin ia sangat kelelahan akhir-akhir ini, atau mungkin ia mempunyai beban berat pada pikirannya.
Aku mengambil sebuah baskom yang kuberi air dingin. Penanganan sementara yang tepat untuk orang yang mengidap demam, pertama kali adalah dengan mengompres air dingin pada dahi atau leher.
Lap tangan yang telah dibasahi oleh air dingin kutempelkan perlahan pada dahinya yang matanya masih terpejam rapat.
Sembari menunggunya bangun, aku membuat obat sederhana dari bahan alami yang akan kupakai untuk pengobatan tradisional penderita demam pada kanak-kanak. Sebuah jeruk nipis yang diperas untuk diambil airnya, lalu bawang merah diparut dengan parut yang dilapisi daun. Perasan jeruk nipis parutan bawang merah ditambah garam itu aku campurkan dengan minyak. Selesai. Setelah kubuat ramuan sederhana, aku kompreskan perlahan pada ubun-ubun Rahmat.
Semoga dengan obat tradisional yang kubuat dapat mengurangi rasa sakit yang diderita Rahmat. Melihat Rahmat membuatku terkenang akan masa lalu, ketika berumur sepuluh tahun aku terbaring lemas tak berdaya di rumah sakit karena penyakit diare. Beruntungnya saat itu, aku masih didampingi oleh ibu kandungku yang rela meninggalkan pekerjaan hanya untuk berada di samping anaknya yang sedang sakit. Kasih sayang yang ia berikan membuatku nyaman walau dalam keadaan sakit. Belaian tangan pada wajahku membuatku merasa terlindungi disaat tak berdaya.
Oh Ibu, aku jadi teringat disaat kanak-kanak pernah membuatkan puisi indah untukmu. Dan engkau sambut dengan tangis kebahagiaan yang engkau ungkapkan untukku. Kecupan kasih sayang pada pipiku masih terkenang dan terasa hingga aku beranjak pada umur tiga puluh tahun ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H