Mohon tunggu...
Aliva Rosdiana
Aliva Rosdiana Mohon Tunggu... Penulis - edupreneur

Sebagai seorang edupreneur, saya harus mengasah diri dengan meningkatkan kualitas diri agar menjadi seorang yang memberikan manfaat dalam dunia pendidikan dan kewirausahaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Household Role Shifting Bukan Hal Tabu

25 Mei 2023   19:45 Diperbarui: 25 Mei 2023   19:47 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mother (sumber: www.LoveToKnow.com)

Seiring berkembangnya teknologi di era modern saat ini, emansipasi perempuan memegang andil dalam masyarakat. Posisi mereka sama dengan laki-laki dalam pekerjaan. Kesetaraan gender memiliki posisi yang sama dalam perlakuan baik kepada laki-laki maupun perempuan. Konsep sederhananya, mereka memiliki hak yang sama dalam bidang pendidikan, namun bukan untuk melebihi laki-laki dan kodratnya sebagai perempuan. Sehingga, bukanlah hal tabu bagi perempuan menjadi tulang punggung (breadwinner) bagi keluarganya. Sehingga pergeseran peran rumah tangga (household role shifting) dimana ayah sebagai househusband tergantikan oleh ibu sebagai tulang punggungnya (breadwinner)  menjadi hal biasa bagi beberapa orang yang mengalaminya. Namun, pandangan masyarakat mengenai hal ini masih dianggap tidak pantas selama ada kepala rumah tangga (suami) yang seharusnya menjadi tulang punggung dalam sebuah rumah tangga.

Masyarakat memandang bahwa peran laki-laki sebagai pemimpin keluarga berpengaruh besar dalam mengemban tanggung jawab khususnya perekonomian rumah tangga. Sebagai breadwinner, laki-laki memiliki kewajiban mencari nafkah bagi keluarga. Dalam konstruksi sosial, laki-laki memegang kekuasaan dan mendominasi dalam berbagai aspek di masyarakat baik kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, dan kepengurusan property. Persepsi ini mengundang kontroversi di zaman modern sekarang ini dikarenakan laki-laki dijadikan objek pada posisi istimewa di atas perempuan. Bahkan sebagian masyarakat menganggap properti serta gelar di keluarga diturunkan pada anak laki-laki.

Budaya patriarki yang masih kental ini seolah menutup ruangan bagi perempuan dalam berpartisipasi di masyarakat bahkan muncul ketidak adilan jender serta tindakan diskriminasi bagi perempuan. Konstruksi patriarki ini akhirnya melahirkan ketimpangan ganda yang merugikan kaum perempuan, yaitu subordinasi, marginalisasi, kekerasan, stereotip, dan beban ganda. Mari kita bahas masing-masing uraiannya.

Subordinasi

Sikap merendahkan orang lain atas status atau posisi sosial tidak hanya terjadi pada kebanyakan laki-laki kepada perempuan. Namun, di dunia modern ini bisa terjadi sebaliknya. Anggapan bahwa kaum perempuan itu irrasional, sehingga mereka tidak perlu sekolah tinggi, tak cocok berkecimpung di dunia politik, dan lain sebagainya terjadi pada budaya yang masih menjunjung patriarki. Namun, perempuan tetap tak bisa lari dari kodratnya sebagai perempuan yang mengurus rumah tangga, sebagai seorang istri, dan ibu dari anak-anaknya.

Marginalisasi

Secara spesifik, sikap marginalisasi yang ditujukan kepada perempuan menganggap bahwa mereka harus ditopang secara ekonomi oleh kepala rumah tangga yang tak lain adalah para suami. Perempuan dianggap sebagai makhluk domestik dengan perannya sebagai ibu rumah tangga. Anggapan ini juga terjadi di dunia kerja di mana perempuan digaji lebih rendah daripada laki-laki. Secara adat atau tradisi mengenai ahli waris, perempuan dikeluarkan dari daftar ahli waris karena dianggap perempuan memperoleh hak kekayaan dari suaminya kelak.

Kekerasan 

Kekerasan terhadap perempuan kerapkali menjadi topik utama seolah hanya terjadi pada perempuan sebagai korbannya. Namun, lagi-lagi di era saat ini perempuan bisa melakukan kekerasan terhadap laki-laki di dalam rumah tangga dengan alasan tertentu. Konstruksi patriarki telah membentuk pola pikir masyarakat terhadap gender yang eksis di masyarakat patriarki, dengan kata lain berpusat pada kekuatan dan kekuasaan laki-laki. Perempuan dianggap lemah sehingga menjadi obyek seksual yang mudah untuk diserang. Kekerasan berbasis gender (gender-based violence) dalam rumah tangga kerap kali perempuan menjadi korban baik secara fisik maupun psikis oleh kaum laki-laki.

Stereotip

Pelabelan (stereotip) perempuan yang mengurus segala kegiatan di rumah seperti memasak, mencuci, menyapu, dan melayani suami dianggap benar adanya oleh kebanyakan masyarakat. Padahal kita tahu bahwa chef atau koki masak di restaurant digaji sangat mahal. Sehingga wajar perempuan tak perlu bersekolah tinggi. Toh nantinya perempuan menjadi istri, ibu rumah tangga, dan mengurusi anak-anaknya.

Pelabelan perempuan sebagai perempuan pembawa sial di masyarakat kerap menjadi gunjingan ketika diketahui bahwa perempuan tersebut hamil di luar nikah. Anggapan bahwa perempuan menjadi label korban kekerasan seksual karena dianggap melakukan kesalahan mengenakan pakaian minim menjadi alasan krusial dalam kacamata masyarakat umum. Sehingga, perempuan menjadi label pelakor kerap terdengar di masyarakat. 

Pelabelan perempuan menjadi pajangan untuk marketing produk yang mampu menarik pelanggan kerap dilakukan dengan melibatkan SPG berpakaian minim di car showroom. Iklan produk sabun juga kerap menggunakan perempuan sebagai model yang mendatangkan banyak profit bagi perusahaan. Produk iklan kecantikan dengan model perempuan dianggap memiliki keindahan yang bisa mempengaruhi perempuan lain untuk membeli dan mempengaruhi para pria membelikan produk untuk pasangannya.

Beban Ganda

Tak sedikit para perempuan bekerja dan berkarir sebelum mereka membangun rumah tangga. Selain tuntutan jam kerja yang panjang dan lama dengan berbagai tuntutan sehingga mengharuskan mereka bekerja keras berdampak pada kondisi yang melelahkan. Tak jarang pula banyak perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga dikarenakan kebutuhan ekonomi yang harus dipenuhi dengan kompor mengepul.

Setelah mereka berumah tangga, tanggung jawab mereka bertambah. Tak hanya menjalankan peran sebagai wanita karir, namun juga berperan dalam rumah tangga, bereproduksi, dan membesarkan anak-anak mereka. Tuntutan ini merupakan hal yang memang sudah menjadi resiko ketika mereka berada di dua peran yaitu sebagai wanita karir dan ibu rumah tangga. Seringkali mereka bahkan istirahat paling akhir di malam hari dan bangun lebih awal di pagi hari untuk menyiapkan kebutuhan makanan dan melakukan aktivitas di rumah. Tak hanya itu, ibu juga harus mengajari anak-anaknya di rumah dan membangun komunikasi dengan anak-anak mereka.

Label bagi perempuan berkarir sering dianggap menelantarkan anak-anaknya. Padahal bukanlah sekadar kuantitas bertemu anak-anak yang menjadi utama dalam hal ini, melainkan kualitas komunikasi sehingga perkembangan anak-anak tetap terpantau. Peran ganda para perempuan lebih besar bila ditelusuri lebih dalam dan mereka lakukan tanpa pamrih. Peran dan aktivitas mereka tak mampu dikalkulasi secara nalar karena perasaan senang dan tanpa pamrih, kecuali bila terjadi benturan dalam rumah tangga, hati perempuan pasti akan tersakiti.

Peran ganda perempuan dalam pergeseran peran sebagai tulang punggung (breadwinner) dalam rumah tangga bukanlah hal tabu selama pasangan rumah tangganya (suami) memiliki rasa empati dan saling mendukung satu sama lain. Intinya adalah saling memahami satu sama lain, saling menopang kebutuhan, dan memegang komitmen. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun