Mohon tunggu...
Ali Usman
Ali Usman Mohon Tunggu... Jurnalis televisi -

Pernah bekerja untuk koran Merdeka, IndoPos, Radar Bekasi, Harian Pelita, Majalah Maestro, Harian ProGol, Tribunnews.com (Kelompok Kompas Gramedia), Vivanews.com, kini di TVRI nasional. * IG aliushine * twitter @kucing2belang * line aliushine * blog www.aliushine.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan dan Peti Jati

11 Januari 2017   00:29 Diperbarui: 25 Juli 2017   00:40 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi foto by wallpaperwide.com"][/caption

Malam itu rembulan sudah sempurna mencapai purnama. Dua sosok lelaki berbadan tegap terlihat masuk ke area pemakaman warga. Satu diantaranya membawa serta tas kecil dari kain hitam yang ia ikatkan di pinggangnya. Dua lelaki itu melangkah cepat melintasi pekuburan, dan dengan lincah melompati setiap batu nisan.

Malam semakin berselimut kabut. Dua lelaki yang mendatangi kuburan itu mulai terlihat diam terpaku. Di depan mereka terdapat kuburan baru yang masih menebarkan aroma tanah basah dan wangi kembang yang bercampur dengan aroma dupa. Kedua lelaki itu nampaknya sudah menemukan apa yang mereka cari.

Makam Sulastri. Kembang desa yang kabarnya mati disantet mantan pacarnya sendiri. Jasad perempuan itu baru dikuburkan sore tadi. Puluhan orang mengantarkannya ke pemakaman ini dalam guyuran hujan yang tak kunjung berhenti. Sulastri yang tak tahan dengan sakitnya, memilih gantung diri di kamarnya dalam kondisi lidah terjulur dan mata melotot seakan marah dengan kondisinya saat hidup.

Angin berhembus kencang. Dua lelaki di depan makam itu kemudian saling pandang, dan tanpa berbicara sepatah katapun langsung menjalankan aksi mereka. Satu orang dengan cepat mencabut batu nisan, dan membersihkan tumpukan kembang dari atas pusara. Sementara satu lainnya duduk bersila menghadap ke kuburan sembari komat kamit membaca mantra. Tidak jelas yang diucapkan. Tapi lelaki itu jelas membaca mantra dengan sepenuh hati. Keringat sudah membasahi. Lelaki itu terlihat memejamkan mata.

Tak lama berselang, lelaki yang sedari tadi membersihkan pusara dari kembang dan batu nisan, tiba-tiba terjatuh limbung. Entah apa yang terjadi, lelaki itu ambruk begitu saja mencium pusara di depannya. Sementara lelaki lainnya yang melafalkan mantra masih terlihat berkonsentrasi dengan aksinya. Lelaki itu masih kokoh duduk bersila.

Angin malam berhembus makin kencang. Menggoyangkan dahan dan menerbangkan dedaunan. Di samping pusara yang sudah tanpa nisan itu, lelaki yang ambruk tanpa sebab, tiba-tiba berdiri kembali. Angin yang berhembus kencang seolah tidak dirasakannya. Lelaki itu menatap kosong ke arah pusara di hadapannya. Ia seperti orang yang linglung. Lelaki itu kesurupan. Kedua kakinya yang tanpa alas, mencengkram kokoh tanah merah basah.

Segera lelaki itu duduk bersila. Posisi dua lelaki berbaju serba hitam itu kini duduk saling ber hadapan, hanya dipisahkan kuburan yang masih basah. Entah bagaimana awalnya, lelaki yang seperti kesurupan kini mulai meraih dan menyingkirkan kepal demi kepal tanah kuburan di depannya. Tenaganya begitu besar hingga bisa dengan cepat mengobrak abrik gundukan tanah kuburan.

Sementara lelaki lainnya yang duduk bersila membaca mantra kini mulai mengangkat kedua tangannya. Bibirnya masih komat kamit tidak jelas. Tak sampai setengah jam, lelaki yang menggali kubur hanya dengan kuku-kukunya, mulai terlihat kembali limbung terhuyung. Lelaki pembaca mantra kini berdiri memasang kuda-kuda. Satu tangannya ia kepalkan ke langit. Satu lainnya menunjuk lurus ke arah temannya yang terhuyung.

"Kau harus menyelesaikan ini dengan cepat!" Lelaki pembaca mantra berteriak lantang ke arah temannya yang kini melotot memandanginya. Segera lelaki itu menggali pinggiran kuburan hanya dengan kedua tangannya. Tanpa cangkul ataupun alat bantu lainnya. Lelaki itu seperti tidak kenal lelah dan terus menggali hingga tangannya mampu menggapai papan kayu penutup mayat.

Lelaki pembaca mantra lalu duduk bersila. Ia mengeluarkan keris kecil berukir kepala ular naga dari saku bajunya. Lelaki satunya masih sibuk menggali. Entah bagaimana caranya, tak berapa lama, ia mampu menarik mayat Sulastri yang masih berbalut kain kafan putih keluar dari makam itu dengan cepat.

Segera ia letakan mayat yang terbujur kaku itu di pinggir pusara. Gerimis yang mulai turun ikut membasahi kain kafan yang sudah dilepas ikatannya itu. Gerimis juga membasahi wajah mayat Sulastri yang sudah lebam membiru. Beberapa tetes gerimis bahkan mengenai mata mayat yang masih melotot itu.

"Matanya masih melotot Kang!" Lelaki yang sedari tadi kesurupan menggali kuburan terperanjat kaget. Napasnya masih naik turun kelelahan. Rupanya tenaga gaib yang sedari tadi menguasainya sudah hilang. Lelaki pembaca mantra ikut terperanjat melihat kondisi mayat. Segera ia bersila kembali. Sekuat tenaga ia melafalkan mantra. Entah apa tujuannya.

Angin berhembus kencang. Membawa rintik gerimis turun semakin deras. Kedua lelaki berbaju hitam itu kini sibuk membolak balik mayat yang terbujur kaku di atas kuburan. Mereka tengah mencari sesuatu pada mayat itu. Sebuah batu yang konon akan muncul di sekitar mayat yang mati tidak sempurna.

Tapi sia-sia saja upaya mereka. Tidak ada batu satupun yang berhasil mereka temukan. Bahkan ketika mereka berusaha menemukan batu tersebut di dalam mulut jasad Sulastri. Bagi dua lelaki itu, batu yang konon sakti tersebut akan mendatangkan kekayaan dan kesaktian tiada tanding. Tapi malam ini, rupanya mereka belum beruntung.

"Kalian tidak akan dapat apapun disini," ujar satu suara yang datang lewat hembusan angin ke telinga dua orang itu. Suara itu jelas terdengar. Berbisik lembut namun jelas seperti didengar seluruh anggota tubuh. Kedua lelaki itu seketika berhenti membolak balikan jasad perempuan di atas gundukan kuburan itu. Mereka menoleh ke arah sumber suara.

Tak jauh dari kuburan Sulastri, di samping pohon kamboja yang setengah tumbang, sesosok perempuan mirip Sulastri, seperti tengah berdiri di atas peti mati kayu jati. Petang tadi mayat Sulastri tak bisa dikebumikan bersama peti jati itu. Beberapa kali tanah kuburan diukur dan dilebarkan, namun tetap saja bumi seolah menolak peti mati itu. Jasad yang sudah dipocong itu pun akhirnya dikebumikan tanpa peti meski kondisinya sudah mulai membusuk.(*)

 

Jagakarsa, Januari 2016

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun