Mohon tunggu...
Ali Usman
Ali Usman Mohon Tunggu... Jurnalis televisi -

Pernah bekerja untuk koran Merdeka, IndoPos, Radar Bekasi, Harian Pelita, Majalah Maestro, Harian ProGol, Tribunnews.com (Kelompok Kompas Gramedia), Vivanews.com, kini di TVRI nasional. * IG aliushine * twitter @kucing2belang * line aliushine * blog www.aliushine.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sepiring Ketupat Saat Senja

12 September 2016   06:14 Diperbarui: 13 September 2016   01:19 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: shutterstock

 Allahuakbar.. Allahuakbar.. Allahuakbar Walillahilhamdu..

Gema takbir masih terdengar berkumandang dari surau dan masjid di dekat rumah Mak Salamah. Nenek tua itu masih berada di dapur, sibuk menyiapkan sejumlah makanan termasuk ketupat dan opor ayam. Lebaran kali ini ia berharap anak-anaknya bisa ikut menikmati masakannya.

Mak Salamah sudah tidak muda lagi. Mempersiapkan satu porsi ketupat dan opor ayam saja lamanya bukan main. Ia tidak segesit dahulu. Matanya juga sudah mulai rabun. Untuk jalan dari dapur ke ruang tamu saja ia harus memegangi tembok, meniti seperti balita yang baru belajar berjalan.

Banyak tetangga yang bertamu silaturahmi memilih pulang tanpa pamit jika Mak Salamah sudah ke dapur. Padahal maksud nenek itu baik. Ia ke dapur untuk mengambilkan makanan, minuman ataupun menyiapkan hidangan alakadarnya bagi mereka yang berkunjung. Mak Salamah biasanya hanya bisa mengelus dada saat tiba di ruang tamu dan mendapati tamunya sudah berlalu.

Dulu sewaktu suaminya masih hidup, rumah Mak Salamah selalu penuh dengan tamu jika sudah lebaran. Tapi sejak ditinggal mendiang suaminya, rumah itu menjadi benar-benar sepi. Dua anaknya yang hidup merantau di kota, juga tak pernah kembali. Bahkan saat lebaran. Kini Mak Salamah seperti terasing di kampung sendiri.

Lebaran kali ini Mak Salamah tak henti-henti berdoa. Ia berharap anak-anaknya bisa datang dan mencicipi ketupat buatannya. Nenek tua itu sengaja bangun dini hari demi merebus ketupat. Dua hari lalu petugas dari masjid membawakannya beras dan sejumlah uang dari pembagian zakat dan sedekah masyarakat.

Tapi hingga menjelang sore, anak-anaknya tak kunjung datang. Mak Salamah hanya bisa tersenyum saat sejumlah tetangganya melambaikan tangan dari pinggir jalan. Lebaran menjadi ajang kumpul bagi keluarga. Mereka terlihat bahagia bisa beriringan berjalan menyambangi handai tolan bersama.

Mak Salamah lantas berjalan masuk. Ia ingin mengambil air wudhu. Waktu sholat ashar sebentar lagi berlalu. Nenek itu belum sholat. Ia harus cepat-cepat. Tapi langkahnya terhenti seketika. Seseorang mengucapkan salam di depan pintu rumahnya. Mak Salamah berbalik. Hatinya senang. Anaknya sudah kembali.

Tergesa-gesa perempuan tua itu menuju pintu depan. Ia sudah membayangkan wajah Idris atau Salim putranya. Tapi Mak Salamah kembali kecewa. Yang datang sore ini bukanlah Idris ataupun Salim. Seseorang dengan baju warna putih dan sorban yang juga putih tengah tersenyum padanya.

"Anak cari siapa? Apa anak petugas dari masjid atau dari mana?" Mak Salamah lantas mempersilakan pemuda itu masuk. Nenek itu selalu ramah pada setiap orang. Secangkir teh ia hidangkan. Pemuda itu hanya tersenyum.

"Mak, duduklah di sebelah saya. Saya datang sengaja untuk menemui Mak Salamah. Saya mau menjemput Mak pulang," ujar pemuda itu lembut.

Mak Salamah menghela napas. Nenek tua itu sudah beberapa kali mendapat firasat akan kedatangan tamu agung yang entah datang dari mana. Di sisa usianya kini, Mak Salamah lebih banyak menghabiskan hari dengan beribadah. Tentu rasa rindu pada anak-anaknya ia dekap dalam lantunan doa yang tiada putus.

"Ada dua perkara yang sedang Mak tunggu. Menunggu anak-anak pulang, dan menunggu tamu agung menjemput Mak. Tapi Mak tidak menyangka, perkara ke dua akan datang lebih cepat," ujar nenek tua itu berusaha menutupi keterkejutan.

"Kedua anak Mak Salamah akan datang besok pagi. Sesibuk apapun mereka, mereka pasti datang ke tempat ini. Dan mulai lebaran ini, mereka akan sering berkunjung tiap tahun, terutama menjelang idul fitri. Jangan khawatirkan mereka," ujar pemuda itu tenang. Ia sama sekali tidak menyentuh makanan ataupun meminum secangkir teh yang dihidangkan.

Mak Salamah kembali menghela napas.

"Setidaknya ijinkan Mak menyiapkan sepiring ketupat untuk mereka," ujar nenek tua itu lagi. Pemuda itu kembali tersenyum. Mak Salamah terlihat mulai kebingungan. Entah apa yang ia pikirkan saat ini.

"Mak jangan khawatir dan takut. Tidak ada tempat yang lebih baik bagi orang-orang yang beriman, selain pulang kembali padanya," pemuda itu berkata dengan lembut. Telinga Mak Salamah hampir tidak bisa mendengar di usianya saat ini. Tapi ucapan pemuda itu ia dengar dengan baik. Bahkan setiap kata yang diucapkan seperti didengar oleh seluruh anggota tubuh nenek itu.

"Silakan Mak sholat dulu. Saya akan menunggu," ujar pemuda itu. Mak Salamah segera mengambil air wudhu. Air mata terus mengalir membasahi pipi perempuan tua itu. Ia masih berharap bisa bertemu dengan anak-anaknya. Mak Salamah memejamkan mata. Ia mendengar sebuah suara kembali memanggilnya lembut.

"Wahai jiwa yang tenang.. Kembalilah kamu kepada Tuhanmu dengan hati ridho dan diridhai Tuhanmu. Masuklah ke dalam golongan hambaku, masuklah ke dalam surgaku."

 

Jagakarsa, 12 September 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun