Tembang Lara Kamar 303
Rere tak bisa tidur. Matanya sulit diajak kompromi meski jam sudah menunjuk pukul 02.00 dini hari. Perempuan itu kemudian membuka selimutnya. Di ranjang sebelah, Vera, teman satu kamarnya terlihat sudah terlelap. Kamar hotel itu perlahan mulai terasa menyeramkan bagi Rere. Ia menutup selimutnya rapat-rapat.
Sejak setengah jam lalu Rere mendengar suara musik gamelan yang mengalun perlahan. Entah dari mana suara itu berasal. Rere tak mau menerka-nerka. Tapi alunan musik tradisional itu kian terdengar semakin mendekat di telinganya. Seakan-akan ada rombongan penabuh gamelan yang sejak tadi mendatangi hotel tempat Rere menginap.
Gadis itu lantas menutup telinganya. Ia tak mau mendengar suara itu lagi. Tapi semakin ia menutup rapat telinganya, semakin jelas ia mendengar alunan musik itu. Rere mulai ketakutan. Suara sinden yang mendayu-dayu kini seperti mulai hadir di kamarnya. Ia tidak nengerti isi tembang itu. Tapi ia merasa tembang itu seperti mengajaknya untuk pergi entah kemana.
Rere semakin merasa takut. Perlahan ia mengintip dari balik selimutnya. Ia ingin memastikan keadaan. Lantunan suara musik gamelan masih terdengar. Namun kali ini hanya terdengar tipis. Rere mencoba mencari suara penyanyi itu. Tapi anehnya ia sudah tidak lagi mendengar suara sinden menyanyi seperti tadi. Entahlah. Seperti menghilang begitu saja.
Rere menjadi penasaran. Gadis itu kini mulai memasang telinganya baik-baik. Ia mencoba mendengarkan lantunan musik gamelan yang terdengar mulai menjauh. Ia ingin memastikan benar tidaknya ada suara sinden yang sempat didengarnya tadi. Tapi Rere sama sekali tidak mendengar suara sinden itu lagi. Ia benar-benar dibuat penasaran.
Rere melihat ke arah jam dinding. Waktu terasa lama sekali berjalan. Ia ingin segera bertemu pagi. Ia ingin segera melewatkan malam ini. Tiba-tiba Rere ingin memastikan keadaan. Bola matanya bergerak melihat ke seluruh sudut kamar hotel. Rere melirik ke arah temannya yang tertidur pulas. melihat ke sudut-sudut kamar. Tidak ada apa-apa pikirnya.
Gadis itu hendak menarik kembali selimut menutupi wajahnya. Tapi sepintas ia melihat bayangan seseorang berada di pinggir jendela, tak jauh dari ranjang tempat tidur Vera. Jantung Rere berdebar kencang. Ia tak berani memastikan apa yang baru saja dilihatnya. Gadis itu menutup rapat matanya. Bibirnya terus melafalkan doa tiada henti. Ia ketakutan.
Rere harus membangunkan Vera. Dengan hati berdebar gadis itu memberanikan diri membuka sedikit demi sedikit kelopak matanya. Tapi kemudian ia benar-benar terkejut bukan kepalang. Seorang perempuan dengan pakaian khas para sinden telah beradu tatap dengan gadis itu. Terlambat bagi Rere untuk menghindari tatapan. Gadis itu terpaku di tempatnya.
Rere tak bisa bergerak. Bayangan yang dilihatnya tadi benar-benar nyata dilihatnya kini. Seorang perempuan dengan mengenakan kebaya, dan rambut disanggul berhiaskan pernak-pernik yang berkilauan. Sayang, ia tidak bisa melihat jelas wajah perempuan itu. Penerangan lampu kamar yang sedikit redup telah membuat bayangan samar di wajah perempuan itu.
Rere menyipitkan matanya. Rasa penasaran telah mengalahkan rasa takutnya. Tapi upaya melihat jelas wajah perempuan itu tak berhasil. Entah bagaimana caranya, sosok perempuan misterius itu kemudian hilang begitu saja. Rere kembali dibuat kaget. Gadis itu mengucek matanya tak percaya. Sosok itu kini benar-benar hilang.