Mohon tunggu...
Ali Usman
Ali Usman Mohon Tunggu... Jurnalis televisi -

Pernah bekerja untuk koran Merdeka, IndoPos, Radar Bekasi, Harian Pelita, Majalah Maestro, Harian ProGol, Tribunnews.com (Kelompok Kompas Gramedia), Vivanews.com, kini di TVRI nasional. * IG aliushine * twitter @kucing2belang * line aliushine * blog www.aliushine.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tembang Lara Kamar 303

11 September 2016   17:09 Diperbarui: 11 September 2016   17:19 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Sumber gambar: pinterest.com"

Tembang Lara Kamar 303

Rere tak bisa tidur. Matanya sulit diajak kompromi meski jam sudah menunjuk pukul 02.00 dini hari. Perempuan itu kemudian membuka selimutnya. Di ranjang sebelah, Vera, teman satu kamarnya terlihat sudah terlelap. Kamar hotel itu perlahan mulai terasa menyeramkan bagi Rere. Ia menutup selimutnya rapat-rapat.

Sejak setengah jam lalu Rere mendengar suara musik gamelan yang mengalun perlahan. Entah dari mana suara itu berasal. Rere tak mau menerka-nerka. Tapi alunan musik tradisional itu kian terdengar semakin mendekat di telinganya. Seakan-akan ada rombongan penabuh gamelan yang sejak tadi mendatangi hotel tempat Rere menginap.

Gadis itu lantas menutup telinganya. Ia tak mau mendengar suara itu lagi. Tapi semakin ia menutup rapat telinganya, semakin jelas ia mendengar alunan musik itu. Rere mulai ketakutan. Suara sinden yang mendayu-dayu kini seperti mulai hadir di kamarnya. Ia tidak nengerti isi tembang itu. Tapi ia merasa tembang itu seperti mengajaknya untuk pergi entah kemana.

Rere semakin merasa takut. Perlahan ia mengintip dari balik selimutnya. Ia ingin memastikan keadaan. Lantunan suara musik gamelan masih terdengar. Namun kali ini hanya terdengar tipis. Rere mencoba mencari suara penyanyi itu. Tapi anehnya ia sudah tidak lagi mendengar suara sinden menyanyi seperti tadi. Entahlah. Seperti menghilang begitu saja.

Rere menjadi penasaran. Gadis itu kini mulai memasang telinganya baik-baik. Ia mencoba mendengarkan lantunan musik gamelan yang terdengar mulai menjauh. Ia ingin memastikan benar tidaknya ada suara sinden yang sempat didengarnya tadi. Tapi Rere sama sekali tidak mendengar suara sinden itu lagi. Ia benar-benar dibuat penasaran.

Rere melihat ke arah jam dinding. Waktu terasa lama sekali berjalan. Ia ingin segera bertemu pagi. Ia ingin segera melewatkan malam ini. Tiba-tiba Rere ingin memastikan keadaan. Bola matanya bergerak melihat ke seluruh sudut kamar hotel. Rere melirik ke arah temannya yang tertidur pulas. melihat ke sudut-sudut kamar. Tidak ada apa-apa pikirnya.

Gadis itu hendak menarik kembali selimut menutupi wajahnya. Tapi sepintas ia melihat bayangan seseorang berada di pinggir jendela, tak jauh dari ranjang tempat tidur Vera. Jantung Rere berdebar kencang. Ia tak berani memastikan apa yang baru saja dilihatnya. Gadis itu menutup rapat matanya. Bibirnya terus melafalkan doa tiada henti. Ia ketakutan.

Rere harus membangunkan Vera. Dengan hati berdebar gadis itu memberanikan diri membuka sedikit demi sedikit kelopak matanya. Tapi kemudian ia benar-benar terkejut bukan kepalang. Seorang perempuan dengan pakaian khas para sinden telah beradu tatap dengan gadis itu. Terlambat bagi Rere untuk menghindari tatapan. Gadis itu terpaku di tempatnya.

Rere tak bisa bergerak. Bayangan yang dilihatnya tadi benar-benar nyata dilihatnya kini. Seorang perempuan dengan mengenakan kebaya, dan rambut disanggul berhiaskan pernak-pernik yang berkilauan. Sayang, ia tidak bisa melihat jelas wajah perempuan itu. Penerangan lampu kamar yang sedikit redup telah membuat bayangan samar di wajah perempuan itu.

Rere menyipitkan matanya. Rasa penasaran telah mengalahkan rasa takutnya. Tapi upaya melihat jelas wajah perempuan itu tak berhasil. Entah bagaimana caranya, sosok perempuan misterius itu kemudian hilang begitu saja. Rere kembali dibuat kaget. Gadis itu mengucek matanya tak percaya. Sosok itu kini benar-benar hilang.

Rere masih terpaku di kasurnya. Ia benar-benar ketakutan. Alunan suara musik gamelan yang belum juga hilang, kini membuatnya merinding. Rere mulai pucat pasi. Ia melirik ke kanan dan kiri. Ke berbagai sudut kamar. Mencari sosok tadi. Tiba-tiba lampu kamar padam. Gadis itu kembali dibuat kaget. Rere memanggil nama Vera. Mencoba membangunkan sahabatnya.

Malam kian mencekam. Rere menggenggam erat selimut di tangannya. Ia tak tahu harus berbuat apa. Bahkan hidungnya kini mulai mencium wangi melati yang menyengat. Rere melirik ke arah jendela. Mengedarkan pandangan ke sudut-sudut kamar hotel. Sangat gelap. Tiba-tiba bahu gadis itu seperti disentuh jemari yang terasa sangat dingin menusuk kulit. Rere menjerit histeris.

********

Di lobbi hotel, Rere tengah menunggu Vera dengan perasaan tidak tenang. Kejadian semalam telah membuatnya kapok untuk kembali ke kamar. Pagi ini mereka putuskan untuk segera pindah hotel. Semua pakaian dan barang pribadi mereka sudah dibawa. Tapi Vera melupakan sesuatu. Charger handphone tertinggal di kamar. Ia harus kembali.

Sudah setengah jam Rere menunggu. Tapi Vera belum juga terlihat kembali. Lama sekali pikir Rere. Gadis itu mulai khawatir. Semalam mereka akhirnya tidak tidur. Suara jeritan Rere membuat Vera terbangun. Vera lantas menyalakan lampu kamar. Ia melihat Rere benar-benar ketakutan. Rere menceritakan yang dialaminya beberapa saat sebelum Vera terbangun. Dua gadis yang hendak liburan itupun tak lagi bisa tidur hingga pagi menjelang.

Rere mulai resah. Sudah satu jam berlalu, Vera tak juga turun ke lobbi hotel. Gadis itu mulai berpikir untuk menyusulnya ke kamar. Tapi siapa yang akan menjaga koper-koper dan tas mereka di lobbi.

Rere lantas medekati meja resepsionis. Meminta petugas menghubungi kamar 303. Ponsel milik Vera tak bisa dihubungi. Begitupun pesan lewat sejumlah aplikasi. Tidak ada yang ditanggapi. Rere makin khawatir. Berulangkali dihubungi dari meja resepsionis, kamar 303 tidak menjawab. Tidak ada yang mengangkat telepon.

Rere kembali ke sofa. Ini tidak masuk akal. Vera sudah satu jam tidak kembali. Ia harus menyusulnya. Rere bangun dari sofa. Gadis itu baru saja melangkahkan kaki saat seorang petugas kebersihan tiba-tiba menghampirinya dengan raut wajah cemas.

"Maaf, mbak yang di kamar 303 bukan? Teman mbak masih terkunci di dalam kamar. Beberapa kali dia berteriak minta tolong. Saya dan teman saya sudah mencoba membuka kamar, termasuk dengan kunci serep. Tapi gagal. Belum bisa dibuka," ujar lelaki itu panik. Beberapa tamu hotel ikut melihat ke arah mereka. Seolah ingin tahu apa yang sedang terjadi.

Rere terperanjat. Ia segera meminta pihak hotel melakukan sesuatu. Rere takut hal yang buruk telah terjadi pada sahabatnya. Bagaimana ini bisa terjadi. Apa tidak ada cara lain untuk membuka kamar? Rere bicara dengan sejumlah petugas hotel. Gadis itu makin terlihat panik. Beberapa orang langsung menuju kamar tersebut.

Seorang lelaki yang usianya paling tua, mendekati Rere. Lelaki itu terlihat kaget dengan peristiwa ini. Lelaki itu perlahan mulai membuka obrolan. Ia bertanya apakah ada hal aneh yang dialami gadis itu semalam. Rere lantas menceritakan hal buruk yang dialaminya. Tentang sosok perempuan dengan kebaya, juga tentang musik gamelan misterius yang ia dengar.

Lelaki itu mengangguk. Ia lantas bercerita soal kamar 303. Kamar itu sudah lama tidak digunakan. Penyebabnya, beberapa tamu kamar itu sempat mengalami hal buruk. Ada yang kesurupan, ada yang mendadak gila merasa terancam akan dibunuh, bahkan ada yang mencoba bunuh diri di kamar hotel berbintang itu. Rere mulai merinding.

Kamar 303 dan sebagian gedung utama hotel, dulu sempat terbakar hebat. Saat itu kebetulan tengah menginap satu rombongan grup karawitan tradisional. Tidak ada yang selamat dalam musibah kebakaran itu. Begitupun dengan alat-alat kesenian, seperti gamelan dan lainnya. Semua habis terbakar.

Tiga tahun kemudian, hotel kembali dibuka untuk umum setelah kepemilikan berpindah tangan. Tapi hal-hal buruk tetap terjadi di lokasi kamar itu. Bahkan semakin banyak cerita horor yang beredar pasca kebakaran hebat itu. Rere merasakan seluruh bulu kuduknya berdiri. Ia ingat apa yang dialaminya semalam.

Rere tak sempat mendengar bagian akhir cerita lelaki itu. Ia telah bergegas menuju kamar 303. Ia ingat Vera masih di dalam kamar itu. Sepintas Rere ingat kejadian semalam. Sosok sinden misterius itu duduk membelai rambut Vera dengan lembut. Rere tersadar. Sosok itu ingin mengajak Vera pergi ke suatu tempat.

Rere setengah berlari menuju kamar itu. Ia berharap belum terlambat menolong sahabatnya. Air mata gadis itu mulai mengalir deras. Jantung Rere berdebar kencang. Tembang yang mengalun semalam itu ternyata bukan ditujukan untuknya. Tembang itu ditujukan bagi sahabatnya. (*)

 

Jagakarsa, Iedul Adha 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun