Jalanan jakarta masih terlihat sepi. Hanya beberapa pengendara sepeda motor yang melintas. Bahkan pedagang kaki lima di trotoar juga tak seramai biasanya. Sepanjang rute dari Pasar Minggu hingga Pancoran, praktis tidak ada satupun penumpang yang bisa diangkut. Padahal ini masih kamis. Biasanya di hari kerja, banyak orang yang memilih memakai taksi untuk mengantar mereka bepergian.
Sudah sejak pagi tadi aku keluar pool. Tapi belum ada satupun penumpang sewa yang kudapati hingga siang ini. Benar-benar sepi. Memang beberapa bulan terakhir, jumlah penumpang taksi cenderung menurun. Menjamurnya tukang ojek dan banyak mobil pribadi yang ikut jadi taksi gelap sangat berdampak pada penghasilan kami.
Taksi kubawa melaju dengan kecepatan sedang. Beberapa kali aku harus ke pinggiran jalan dan melongok saat melewati gang-gang kecil. Berharap satu atau dua penumpang dapat kutemui. Namun hingga memasuki ruas jalanan Gatot Subroto, tetap tidak ada satupun penumpang. Bahkan taksi yang kukemudikan malah disundul sedan dari belakang.
Seorang perempuan. Masih sangat muda. Keluar dari sedan itu dan berusaha meminta maaf. Perempuan muda itu jelas terlihat kebingungan. Body belakang taksi penyok. Aku yakin dia pasti ketakutan setelah tahu kondisinya lumayan parah. Aku sendiri tak mengerti, bagaimana prosesnya hingga bisa penyok seperti itu.
Setelah lima menit mendengar permintaan maaf dan sejumlah alasan dari mulut perempuan muda itu, akupun memaafkannya. Meski ingin meledak marah, namun itu urung kulakukan. Rasanya tidak pantas beradu mulut dengan perempuan. Apalagi ini di pinggir jalan. Akhirnya aku memilih kembali melanjutkan perjalanan. Biarlah persoalan penyok itu aku pikirkan nanti saja.
Dari balik kaca mobil, kulihat perempuan itu masih sibuk menelpon. Entah apa yang diobrolkan. Tapi rasanya, inilah alasan kenapa mobilnya bisa menabrak taksiku. Perempuan itu masih berdiri di tepian jalan dengan ponsel menempel di telinganya saat kunyalakan taksiku. Kulihat dia kembali masuk ke dalam mobil pun masih dalam kondisi menelpon.
Rupanya insiden tabrakan kecil tadi tidak membuatnya jera. Perempuan itu tetap saja menelpon saat mengemudi. Sungguh kelakuan buruk anak muda jaman sekarang.
Matahari mulai terik. Udara pagi yang terasa sejuk perlahan hilang digerus asap kendaraan yang semakin ramai. Tapi insiden ditabrak perempuan muda itu tak jua hilang dari ingatanku. Entah mimpi apa semalam, setengah hari ini nasibku benar-benar sial dan apes.
Roda taksiku terus berputar. Meski beberapa kali berhenti disejumlah titik keramaian, namun hingga matahari sudah tinggi dan sinarnya melelehkan pandangan mata, tidak ada satupun penumpang. Rupanya jika memang belum rejeki, meski dikejar seperti apapun, tetap tidak akan dapat juga.
Setelah berputar-putar dan berhenti untuk mengisi bahan bakar, aku putuskan untuk meminggirkan kendaraan dan istirahat sebentar di bawah pohon rindang. Suara penyiar radio yang sejak pagi tadi menemani perjalanan, perlahan membuatku ngantuk dan beberapa kali menguap.
Namun belum ada satu menit mata ini terpejam, tiba-tiba pintu belakang taksi ada yang mencoba membuka. Dengan sangat terkejut aku langsung menengok ke belakang. Rupanya seorang penumpang sedang berupaya cepat-cepat untuk bisa masuk mobilku.
Segera kubuka kunci pintu belakang dan membiarkannya masuk kedalam. Nampaknya jam istirahat terpaksa harus ditunda dulu. Penumpang ini memintaku untuk cepat melaju, menjauhi pom bensin yang padat antrian mobil-mobil mewah.
Sudah setengah jam taksi melaju. Tapi aku masih tidak tahu kemana arah tujuan penumpang ini. Saat kutanya, dia hanya menyuruhku untuk membawanya berputar-putar saja dulu.
Seorang perempuan muda, dengan rambut panjang bergelombang yang dicat kemerahan. Parasnya cantik dan wangi parfumnya semerbak. Wangi parfumnya sungguh sangat menawan. Sudah pasti ini bukan parfum dari merk murahan.
Dari dandanannya aku bisa menebak, wanita ini mungkin seorang sekretaris. Ya, paling tidak, perempuan muda ini kerja kantoran lah. Kulitnya saja mulus terawat. Biaya perawatan kecantikan perempuan ini pastilah mahal. Rasanya susah membayangkan perempuan seperti ini mau naik taksi.
Lihat saja tata rambutnya yang sungguh indah. Jika tidak buatan salon berkelas, pastilah kreasi para make-up artis. Aku lantas berpikir lagi. Tidak mungkin perempuan ini cuma sekretaris. Dari tas yang dibawanya, aku yakin level pekerjaannya lebih tinggi dari itu.
Setidaknya butuh jabatan sekelas direktur untuk bisa menenteng tas merk mahal seperti itu. Atau bisa jadi, perempuan ini istri orang kaya. Atau mungkin, perempuan cantik ini simpanan konglomerat. Ah, entahlah. Ini kali pertama ada perempuan secantik itu mau masuk taksiku. Aku pun kemudian senyum-senyum sendiri. Ini mungkin namanya rejeki.
Sepintas kulihat perempuan ini tak banyak melakukan aktifitas. Biasanya ada saja yang dilakukan penumpang saat berada di dalam taksi. Ada yang main ponsel, ada pula yang biasanya doyan ngajak ngobrol. Tapi perempuan ini, hanya bersandar ke kaca jendela sambil melihat ke arah luar. Entah apa yang dipikirkannya.
Sudah satu jam lebih perempuan maha cantik ini diam membisu didalam taksiku. Aku sendiri tak mengerti apa yang sedang terjadi pada perempuan ini. Seingatku, dia hanya dua kali melihat ponselnya, lalu dengan kesal memasukan kembali ponsel mewah itu ke dalam tasnya. Sesekali aku bisa menangkap gurat amarah dari wajahnya.
Hingga matahari melangkah turun ke arah barat, perempuan cantik ini tetap belum menentukan tujuan. Aku pun tak berani menanyakan lagi padanya. Sejak beberapa menit lalu ia tersudut dengan tangis yang tertahan. Hidungnya yang kemerahan akibat menahan laju tangisan ia tutup dengan sapu tangan.
Masuk kawasan bundaran Senayan, perempuan cantik ini mulai terlihat gelisah. Lantunan merdu lagu-lagu yang diputar lewat radio tak bisa menyudahi kegalauannya. Lampu-lampu jalanan yang menyala dan sinar matahari sore hari rupanya membuat perempuan ini gusar. Paras cantiknya tak bisa menutupi raut kegelisahan itu.
Kulihat jalanan sudah mulai padat. Tepat di bawah tiang lampu merah, tangan perempuan ini tiba-tiba memegang bahuku. Itu sangat mengagetkan. Untung saja posisi mobil sudah berhenti dengan sempurna. Perempuan ini memintaku untuk mengantarnya ke kawasan Parkir Senayan, yang dekat dengan stadion utama.
Mobil kembali melaju. Aku masih tidak percaya tangan yang indah itu memegang bahuku. Sempat kulihat tangan perempuan ini sangat terawat. Jemarinya yang lencir, kulitnya yang putih kemerahan, seolah mengatakan jika perempuan ini tak pernah terkena sinar matahari. Benar-benar mulus dan menawan. Kuku-kukunya bahkan diberi hiasan warna-warni dengan motif utama kupu-kupu warna jingga.
“Apa menurutmu aku ini kurang cantik?”
Perempuan cantik ini tiba-tiba bertanya kepadaku. Sumpah aku sempat kaget dengan pertanyaan itu. Segera kulihat lewat spion tengah. Tak kuduga, ternyata perempuan cantik ini justru sedang menatap sorot mataku. Aku menelan ludah. Mengalihkan pandangan. Jangankan menjawab pertanyaannya. Memandang matanya yang indah itu pun aku tak berani. Aku lantas berpikir keras. Apa dia marah dan merasa, jika sedari tadi aku mencuri-curi pandang ke arahnya.
“Apa menurutmu aku ini kurang cantik?”
Perempuan ini kembali mengulang pertanyaannya. Konsentrasiku mengemudi mendadak terganggu. Lelaki mana yang berani menilainya kurang cantik. Dari ujung kaki hingga ujung kepala, wanita ini sungguh sangat menawan. Lelaki mana yang tidak mabuk kepayang bila melihatnya. Perempuan ini sempurna laksana bidadari kayangan. Melihat kemulusan betisnya saja, lelaki akan bertekuk lutut di hadapannya.
Lima menit berlalu dalam diam dan aku masih membawa mobilku dengan hati berdebar. Perempuan ini kemudian memintaku berhenti di pinggiran jalan dekat stadion utama. Aku sendiri tak lagi berani mencuri-curi pandang ke arahnya. Sepintas sinar matahari sore semakin terlihatcerah. Dari pantulan kaca depan mobil, tanpa sengaja aku masih bisa melihatnya melepas cardigan hitam yang dikenakannya.
Aku tanya sekali lagi, apa menurutmu aku ini kurang cantik?”
Aku menoleh ke arahnya. Kali ini aku akan mengatakan jika perempuan ini sangat cantik. Tapi suaraku tercekat ditenggorokan. Beberapa kali aku menelan ludah. Perempuan ini mulai melepas satu persatu pakaian yang melekat di tubuhnya. Mataku terbelalak dan mendadak terasa panas. Jantungku berdegup makin kencang. Dia sudah menanggalkan seluruh pakaiannya. Aku bingung harus bagaimana.(*)
Jagakarsa, pertengahan Agustus 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H