Mohon tunggu...
Ali Usman
Ali Usman Mohon Tunggu... Jurnalis televisi -

Pernah bekerja untuk koran Merdeka, IndoPos, Radar Bekasi, Harian Pelita, Majalah Maestro, Harian ProGol, Tribunnews.com (Kelompok Kompas Gramedia), Vivanews.com, kini di TVRI nasional. * IG aliushine * twitter @kucing2belang * line aliushine * blog www.aliushine.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perempuan dan Kupu-kupu Jingga

13 Agustus 2016   00:47 Diperbarui: 13 Agustus 2016   02:27 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mobil kembali melaju. Aku masih tidak percaya tangan yang indah itu memegang bahuku. Sempat kulihat tangan perempuan ini sangat terawat. Jemarinya yang lencir, kulitnya yang putih kemerahan, seolah mengatakan jika perempuan ini tak pernah terkena sinar matahari. Benar-benar mulus dan menawan. Kuku-kukunya bahkan diberi hiasan warna-warni dengan motif utama kupu-kupu warna jingga.

“Apa menurutmu aku ini kurang cantik?”

Perempuan cantik ini tiba-tiba bertanya kepadaku. Sumpah aku sempat kaget dengan pertanyaan itu. Segera kulihat lewat spion tengah. Tak kuduga, ternyata perempuan cantik ini justru sedang menatap sorot mataku. Aku menelan ludah. Mengalihkan pandangan. Jangankan menjawab pertanyaannya. Memandang matanya yang indah itu pun aku tak berani. Aku lantas berpikir keras. Apa dia marah dan merasa, jika sedari tadi aku mencuri-curi pandang ke arahnya.

“Apa menurutmu aku ini kurang cantik?”

Perempuan ini kembali mengulang pertanyaannya. Konsentrasiku mengemudi mendadak terganggu. Lelaki mana yang berani menilainya kurang cantik. Dari ujung kaki hingga ujung kepala, wanita ini sungguh sangat menawan. Lelaki mana yang tidak mabuk kepayang bila melihatnya. Perempuan ini sempurna laksana bidadari kayangan. Melihat kemulusan betisnya saja, lelaki akan bertekuk lutut di hadapannya.

Lima menit berlalu dalam diam dan aku masih membawa mobilku dengan hati berdebar. Perempuan ini kemudian memintaku berhenti di pinggiran jalan dekat stadion utama. Aku sendiri tak lagi berani mencuri-curi pandang ke arahnya. Sepintas sinar matahari sore semakin terlihatcerah. Dari pantulan kaca depan mobil, tanpa sengaja aku masih bisa melihatnya melepas cardigan hitam yang dikenakannya.

Aku tanya sekali lagi, apa menurutmu aku ini kurang cantik?”

Aku menoleh ke arahnya. Kali ini aku akan mengatakan jika perempuan ini sangat cantik. Tapi suaraku tercekat ditenggorokan. Beberapa kali aku menelan ludah. Perempuan ini mulai melepas satu persatu pakaian yang melekat di tubuhnya. Mataku terbelalak dan mendadak terasa panas. Jantungku berdegup makin kencang. Dia sudah menanggalkan seluruh pakaiannya. Aku bingung harus bagaimana.(*)

Jagakarsa, pertengahan Agustus 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun