Dari Loji Gandrung Ke Istana Negara (5)
(Analisa Pemberitaan Jokowi di Media Massa)
Oleh : Ali Sodikin
Bagian Kelima
Jokowi : Jakarta Macet, Karier Politik Tetap Lancar
Kemacetan Jakarta
Sekarang kita analisa bagaimana media massa mengkonstruksi pemberitaan tentang tema kemacetan Jakarta dengan Jokowi sebagai Gubernurnya, orang yang "dituduh" paling bertanggung jawab terhadap kondisi tersebut. Kita akan lihat dan cermati satu persatu isi pemberitaan masing-masing media.
Salah satu alat yang dipakai untuk menganalisa bagaimana media massa mengkonstruksi realitas sosial adalah analisa framing. Nanti akan kita paparkan secara lebih lengkap bagaimana metode analisa framing secara lebih lengkap pada sub judul setelah pembahasan tema-tema pemberitaan media massa tentang kemacetan Jakarta.
Kompas.com
Berita Kompas tentang kemacetan Jakarta yang berkaitan dengan pencapresan Jokowi diberi judul Jokowi : Macet dan Banjir Lebih Mudah Diatasi jika Jadi Presiden, Senin 24 Maret 2014.
JAKARTA, KOMPAS.com --- Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengatakan, permasalahan kemacetan dan banjir di Jakarta akan mudah teratasi jika dia menjadi presiden. Seorang presiden akan mudah mengatur dan memerintahkan kepala daerah di kawasan Jabodetabek untuk bekerja sama.
Jokowi menilai, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak akan bisa menanggulangi kemacetan dan banjir tanpa bantuan daerah lain karena salah satu sumber penyebab terjadinya dua masalah klasik Jakarta tersebut juga berasal dari daerah-daerah penyangganya.
"Seharusnya lebih mudah (mengatasi kemacetan) karena kebijakan transportasi itu harusnya tidak hanya Jakarta, tapi juga Jabodetabek. Itu seperti halnya dengan masalah banjir. Banjir tidak hanya masalah Jakarta karena 90 persen air yang menggenangi Jakarta itu justru berasal dari atas (Bogor). Semua pengelolaan 13 sungai besar yang ada di Jakarta juga semuanya kewenangan pemerintah pusat," papar Jokowi di Balaikota Jakarta, Senin (24/3/2014).
Jokowi menjamin, seluruh perencanaan transportasi yang telah dicanangkannya selama menjabat sebagai DKI-1 tidak akan terbengkalai jika nantinya ia menjabat sebagai RI-1. Ke depannya, Jokowi ingin agar Jakarta memiliki banyak moda transportasi.
Saat ini, Jakarta tengah dalam tahap upaya membangun MRT, monorel, menambah tiga koridor transjakarta, dan yang terbaru, membangun metro kapsul.
Untuk nama terakhir, kata Jokowi, pihaknya saat ini masih mempertimbangkan dan mempelajari jenis transportasi yang diusulkan oleh PT Perkakas Rekadaya Nusantara (PT PRN). Jokowi mengaku tertarik karena PT PRN menawarkan nilai investasi yang kecil. Â
"Metro kapsul ini lebih murah dari MRT dan monorel. Biaya produksi juga murah, tiangnya kecil, pengerjaannya cepat banget. Pengaturan headway dari kereta ke kereta itu bisa beriringan," ujarnya.
Nilai investasi metro kapsul diprediksi akan berada pada kisaran Rp 114 miliar per kilometer. Kereta ini dapat melaju dengan kecepatan maksimal 70 kilometer per jam dan akan menggunakan sistem sinyal sehingga tidak akan menggunakan tenaga masinis.
Metro kapsul akan terdiri dari dua jenis kereta, yakni yang memiliki panjang 9 meter dan 12 meter. Metro kapsul ukuran 9 meter berkapasitas 50 orang, sementara metro kapsul 12 meter untuk 80 orang.
Rute yang akan dilayani adalah Parkir Timur Senayan atau Taman Mini Indonesia Indah menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Tarifnya sebesar Rp 10.000 (kompas.com).
Kompas.com sebagai institusi media maupun  wartawan sebagai individu yang bekerja atau sebagai bagian dari organisasi, memaknai kemacetan dan banjir Jakarta  merupakan persoalan yang pelik dan rumit karena penanganannnya harus melibatkan wilayah-wilayah daerah penyangga Ibukota, Jawa Barat ( Bogor, Depok, Bekasi) dan Banten (Tangerang).
Hal tersebut memang merupakan realitas yang tidak bisa dipungkiri siapapun. Maka siapapun Gubernur DKI Jakarta akan selalu kesulitan untuk mengatasi problem akut tersebut. Jika kita mengadopsi teori atau model framing Etman kita bisa analisa bagaimana kompas.com membangun konstruksi berita tersebut. Tahap pertama, ada define problems (pendefinisian masalah) Â yang dilakukan tentang kemacetan di Jakarta sebagai suatu masalah yang "besar". Framing dilakukan untuk memberi pemahaman kepada khalayak tentang realitas/peristiwa tersebut terjadi.
Tahap berikutnya media melakukan diagnose causes (memperkirakan penyebab masalah), merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa. Penyebab disini bisa berarti apa (what), tetapi bisa juga berarti siapa (who). Bagaimana peristiwa dipahami, tentu saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah. Karena itu, masalah yang dipahami secara berbeda, penyebab masalah secara tidak langsung juga akan dipahami secara berbeda pula. Dalam konteks kemacetan Jakarta, Kompas mendiagnosa  penyebab masalah adalah juga disebabkan masuknya jutaan kendaraan dari daerah-daerah penyangga Ibukota (Provinsi Jawa Barat dan Banten).
Tahap berikutnya adalah Make moral judgement (membuat pilihan moral) adalah elemen framing yang dipakai untuk membenarkan/memberi argumentasi pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat. Ketika masalah sudah didefinisikan, penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut. Gagasan yang dikutip berhubungan dengan sesuatu yang familiar dan dikenal oleh khalayak.
Dan Elemen framing model Etman yang terkahir adalah treatment recommendation (menekankan penyelesaian). Elemen ini dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah. Penyelesaian itu tentu saja sangat tergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah.
Dalam hal ini, Kompas membangun alur berpikir atau mengkonstruksi sebuah gagasan bahwa untuk  mengatasi masalah kemacetan di Jakarta dibutuhkan "pejabat" yang lebih tinggi dari Gubernur. Untuk itu keputusan Jokowi maju menjadi Calon Presiden adalah rasional dan sudah sesuai dengan kondisi yang ada. Rasionalisasi dari pemberitaan kompas sesungguhnya dalam rangka membangun dan menguatkan cara berfikir para pembacanya bahwa alasan Jokowi maju menjadi Capres tidak berarti Jokowi meninggalkan warga Jakarta yang telah memilihnya. Tetapi justru persoalan Jakarta akan lebih mudah diatasi ketika Jokowi menjadi Presiden.
detikNews
Jakarta - Presiden SBY sering mendapat keluhan dari masyarakat salah satunya soal kemacetan Jakarta. Presiden SBY mempersilakan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi atau keluhannya kepada para kepala daerah masing-masing.
"Kalau biang kemacetan di Jakarta datanglah ke Pak Jokowi. Kalau biang kemacetan di Bandung datang ke Pak Ahmad Heryawan atau walikota Bandung, Semarang, Medan, Makassar," ungkap SBY.
Hal itu dikatakan saat SBY menerima pengurus KADIN di Istana Bogor, Jabar, Senin (4/11/2013).
SBY mengatakan saat ini Indonesia menganut sistem desentralisasi otonomi daerah. Maka dari itu tanggungjawab masalah di daerah dipegang oleh masing-masing kepala daerah.
"Jangan unjuk rasanya bolak balik di depan Istana. Sudah terbagi habis, semua bertanggungjawab. Pasti kalau bapak datang baik-baik akan direspon. Itulah tugas gubernur, bupati, walikota," imbuhnya.
SBY juga pernah ditanya oleh pemimpin negara-negara sahabat soal kemacetan Jakarta. SBY juga ditanya soal bagaimana solusi mengatasi kemacetan tersebut.
"Kan saya nggak enak ditanya bagaimana solusinya. Di Jakarta, di Bandung, di Surabaya, di mana-mana gitu. Yang harus jelaskan gubernurnya, walikotanya. Begini pak konsep kami. Pemerintah pusat bisa membantu, memberikan kemudahan-kemudahan," paparnya (detikNews).
kita masih menggunakan analisa framing model Etman yang terdiri dari empat tahap dalam membangun analisanya. Â Yakni, define problems (pendefinisian masalah) dan diagnose causes (memperkirakan penyebab masalah), Â Make moral judgement (membuat pilihan moral), dan treatment recommendation (menekankan penyelesaian). Â Â Â Â Â Â
      Bagaimana detikNews mengkonstruksi kasus kemacetan Jakarta dan efeknya terhadap Jokowi, kita bisa telusuri dari posting berita yang berjudul SBY: Soal Kemacetan Jakarta Datanglah ke Jokowi. Senin 4 November 2013.  Berita ini sebenarnya tersebar  lebih dahulu ketimbang berita yang diposting oleh Kompas.com tentang solusi kemacetan Jakarta. Jadi kalau ditarik histori-nya SBY yang lebih dahulu "menyerang" Jokowi dengan pernyataan soal macet Jakarta Tanya ke Jokowi. Patut diduga, elektabilitas Jokowi meski masih berdasar survei telah  "menggelisahkan" tokoh politik bahkan sekelas SBY. Pernyataan yang justru membuat media makin kencang memberitakan dan Jokowi melepas "peluru" balasan dengan membangun konstruksi pemikiran bahwa kemacetan Jakarta tidak hanya urusan atau karena penyebabnya kinerja Pemprov Jakarta tetapi juga wilayah-wilayah lain yang harusnya pemerintah pusat juga bertanggung jawab untuk menyelesaikannya.
      Meski dengan bahasa yang "santun" dan mengambang dengan menyebut Gubernur Jawa Barat dan lain-lainnya, publik memaknai serangan tersebut ditujukan ke Jokowi. Masalah kemacetan Jakarta menurut SBY yang dikemas oleh detikNews adalah masalahnya Jokowi. Maka tanyakan kepada Jokowi, demikian SBY menyampaikan pidato dihadapan pengurus Kadin di Bogor. Jika kita menganalisa konstruksi pemberitaan yang dibangun detik.news dengan mengadopsi model framing Etman, detik.news membingkai bawa masalah banjir di Jakarta penyebabanya bukan pada pemerintah pusat, tetapi daerah masing-masing, karena Indonesia sudah menganut otonomi daerah. Berbeda dengan pandangan Jokowi, bahwa penyebab kemacetan Jakarta adalah termasuk kebijakan pemerintah pusat.
Pola framing berikutnya menurut Etman adalah Make moral judgement (membuat pilihan moral) adalah elemen framing yang dipakai untuk membenarkan/memberi argumentasi pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat. Ketika masalah sudah didefinisikan, penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut.Â
Gagasan yang dikutip berhubungan dengan sesuatu yang familiar dan dikenal oleh khalayak. dalam hal ini SBY membangun argumentasi untuk menguatkan pendapatnya dengan mengatakan "sekarang Indonesia adalah menganut sistem desentralisasi otonomi daerah. Maka dari itu tanggungjawab masalah di daerah dipegang oleh masing-masing kepala daerah" (detikNews).
Elemen framing selanjutnya menurut Entman adalah treatment recommendation (menekankan penyelesaian). Elemen ini dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah. Penyelesaian itu tentu saja sangat tergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah. Dalam hal ini detikNews menyampaikan pandangan SBY yakni, Â "Kan saya nggak enak ditanya bagaimana solusinya. Di Jakarta, di Bandung, di Surabaya, di mana-mana gitu. Yang harus jelaskan gubernurnya, walikotanya. Begini pak konsep kami. Pemerintah pusat bisa membantu, memberikan kemudahan-kemudahan," paparnya (detikNews).
Kita ingat dalam memproduksi berita yang kemudian disebarluaskan kepada khalayak salah satu yang mempengaruhinya adalah sumber berita, dalam hal ini adalah SBY seorang Presiden. Maka berita tersebut menjadi suatu yang memiliki makna dan nilai, bisa jadi menurut kubu Jokowi sebagai sebuah serangan (yang kemudian dibalas dalam berita Kompas diatas "Jokowi : Macet dan Banjir Lebih Mudah Diatasi jika Jadi Presiden, Senin 24 Maret 2014).
Okezone.com
      Dari beberapa berita yang diposting Okezone mengenai pernyataan SBY tentang kemacetan Jakarta. Kita ambil salah satunya yang berjudul : Tak Elok SBY Salahkan Jokowi Soal Kemacetan di Jakarta, Selasa 5 November 2013. Sindir Kemacetan Di DKI, SBY Cemburu Dengan Jokowi, Rabu 6 November 2013. Dan Sindir Kemacetan Jakarta, SBY Gelar Perang Terbuka dengan PDIP, Kamis 7 November 2013.
      Kita menemukan beberapa posting berita tentang kasus tersebut dengan nara sumber yang berbeda, dan rata-rata "memojokan" SBY atas pernyataannya tersebut yang dilakukan di acara Kadin di Bogor. Okezone.com sepertinya sangat menikmati "pertarungan" SBY versus Jokowi tersebut. Semua nara sumber yang dijadikan sumber berita adalah "aktivis" dan pengamat yang "tidak suka" dengan SBY. Tentu ini semacam "kebetulan" yang dikonstruksi, ibarat gayung bersambut. Okezone.com juga ada kecenderungan "tidak suka" kedua tokoh politik tersebut baik SBY maupun Jokowi. (bisa ditelusuri banyak pemberitaan Okezone.com tentang kedua tokoh tersebut). Meski mereka (pengelola Okezone) juga memiliki argumentasi yang cukup rasional, media sebagai "watchdog", kontrol sosial terhadap kekuasaan dan keduanya adalah penguasa (eksekutif dalam kapasitasnya masing-masing).
Ada cerita tersendiri tentang hubungan SBY dengan pemilik MNC Group Hary Tanoesoedibjo. Diceritakan oleh salah satu pimpinan dari media group MNC tersebut, bahwa hubungan SBY dengan bosnya awalnya mesra diperiode pertama pemerintahannya., ada kisah awak media Okezone "dimurka" oleh bosnya karena memberitakan soal ada "kecurangan" yang dilakukan oleh Ibas pada Pemilu 2009 di Jawa Timur. Namun hubungan Penguasa dan Pengusaha tersebut "pecah" sejak muncul kasus  Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) yang melibatkan Hartono Tanoesoedibjo adik dari Hary Tanoesoedibjo  di Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
      Pertanyaan apakah dalam mengkonstruksi realitas sosial menjadi realitas media (berita) ada pengaruh politik ? Kita lihat dasar teorinya. Di dalam framing media, terdapat beberapa variabel yang memengaruhi konstruksi bingkai dan konstruksi realitas sosial (Wicks dalam Kalbfleisch, 2005), salah satunya yaitu : Politik atau orientasi ekonomi media. Prinsip-prinsip dan pilihan seorang wartawan dan pekerja media terhadap orientasi politik akan memengaruhi tulisannya. Jurnalis dengan perspektif liberal atau konservatif akan meninggalkan objektivitasnya, mereka mungkin melakukan seleksi terhadap organisasi dan bekerja dengan kolega-kolega yang memiliki kecenderungan politik dan kepercayaan yang sama, yang mana menjadi orientasi politik.
Politik disini bisa berarti luas, bisa karena kepentingan politik pemilik media (Hary Tanoesoedibjo pada Okezone) bisa juga kepentingan "politik" organisasi media itu sendiri yakni kepentingan ekonomi. Namun dalam kasus Okezone.com, kepentingan tersebut "sangat" memiliki hubungan yang kental antara kepentingan politik pemilik media dan media itu sendiri. Artinya, baik Jokowi maupun SBY bukan "kawan" politik Hary Tanoesoedibjo dan okezone.
Maka pernyatan SBY yang "menyerang" Jokowi soal kemacetan Jakarta, menjadi isu yang "empuk" untuk digoreng. Fakta diatas membuktikan dugaan tersebut (berita yang menanggapi pernyataan SBY diposting oleh Okezone.com). Isu tersebut sangat "dieksploitasi" untuk mempertajam dan memperluas eskalasi konflik ( peran media dalam konflik).Â
Okezone.com menampilkan berita tersebut dengan nara sumber Aktivis Gerakan Indonesia Bersih, Adi Massardi. Kita tahu Adi adalah salah satu aktivis yang sangat "getol" mengkritik segala kebijakan pemerintah SBY. Maka dalam berita ini, ada semacam "kesengajaan" okezone mengkonstruksi tema berita ini dari awal dan memperkuat dengan "meminjam" argumentasi atau pernyataan Adi Massardi. Antara media dan sumber berita "klop" dalam isu yang ini, sama-sama "anti" SBY.
Okezone memperluas dan mempertajam "konflik" antara SBY versus Jokowi dengan "membumbuhi" lewat pernyataan Adi Massardi. Kita lihat bagaimana konsep framing  model Etman menganalisa berita tersebut. Pertama, define problems pendefinisian masalah). Dengan mengutip pernyataan Adi Massardi, bahwa pernyataan SBY yang melempar isu kemacetan Jakarta menjadi tanggung jawab Jokowi adalah merupakan atau sama saja dengan SBY menggelar perang terbuka bukan hanya dengan Jokowi tetapi juga dengan PDIP (partai asal Jokowi). Karena SBY, bukan hanya presiden tetapi sekaligus juga seorang ketua umum Partai Demokrat. Dan menganggap pernyataan SBY "tidak selayaknya" terhadap kondisi kemacetan Jakarta, bukan membantu mencari solusi (Jakarta terutama Kemacetannya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat juga mengingat kedudukannya sebagai Ibukota Negara) tetapi malah mendiskritkan seorang Jokowi. Menyerang Jokowi, karena dilakukan oleh seorang Ketua Umum partai politik yang pada Pilkada DKI Jakarta calonnya kalah, sama saja dengan menyerang PDIP yang mengusung Jokowi. Kedua, diagnose causes (memperkirakan penyebab masalah). Penyebab pernyataan tersebut, karena SBY merasa malu dengan kemacetan Jakarta yang menjadi perhatian pemimpin dunia dalam sebuah acara di Brunai Darussalam. Namun, tidak demikian menurut pendapat aktivis yang pernah menjadi juru bicara Presiden Gus Dur  ini, itu semua dilakukan SBY karena "cemburu" terhadap Jokowi. Pasalnya Jokowi sekarang lebih populer dibanding SBY. Setiap hari Jokowi dielu-elukan rakyat, sementara SBY semakin hari popularitasnya terus menurun.
Langkah selanjutnya bagaimana sebuah media memframing berita dengan langkah ketiga, yakni  Make moral judgement (membuat pilihan moral).  Dengan paragraph yang berbunyi sebagai berikut : Adhie mengakui kemacetan Ibu Kota memang menjadi tanggung jawab Gubernur. Namun, pernyataan SBY soal kemacetan Jakarta dinilai Adhie hanya salah satu upaya mengalihkan perhatian masyarakat dari kasus-kasus korupsi yang sedang menyasar Istana. Dan yang terakhir adalah apa yang disebut treatment recommendation (menekankan penyelesaian) dengan kalimat  "Kemacetan Jakarta semua orang sudah tahu. Ini hanya upaya SBY mengalihkan persoalan Istana ke tempat lain. Ini dimunculkan sehingga orang ribut soal pernyataan SBY," terang Adhie.
Sekarang kita lihat dan perhatikan berita sesuai dengan aslinya yang diposting oleh Okezone.com.
JAKARTA - Koordinator Gerakan Indonesia Bersih, Adhie Massardi, menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sedang menggelar perang terbuka dengan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, dengan melempar isu kemacetan Ibu Kota. Menurut Adhie, SBY melempar isu tersebut ke publik dalam kapasitas  sebagai Ketua Umum Partai Demokrat bukan Presiden.
"Saya melihat ucapan SBY itu bukan memperbaiki kemacetan di DKI, tapi mendiskreditkan Jokowi. Jadi SBY sudah membuat serangan terbuka ke Jokowi," kata Adhie saat dihubungi Okezone, Kamis (6/11/2013).
Karena menyerang Jokowi, kata Adhie, SBY secara otomatis juga membuat perang terbuka dengan PDI Perjuangan (PDIP). Sebab, Jokowi merupakan kader dari partai yang dipimpin Megawati Soekarno Putri tersebut. "Karena yang ngomong ini Ketua Umum Partai yang secara organisasi sedang terpuruk, ini menjadi pertarungan terbuka dengan kader PDI Perjuangan," tegas Adhie.
Seperti diketahui, Presiden SBY menyinggung soal kemacetan Jakarta, Senin lalu di Istana Bogor, Jawa Barat. Ia merasa malu dengan kemacetan Jakarta yang menjadi perhatian pemimpin dunia dalam pertemuan ASEAN Summit di Brunei Darussalam.
Kepada mereka, SBY menjawab kemacetan Jakarta menjadi tanggung jawab Gubernur atau Wali Kota. Namun, Adhie menilai SBY sedang cemburu terhadap Jokowi. Penyebabnya, kata Adhie, Jokowi berhasil menggeser SBY sebagai figur yang dipuja-puja rakyat. "Jokowi sedang dipuja-puja rakyat, sementara SBY popularitasnya sedang turun," ujar Adhie.
Adhie mengakui kemacetan Ibu Kota memang menjadi tanggung jawab Gubernur. Namun, pernyataan SBY soal kemacetan Jakarta dinilai Adhie hanya salah satu upaya mengalihkan perhatian masyarakat dari kasus-kasus korupsi yang sedang menyasar Istana.
"Kemacetan Jakarta semua orang sudah tahu. Ini hanya upaya SBY mengalihkan persoalan Istana ke tempat lain. Ini dimunculkan sehingga orang ribut soal pernyataan SBY," terang Adhie. (ydh).
           Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H