Ahok dan Kampung Pulo
Oleh : Ali Sodikin
Dengan permohonan maaf kepada teman-teman aktivis pergerakan, baik yunior maupun senior dan juga warga Jakarta, tulisan ini dibuat. Menyingkapi pembongkaran dan penggusuran secara paksa di Kampung Pulo Jatinegara Jakarta Timur. peristiwa yang membuat “geger” kita semua, khususnya warga Jakarta.
Peristiwa pengusiran warga Kampung Pulo yang telah puluhan tahun mendiami wilayah bantaran Kali Ciliwung tersebut juga marak diekspose media massa, baik cetak, elektronik maupun online. Begitu juga di medsos, berbagai status, baik pro maupun kontra berseliweran. Status yang sebagian besar berisi caci maki, hujatan dan sumpah serapah yang ditujukan kepada Ahok Gubernur DKI Jakarta. Orang yang dianggap paling bertanggungjawab atas hilangnya “lahan” warga Kampung Pulo.
Awalnya, penulis juga merasakan keprihatinan yang sama, prihatin sebagai sesama warga Jakarta, prihatin karena banyak teman-teman, saudara-saudara kita yang tergusur dari tempat tinggal mereka yang sudah mereka tinggali bahkan beranak-cucu di Kampung Pulo tersebut. Apalagi ditambah kiriman informasi maupun opini yang terus mengalir dari fasilitas media sosial. Bahwa kebijakan Ahok adalah proses pengusiran warga pribumi dengan menggunakan kekuatan aparat (Satpol PP, Polisi, dan TNI), politik tangan besi Ahok untuk menjadikan Jakarta seperti kasus di Afrika Selatan, ketika minoritas kulit putih melakukan politik kekerasan untuk mengusir penduduk asli (pribumi) dari tanah-tanah mereka.
Kondisi tersebut mendorong penulis untuk “peduli” dan mencoba mencermati peristiwa tersebut, namun justru penulis memiliki perspektif yang berbeda dengan teman-teman aktivis lainnya. Untuk itu penulis memohon maaf. Tidak ada motif dan maksud apa-apa, hanya kebetulan cara pandang penulis sedikit berbeda saja.
Jakarta memang kota yang sangat padat. Bisa jadi terpadat didunia. Soal kepadatan ini, belum ada satupun Gubernur DKI Jakarta yang mampu mengurai secara sistematis dan terpadu. Arus urbanisasi dari tahun ke tahun kian deras masuk Ibukota. Tentu hal ini bukan semata-mata tanggungjawab Pemprov DKI Jakarta.Ini adalah masalah nasional yang harus ditangani secara komprehensif baik Pemerintah Pusat maupun pemerintah-pemerintah daerah. Karena penyumbang kepadatan Jakarta kita semua yang datang dari hampir seluruh wilayah Indonesia.
Lebih ironis lagi, wilayah yang kini disebut DKI Jakarta adalah wilayah yang tidak ideal untuk dibangun sebagai tempat hunian, Jakarta adalah wilayah resapan air dari daerah-daerah pegunungan di selatan. Rawa-rawa dengan banyaknya sungai yang mengalir lewat Jakarta. Salah satunya adalah sungai Ciliwung yang membelah kota Jakarta. Maka Jakarta adalah tempat “menggenangnya” air dari segala penjuru, baik karena hujan maupun meluapnya sungai-sungai tersebut.
Kerusakan lingkungan di hulu sungai-sungai tersebut tentu sangat berpengaruh pada intensitas gelombang air yang mengalir ke Jakarta. Maka, ketika musim hujan datang, Jakarta menjadi “comberan” bagi air yang mengalir dari daerah-daerah selatan. Hujan sedikit lebat saja, sungai Ciliwung akan meluap, dan Jakarta secara otomatis akan tergenang, apalagi jika curah hujan di Jakarta juga lebat, maka bisa kita bayangkan seperti apa kondisi Jakarta.
Siapapun Gubernur DKI Jakarta akan selalu menghadapi masalah-masalah yang sama, tanpa mampu berbuat banyak. Yang paling mungkin dilakukan ketika air bah datang adalah meminimalisir efek kerugiannnya, terutama soal jumlah korban jiwa.
Hampir 17 tahun penulis tinggal di Jakarta, dari waktu ke waktu, persoalan banjir selalu menghantui Jakarta tanpa ada solusi yang kongkrit. Yang ada adalah cerita sedih mereka yang rumahnya terkena banjir, eksploitasi penderitaan rakyat kecil yang tinggal dibantaran sungai Ciliwung, baik oleh media massa. Sementara partai politik dan elitnya berlomba menebar simpati untuk pencitraan berharap dapat mendulang suara dengan modal sembako.
Sekarang DKI Jakarta punya seorang Gubernur yang bernama Basuki Tjahya Purnama alias Ahok. Warga Negara Indonesia keturunan. Tentu secara alami memiliki banyak perbedaan dari kita yang mayoritas. Menurut penulis, perbedaan itu rakhmat Tuhan yang tidak mungkin kita tolak. Tetapi melihat Ahok, seharusnya kita tidak melihat dengan kacamata kuda, artinya jangan karena Ahok secara etnis berbeda sama kita, kemudian kita menjadi “gagal paham”.
Marilah kita lihat secara obyektif, pada kinerja Ahok sebagai seorang Gubernur DKI Jakarta. Sama seperti kita melihat para Gubernur-Gubernur DKI sebelumnya, lebih pada konsep, program dan pelaksanaannya. Khususnya dalam kasus Kampung Pulo, Jakarta Timur.
Dalam konteks pembenahan untuk meminimalisir korban banjir (kalaulah belum bisa dicegah banjirnya), relokasi Kampung Pulo adalah langkah yang cukup tepat dan strategis. Memanusiakan manusia, memindahkan mereka ke rumah susun adalah cara yang paling mungkin dan masuk akal, karena daerah tersebut (Kampung Pulo, red) adalah daerah aliran sungai. Tempat air mengalir, maka sudah pasti ketika aliran sungai Ciliwung meluap, sudah pasti daerah tersebut akan tenggelam.
“penggusuran dan pengusiran” beberapa ratus kepala keluarga dari wilayah itu tentunya adalah dalam rangka menyelesaikan satu persoalan bagi warga tersebut akan musibah rutin yakni banjir yang secara siklus akan selalu hadir melintasi wilayah DKI Jakarta.
Memang terasa tidak nyaman, ketika kita sudah puluhan tahun tinggal disuatu tempat dan harus pindah, bahkan untuk kebaikan kita sendiri, kita cenderung akan “malas” dan keberatan, bahkan marah. Kadang tindakan yang keras dan disilplin menjadi penting, bahkan demi untuk kebaikan mereka sendiri (warga Kp Pulo). Maka apa yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta beserta stakeholder menurut penulis sudah benar dan tepat. Memindahkan warga tersebut ditempat yang lebih layak, agar persoalan “musibah” yang tiap saat akan menimpa mereka menjadi terhindar. Satu persoalan selesai.
Kita bisa menghitung berapa biaya yang bisa dihemat baik dari APBN, APBD, maupun swasta jika tidak ada lagi warga Jakarta yang “tenggelam” ketika musim banjir datang. Dana-dana tersebut dapat dialokasikan untuk kepentingan pembangunan lainnya. Paling-paling kita cukup siapkan salep anti gatal, karena wilayah Jakarta belum bebas dari “genangan” air ketika musim hujan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H