Mohon tunggu...
Irwan Aldrin
Irwan Aldrin Mohon Tunggu... Arsitek - Peminat Budaya

Tinggal di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

PPDB 2020 dan Tata Ruang Jakarta

23 Juni 2020   22:41 Diperbarui: 26 Juni 2020   15:38 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi siswa sedang berangkat ke sokolah. (sumber: Pixabay)

"Kenapa jarak dari rumah ke sekolah tidak diperhitungkan dalam PPDB DKI? Karena jumlah sekolah di DKI mencukupi."

Dalam acara Dialog Kabar Petang (tvOne, 21 Juni 2020, tema "Siswa Baru: Nilai vs Usia"), komisioner KPAI Retno Listyarti ditanya: kenapa jarak dari rumah ke sekolah tidak diperhitungkan dalam PPDB DKI? 

Retno menjawab, bahwa di DKI kriteria jarak dari rumah ke sekolah tidak perlu digunakan sebagaimana daerah lain, karena jumlah sekolah di DKI mencukupi.

Retno mengamini dan meneruskan penjelasan dari Wagub DKI sebelumnya, yang menyatakan bahwa Pemda DKI sudah mengikuti Permendikbud No. 44/2019 tentang PPDB. 

Bila kita urai, dalam ayat 1 pasal 25 Permendikbud 44/2019 dinyatakan bahwa: "seleksi calon peserta didik baru dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke Sekolah dalam wilayah zonasi yang ditetapkan". 

Selanjutnya pada ayat 2 baru dilanjutkan: "Jika jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan Sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sama, maka seleksi untuk pemenuhan kuota/daya tampung terakhir menggunakan usia peserta didik yang lebih tua berdasarkan surat keterangan lahir atau akta kelahiran."

Di DKI (SK Kadisdik No. 501 Tahun 2020), zonasi dibagi berdasarkan kelurahan tempat tinggal calon peserta didik baru. Tapi, proses seleksi berdasarkan jarak tempat tinggal ke sekolah dihilangkan. Selanjutnya langsung dilakukan seleksi berdasarkan prioritas usia peserta didik. Ini yang jadi sumber masalah.

Satu pengamatan sederhana penulis lakukan untuk pilihan SMA di kelurahan Cipinang Muara, Jakarta Timur. Di sini ada 16 pilihan SMA. Kalau kita ukur secara kasar, kelurahan Cipinang Muara berukuran 1 x 3 km2. 

SMA pilihan terjauh bila diukur dari ujung terjauh wilayah kelurahan adalah SMA 77 di ujung utara dengan JGL (jarak garis lurus) 7,6 km. 

Di timur, yang terjauh adalah SMA 103 sejauh JGL 6,2 km dari ujung terjauh wilayah kelurahan. Di selatan SMA 81 dengan jarak JGL 5,3 km. Di barat, SMA 26 dengan JGL 5,6 km, dan SMA 68 dengan JGL 6,5 km. 

Ada 5 sekolah yang berada di dalam wilayah kelurahan, atau cukup dekat dengan tepi wilayah kelurahan, yaitu SMA 12, SMA 50, SMA 53, SMA 61 dan SMA 100. Jarak antar SMA di zonasi ini rata-rata 1,5 sampai 2 km.

Kalau kita asumsikan bahwa informasi jumlah sekolah di DKI mencukupi, maka kita tinggal bagi rata jumlah calon peserta didik dengan jumlah SMA. Masalah selesai. Tapi tentunya tak sesederhana itu.

Keriuhan zonasi di DKI telah bergeser ke berbagai persoalan yang jauh dari inti permasalahan. Seharusnya, konsep zonasi dalam penerimaan peserta didik baru dikembalikan dan dilihat kembali dari kepentingan anak.

Mendikbud ketika itu, Muhadjir Effendy, tanggal 19 Juni 2019 mengatakan bahwa sistem zonasi ditujukan untuk memberikan akses dan keadilan pendidikan. 

Lebih rinci dikatakannya: "Kewajiban pemerintah dan sekolah adalah memastikan semua anak mendapat pendidikan dengan memerhatikan anak harus masuk ke sekolah terdekat dari rumahnya." Disadari bahwa demikian penting jaminan anak bersekolah di sekolah terdekat dari rumahnya.

Secara inheren, dilihat dari kepentingan anak, tak perlu diragukan lagi tentunya bahwa lebih selamat, aman, sehat, nyaman, dan mudah ketika anak-anak bisa bersekolah dekat dengan rumah.  Orangtua juga tak bertambah beban untuk memikirkan cara dan biaya transportasi. 

Sederhananya, mari kita bayangkan anak-anak kita sebagai Nobita dan kawan-kawan di serial Doraemon, yang cukup berjalan kaki untuk ke sekolah, bermain, dan melakukan semua kegiatan masa kanak-kanak mereka. Dunia jadi demikian mudah dan indah bagi anak-anak kita manakala mereka bersekolah tak jauh dari rumahnya.

Ditinjau dari perspektif tata ruang kota, hal yang paling nyata yang dicoba diselesaikan oleh sistem zonasi adalah pergerakan manusia. Rata-rata laju kendaraan di jalan arteri Ibu Kota pada jam padat hanya 22 km per jam. (Media Indonesia, 14 November 2019, Macet, "Kendaraan di Jakarta Hanya Berkecepatan 22 Km/Jam"). 

Pada tahun 2019, pergerakan di jalan mencapai 88 juta orang per hari. Kerugian akibat kemacetan di DKI, mencapai Rp 65,7 triliun pada tahun 2018.

Bayangkan kembali gambar yang penulis sampaikan tentang pilihan SMA di kelurahan Cipinang Muara di atas. Jarak-jarak yang tergambar masih cukup jauh dari satu gambaran tentang konsep zona dan lingkungan belajar dekat rumah yang diharapkan. 

Kalau saja ada 10 SMP dan yang sederajatnya di kelurahan Cipinang Muara, dengan asumsi 200 siswa lulusan baru, maka di tahun ajaran depan ada 2.000 siswa baru yang memadati jalan di wilayah seluas 35 km2. 

Sebagian besar diantar, jadi gandakan lagi dengan perjalanan pulang mengantar, atau perjalanan yang diteruskan orangtua ke tempat kerja. Ada 267 kelurahan di Jakarta. Semuanya serba simpang siur, menjadi tambahan masalah, sementara masalah yang lama tak kunjung terurai.

Persoalan tata ruang kota tentunya juga bagian dari kepentingan untuk anak-anak. Tata ruang kota yang buruk akan memengaruhi kesehatan mereka, jasmaniah maupun kejiwaan. Belum lagi kerugian lingkungan langsung maupun tak langsung, termasuk pencemaran dan emisi karbon.

Sungguh aneh, bila kita bicara soal perlindungan anak, tapi mengabaikan mendesaknya penerapan sistem zonasi yang seharusnya, yang menjadikan jarak rumah ke sekolah sebagai prioritas.

Dalam menerapkan zonasi murni, dibanding provinsi tetangganya, harus diakui bahwa DKI yang paling terlambat melaksanakannya. 

Di satu sisi, DKI adalah daerah dengan kualitas pendidikan terlengkap, terbaik dan paling merata di seluruh wilayah Indonesia, sehingga DKI jauh lebih siap untuk melaksanakan sistem zonasi murni. Di sisi lain, seharusnya DKI bisa memanfaatkan pengalaman daerah lain dan menerapkan yang terbaik. 

Alih-alih mau belajar dari wilayah lain, DKI justru mencari dalih populis yang tidak tepat sasaran dengan mengurangi kuota jalur zonasi, mengangkat diskriminasi berdasarkan usia, dan membuat tafsiran yang justru menjauhi konsep asali sistem zonasi dengan meniadakan penghitungan jarak dari rumah ke sekolah.

Jadi ironi, bahwa pada masa di mana kita harus demikian introspektif pada zaman pandemi Covid-19, dan teristimewa pada hari di mana kita memeringati ulangtahun kota Jakarta, kita justru mengabaikan persoalan yang maha penting untuk kelangsungan kehidupan itu sendiri: bagaimana anak-anak kita dididik dan dibesarkan. Masih ada waktu untuk memperbaiki. 

Selamat ulangtahun Jakarta tercinta!

Dokpri
Dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun