Sebagian besar diantar, jadi gandakan lagi dengan perjalanan pulang mengantar, atau perjalanan yang diteruskan orangtua ke tempat kerja. Ada 267 kelurahan di Jakarta. Semuanya serba simpang siur, menjadi tambahan masalah, sementara masalah yang lama tak kunjung terurai.
Persoalan tata ruang kota tentunya juga bagian dari kepentingan untuk anak-anak. Tata ruang kota yang buruk akan memengaruhi kesehatan mereka, jasmaniah maupun kejiwaan. Belum lagi kerugian lingkungan langsung maupun tak langsung, termasuk pencemaran dan emisi karbon.
Sungguh aneh, bila kita bicara soal perlindungan anak, tapi mengabaikan mendesaknya penerapan sistem zonasi yang seharusnya, yang menjadikan jarak rumah ke sekolah sebagai prioritas.
Dalam menerapkan zonasi murni, dibanding provinsi tetangganya, harus diakui bahwa DKI yang paling terlambat melaksanakannya.Â
Di satu sisi, DKI adalah daerah dengan kualitas pendidikan terlengkap, terbaik dan paling merata di seluruh wilayah Indonesia, sehingga DKI jauh lebih siap untuk melaksanakan sistem zonasi murni. Di sisi lain, seharusnya DKI bisa memanfaatkan pengalaman daerah lain dan menerapkan yang terbaik.Â
Alih-alih mau belajar dari wilayah lain, DKI justru mencari dalih populis yang tidak tepat sasaran dengan mengurangi kuota jalur zonasi, mengangkat diskriminasi berdasarkan usia, dan membuat tafsiran yang justru menjauhi konsep asali sistem zonasi dengan meniadakan penghitungan jarak dari rumah ke sekolah.
Jadi ironi, bahwa pada masa di mana kita harus demikian introspektif pada zaman pandemi Covid-19, dan teristimewa pada hari di mana kita memeringati ulangtahun kota Jakarta, kita justru mengabaikan persoalan yang maha penting untuk kelangsungan kehidupan itu sendiri: bagaimana anak-anak kita dididik dan dibesarkan. Masih ada waktu untuk memperbaiki.Â
Selamat ulangtahun Jakarta tercinta!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H